Mohon tunggu...
Rismayani Putri Utari
Rismayani Putri Utari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Semangat Pantang Mundur

Bismillah

Selanjutnya

Tutup

Money

Tingkat Kepuasan Konsumsi dalam Memenuhi Kebutuhan dan Keinginan

15 Februari 2019   18:57 Diperbarui: 17 Februari 2019   09:04 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

TINGKAT KEPUASAN KONSUMSI DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN DAN KEINGINAN

Di dalam teori ekonomi, kepuasan seseorang dalam mengkonsumsi suatu barang dinamakan Utility atau nilai guna. Kalau kepuasan terhadap suatu benda semakin tinggi, maka semakin tinggi pula nilai gunanya. Sebaliknya, bila kepuasan terhadap suatu benda semakin rendah maka semakin rendah pula nilai gunanya. Kepuasan dalam terminologi konvensional dimaknai dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan fisik.[1] 

Konsumsi pada dasarnya dibangun atas dua hal yaitu kebutuhan (hajat) dan kegunaan/kepuasan (manfaat). Karena secara raisional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu barang jika tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Kepuasan dikenal dengan maslahah dengan pengertian terpenuhinya kebutuhan baik fisik maupun spiritual. 

Oleh karena itu, kepuasan seorang muslim tidak didasarkan banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi, tetapi didasarkan atas berapa besar nilai ibadah yang didapatkan dari yang dikonsumsinya.[2]

Salah satu perbedaan mendasar antara sistem ekonomi konvensional dengan islam adalah menyoroti masalah need (kebutuhan) dengan want (keinginan). Secara umum dapat dibedakan antara kebutuhan dan keinginan, yakni kebutuhan itu berasal dari fitrah manusia, bersifat objektif, serta mendatangkan manfaat dan kemaslahatan disamping kepuasan. Pemenuhan terhadap kebutuhan akan memberikan manfaat, baik secara fisik, spiritual, intelektual maupun material. 

Sementara itu, keinginan berasal dari hasrat manusia yang bersifat subjektif. Bila keinginan itu terpenuhi, hasil yang diperoleh adalah dalam bentuk kepuasan atau manfaat psikis disamping manfaat lainnya.

Kebutuhan (need) manusia meliputi kebutuhan fisik dasar akan makanan, pakaian, keamanan, kebutuhan sosial, serta kebutuhan individu akan pengetahuan, dan suatu keinginan untuk mengekspresikan diri. 

Dari sifatnya, dalam pandangan ekonomi, kebutuhan (need) manusia itu terdiri dari kebutuhan-kebutuhan primer seperti pangan, sandang, dan papan, kebutuhan sekunder (pelengkap), dan kebutuhan tersier.

Kebutuhan (need) biasanya terkait dengan sesuatu yang harus dipenuhi agar sesuatu berfungsi secara sempurna. Need (kebutuhan) didefinisikan sebagai segala keperluan dasar manusia untuk kehidupannya. Dalam perspektif ekonomi islam, semua barang dan jasa yang membawa pengaruh pada kemslahatan disebut dengan kebutuhan manusia. Misalnya, makan makanan halal dan bergizi merupakan kebutuhan manusia agar tetap hidup sehat.[3]

Keinginan menurut ilmu ekonomi berhubungan dengan kebutuhan manusia ditambah dengan kemauan dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Oleh karena itu kebutuhan efektif (effective needs) yaitu kebutuhan yang bisa dipenuhi disebut keinginan. Kebutuhan dan kepuasan adalah inti dari perjuangan ekonomi manusia. Pada dasarnya harta kekayaan diperlukan untuk memuaskan keinginan-keinginan manusia.[4]

Keinginan (want) adalah sesuatu yang terkait dengan hasrat atau harapan seseorang, jika dipenuhi belum tentu meningkatkan kesempurnaan fungsi manusia ataupun sesuatu. Ia terkait dengan suka atau tidak sukanya seseorang terhadap suatu barang. Keinginan itu biasanya lebih bersifat subjektif, tidak bisa dibandingkan antar satu orang dengan yang lainnya.[5] 

Keinginan (want) merupakan bentuk kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh budaya dan kepribadian individual. Manusia mempunyai keinginan yang nyaris tanpa batas, tetapi sumber daya terbatas. Jadi, mereka akan memilih produk yang memberikan nilai dan kepuasan paling tinggi untuk uang yang dimilikinya. Dengan keinginan dan sumber daya yang dimiliki manusia menciptakan permintaan akan produk dengan manfaat yang paling memuaskan.

Keinginan manusia itu tidak terbatas. Hampir-hampir tidak pernah berhenti berkeinginan. Jika satu keinginan sudah terpenuhi, maka akan muncul keinginan lain yang timbul, maka dengan demikian manusia memperjuangkan seluruh hidupnya untuk memuaskan rentetan keinginan yang tiada hentinya, tapi semua tidak akan memberikan kepuasan kepada mereka. Sebenarnya itulah sifat dari keinginan yang memerlukan dan mengarah usaha-usaha yang tetap dari sisi kehidupan manusia untuk memenuhi keinginan yang senantiasa bertambah.

Pada dasarnya, aktivitas ekonomi berasal dari kebutuhan fisik manusia agar tetap survive dalam hidupnya. Adanya kebutuhan untuk mempertahankan hidup memunculkan interaksi antara manusia dengan sesamanya. Dalam interaksi ini kehendak seseorang untuk membeli atau memiliki sesuatu bisa muncul karena faktor kebutuhan (need) ataupun keinginan (want).

Oleh karena itu, islam mensyaratkan setiap makanan yang kita makan maupun yang kita gunakan hendaknya memiliki unsur kemanfaatan. Tidak selamanya sesuatu yang kita konsumsi dapat memenuhi kebutuhan hakiki. Maksudnya, apabila konsumsi mengkibatkan terjadinya disfungsi bahkan kerusakan dan tidaka ada unsur kemaslahatannya, tentu itu bukanlah kebutuhan hakiki manusia.

Islam tidak melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan ataupun keinginannya. Selama hal itu mendatangkan maslahah dan tidak mendatangkan mafsadah. Tingkat ekonomi tertentu sebuah barang dikonsumsi  karena motivasi keinginan. Pada tingkat konsumsi yang lebih baik barang tersebut menjadi kebutuhan.

Daftar Pustaka

[1] Rokhim Abdul. 2013. Ekonomi Islam Perspektif Muhammad SAW. Mangli jember: STAIN Jember Press.

[2] Rozalinda. 2014. EKONOMI ISLAM (Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi). Jakarta: PT   Raja Grafindo.

[3] Khan, M Fahim. 1995. Essays in Islamic Economic. United Kingdom: The Islamic Foundation.

[4] Rahman Afzahur. 2002. Doktrin Ekonomi Islam Jilid II. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa.

[5] P3EI UII. 2008. Ekonomi islam. Jakarta: Rajawali Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun