Gadis itu men-dribble bola dengan cepat lalu melakukan lay up kedalam keranjang. Masuk! Ia lalu mengambil kembali bola dan membawanya ke area left wing. Ia melakukan three point shot. Dan masuk lagi!Â
Gadis ber-jersey klub Chicago Bulls itu memungut bola dan membawanya ke area left corner. Ia men-dribble cepat lalu melakukan pivot dan fadeaway shot ala Michael Jordan. Kali ini hanya menyentuh keranjang dan bola memantul ke arahku.
Aku memungut Molten GG6X itu dan melemparkannya ke arah gadis berambut ekor kuda itu. Gadis itu menatapku selama beberapa detik sebelum kembali beraksi. Tatapannya dingin dan tak bersahabat. Entah karena aku orang yang tak dikenalnya atau memang seperti itu orangnya. Aku menangkap kesan yang gelap dimatanya. Aku berharap salah, tapi intuisiku jarang meleset.
Aku terus memperhatikannya sambil melakukan pemanasan. Dari gerakannya aku tahu skill-nya bukan kaleng-kaleng. Gerakan, teknik dan kecepatannya seperti atlet, paling tidak tingkat provinsi. Tapi nanti dulu, wajah gadis itu sepertinya familiar. Aku pernah melihatnya disuatu tempat. Tapi dimana yah?
Bola gadis itu kembali memantul ke arahku. Aku ambil tapi tak kulempar kembali pada pemiliknya. Gadis itu berjalan mendekatiku. Langkahnya angkuh dan menantang. Sepertinya Aku baru saja mengusik singa betina. Jarak kami kini hanya terpaut dua langkah. Sial, ternyata ukuran tubuhnya lumayan tinggi. Kutaksir sekitar 172 cm.
"Baru yah di sini?" ujarnya galak bak senior saat ospek.
"Iya, Gue baru beberapa hari disini. Boleh kenalan?" kataku sambil mengulurkan tangan. Gadis berkulit putih dan berwajah oriental itu tak menyambutnya.
"Kita tanding three point shot dulu. Kalau Lo menang, gue kasih tahu nama gue." Gadis itu lalu bergerak cepat men-steal  bola dari tanganku. Ah, sombong sekali gadis ini. Hanya untuk tahu namanya saja harus bertanding dahulu. Dia belum tahu berhadapan dengan siapa, begitu batinku.
"OK. Masing-masing dapat kesempatan 10 kali menembak dari lima area berbeda. Yang paling banyak memasukkan bola, dia pemenangnya. Deal? paparku.
"Deal," jawabnya. Aku lalu menuju area key hole bersiap untuk melakukan rebound dan mem-passing bola padanya.
Gadis itu memulai dari posisi left corner. Tembakan demi tembakan dilakukannya dengan percaya diri. Aku akui shooting form-nya bagus. Dari sepuluh, ia berhasil memasukkan tujuh bola. Ia berjalan menuju key hole sambil tersenyum mengejek, merasa diatas angin.
Giliranku sekarang. Jujur saja Aku berada dalam tekanan saat ini. Untuk menang aku butuh minimal delapan poin. Ah, percobaan pertama dengan Molten GG7X-ku gagal. Tekananku semakin besar. Sialnya, percobaan keduaku, juga gagal. Kulihat sekilas, gadis itu menertawakanku. Kini tak boleh ada bola yang gagal.
Akhirnya bola pertama yang masuk bagiku di percobaan ke tiga. Begitu seterusnya sampai percobaan ke sembilan. Kini skor imbang 7-7. Bola terakhir kulempar dengan percaya diri, dan.... Srek! Bunyi bola yang mulus memasuki keranjang terdengar merdu bagiku. Seketika meluluhkan keangkuhan gadis berlesung pipi dihadapanku.
Aku memasang ekspresi cool, sedang gadis itu cemberut seakan tak terima kekalahannya. Â Â
"Nama Gue Vania Angelica, puas Lo?" ujarnya sambil bersungut-sungut. Mendengar namanya Aku jadi ingat siapa dirinya. Aku pernah melihatnya di youtube.
"Lo Vania Angelica yang atlet basket itu? Yang pernah jadi MVP alias pemain terbaik turnamen DBL DKI Jakarta 2016? Yang punya julukan Killer Angel? Pantesan jago. Yah, walau pun masih dibawah skill Gue sih," ujarku setengah sombong. Vania mengernyitkan dahinya. Entah bingung bahwa aku mengenalinya atau egonya tersulut oleh perkataanku barusan.Â
"Aslinya..., Lo ternyata cantik juga yah." Aku berkata jujur, bukan sedang mengobral rayuan. Aku juga bukan womanizer, casanova, player, atau sejenisnya. Belum sempat ia menyerang balik pujianku, datang segerombolan pria. Mereka sepertinya anak basket yang biasa bermain di tempat ini.
Vania pun menepi dan duduk di pinggir lapangan. Sebenarnya aku ingin menepi juga, namun anak-anak basket itu ternyata mengenaliku dan mengajakku bergabung. Akhirnya Aku pun ikut bermain satu game. Tim yang meraih 20 poin jadi pemenangnya. Kesempatan untuk show off di depan Vania. Â Â Â
Level permainan mereka masih dibawahku. Berbagai gerakan kuperlihatkan untuk memukau Vania. Crossover dribble ala Allen Iverson, step back shot ala James Harden, dan fadeaway shot ala Michael Jordan. Bahkan di poin terakhir, Aku melakukan slam dunk yang membuat suasana riuh.
Tim yang menang tetap bermain, namun aku meminta posisiku untuk diganti. Aku lebih tertarik untuk mengenal Vania. Aku duduk tak jauh dari posisi Vania. Aku tak langsung mengajaknya berbicara, walau pun aku ingin sekali.
"Lo siapa sih? Koq anak-anak basket sini pada kenal Lo?" tanya Vania tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Oh, mau tau nama Gue. Kirain ngga butuh. Hmmm..., Gue bakal kasih tau nama Gue dengan satu syarat yang mudah dan menyenangkan." Aku tahu Vania penasaran walau tampang juteknya berusaha menutupi itu semua.
"Apa syaratnya? Harus menang tanding one on one lawan Lo? Ayo, siapa takut!" tantang Vania.
"Bukan.... Syaratnya Lo mau nge-date sama gue akhir pekan ini. Bagaimana?" tawarku.
"Ih, ngga banget! Jangan ngarep, Lo. Ya udah, Gue ngga jadi pengen tahu siapa nama Lo," ujar Vania ketus dan membuang muka. Aku tersenyum melihat reaksi Vania yang terlihat kesal sekali.
"Gue tinggal di tower Emerald unit 107. Lo tinggal dimana?" tanyaku membuka diri. Vania tak menjawab.
"Gue bekerja di Bank Berdikari sebagai staff funding. Nomor telepon Gue 0817XXXXXX," kataku lagi. Vania masih tak peduli dan tetap memasang ekspresi kesal. Tak mengapa karena Aku berada diatas angin.
Senja perlahan turun dengan syahdu. Vania lalu berdiri dan melepas ikat rambutnya. Ia kemudian merapihkan lalu mengikat kembali rambut hitam panjangnya. Adegan yang juga memperlihatkan lehernya yang jenjang dan tengkuknya yang ditumbuhi rambut halus. Entah mengapa wanita dimataku selalu terlihat seksi saat mengikat rambut. Tanpa sadar aku menelan ludah menahan pikiran kotorku. Hey, aku lelaki normal.
Vania lalu bangkit meninggalkan lapangan basket apartemen Dream City. Sebelumnya  ia menatapku selama beberapa detik. Tatapannya seolah berkata: hanya begini saja?
"Hei, boleh Gue antar sampai lobby?" tanyaku sambil bangkit. Langkah Vania terhenti, lalu ia menoleh dan menatapku datar. Tak ada afirmasi namun tak jua ada negasi. Vania lalu kembali melangkahkan kakinya. Aku setengah berlari mengejarnya. Â Kini aku berjalan berdampingan dengannya.
Sepanjang jalan menuju apartemennya, kami hanya diam. Jujur aku tertarik padanya, hanya saja Aku bingung kenapa ia galak sekali padaku. Dia memperlakukanku seolah Aku ini bajingan, bedebah atau sejenisnya. Padahal Aku lelaki baik-baik. Percayalah!
Langkah kami terhenti di depan sebuah bangunan tinggi. Ternyata ia tinggal di tower Diamond. Di apartemen ini ada empat tower: Emerald, Diamod, Rubi, dan Pearl. Aku tak tahu Vania tinggal di unit berapa, tapi paling tidak Aku tahu di tower mana dia tinggal. Â
"Cukup sampai disini saja. Terimakasih," kata Vania sedikit bergetar. Dengan setengah berlari ia meninggalkanku. Â
"Hei, setidaknya beri Gue alasan kenapa Lo galak sama Gue? Kalau ada salah, Gue minta maaf," kataku berteriak. Vania menghentikan langkahnya, lalu membalikkan tubuhnya. Aku terkejut melihat matanya yang berkaca-kaca. Â Â
"Aku sedang tak ingin jatuh cinta." Dan setetes air mata pun jatuh, lalu ia berlari masuk ke dalam lobby apartemennya. Aku terus memandanginya sampai ia tak terlihat lagi. Aku masih belum bisa mencerna apa yang dikatakan Vania barusan.
Cinta? Hey, kita baru pertama kali bertemu. Dan aku termasuk orang yang tidak percaya cinta pada pandangan pertama. Atau mungkin dia hanya ingin mempermainkanku? Sengaja mengusik pikiranku. Entahlah. Tak semua harus ada jawabannya saat ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI