Gadis itu memulai dari posisi left corner. Tembakan demi tembakan dilakukannya dengan percaya diri. Aku akui shooting form-nya bagus. Dari sepuluh, ia berhasil memasukkan tujuh bola. Ia berjalan menuju key hole sambil tersenyum mengejek, merasa diatas angin.
Giliranku sekarang. Jujur saja Aku berada dalam tekanan saat ini. Untuk menang aku butuh minimal delapan poin. Ah, percobaan pertama dengan Molten GG7X-ku gagal. Tekananku semakin besar. Sialnya, percobaan keduaku, juga gagal. Kulihat sekilas, gadis itu menertawakanku. Kini tak boleh ada bola yang gagal.
Akhirnya bola pertama yang masuk bagiku di percobaan ke tiga. Begitu seterusnya sampai percobaan ke sembilan. Kini skor imbang 7-7. Bola terakhir kulempar dengan percaya diri, dan.... Srek! Bunyi bola yang mulus memasuki keranjang terdengar merdu bagiku. Seketika meluluhkan keangkuhan gadis berlesung pipi dihadapanku.
Aku memasang ekspresi cool, sedang gadis itu cemberut seakan tak terima kekalahannya. Â Â
"Nama Gue Vania Angelica, puas Lo?" ujarnya sambil bersungut-sungut. Mendengar namanya Aku jadi ingat siapa dirinya. Aku pernah melihatnya di youtube.
"Lo Vania Angelica yang atlet basket itu? Yang pernah jadi MVP alias pemain terbaik turnamen DBL DKI Jakarta 2016? Yang punya julukan Killer Angel? Pantesan jago. Yah, walau pun masih dibawah skill Gue sih," ujarku setengah sombong. Vania mengernyitkan dahinya. Entah bingung bahwa aku mengenalinya atau egonya tersulut oleh perkataanku barusan.Â
"Aslinya..., Lo ternyata cantik juga yah." Aku berkata jujur, bukan sedang mengobral rayuan. Aku juga bukan womanizer, casanova, player, atau sejenisnya. Belum sempat ia menyerang balik pujianku, datang segerombolan pria. Mereka sepertinya anak basket yang biasa bermain di tempat ini.
Vania pun menepi dan duduk di pinggir lapangan. Sebenarnya aku ingin menepi juga, namun anak-anak basket itu ternyata mengenaliku dan mengajakku bergabung. Akhirnya Aku pun ikut bermain satu game. Tim yang meraih 20 poin jadi pemenangnya. Kesempatan untuk show off di depan Vania. Â Â Â
Level permainan mereka masih dibawahku. Berbagai gerakan kuperlihatkan untuk memukau Vania. Crossover dribble ala Allen Iverson, step back shot ala James Harden, dan fadeaway shot ala Michael Jordan. Bahkan di poin terakhir, Aku melakukan slam dunk yang membuat suasana riuh.
Tim yang menang tetap bermain, namun aku meminta posisiku untuk diganti. Aku lebih tertarik untuk mengenal Vania. Aku duduk tak jauh dari posisi Vania. Aku tak langsung mengajaknya berbicara, walau pun aku ingin sekali.
"Lo siapa sih? Koq anak-anak basket sini pada kenal Lo?" tanya Vania tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.