"Jangan panggil Sarti lagi dong, sekarang panggilnya Cindy!" tegas Sarti. Iis, teman sekampungnya itu masih terpana melihat perubahan penampilan Sarti. Gadis yang dulunya biduan dangdut itu kini penampilannya bak artis sinetron. Rambut panjang kecoklatan, bibir tipis, hidung macung, dagu lancip, alis rapi disulam, dan kulit wajah yang glowing. Gaun terusan warna magenta yang dipakai Sarti pun begitu memikat mata Iis. Tambah lagi iPhone 8 milik Sarti yang tergeletak dimeja, membuat Iis berkhayal memilikinya.
"Jadi bagaimana? Masih mau punya uang banyak? Â Masih mau punya handphone bagus? Masih mau punya wajah cantik dan tubuh bagus?" tanya Sarti seraya menatap Iis. Yang ditanya memasang wajah bimbang. Tawaran Sarti sungguh menggiurkan, tapi menerimanya berarti harus mengorbankan banyak hal.
"Aku masih bingung, Sarti, eh Cindy," ujar Iis pelan. Tangannya meremas-remas ujung baju pertanda gelisah. Dalam hatinya tengah menimbang banyak hal untuk menentukan satu pilihan. Bisa jadi satu pilihan paling penting dalam hidupnya. Pilihan yang akan disyukuri atau disesali sepanjang hidup.
"Ya sudah, kamu pikir-pikir aja dulu. Besok pagi Aku balik lagi ke Jakarta. Apa pun keputusan kamu, kasih kabar yah." Sarti memberi senyum pada teman sekampungnya itu. Setelah itu obrolan berlanjut seputar nostalgia masa lalu.
***
Ibunda Iis hanya bisa menangis mendengar keputusan anak kesayangannya itu. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, karena kepergian Iis menjadi solusi dari masalah yang menimpa mereka. Jerat hutang pada Wak Doyeng sebesar 50 juta, ada harapan akan segera lunas begitu Iis menerima pekerjaan ini. Sebenarnya lintah darat itu bersedia menghapus hutang asal Iis bersedia menjadi istri yang entah keberapa. Sesuatu yang ditolak mentah-mentah oleh Iis.
Malam itu Iis mengabari Sarti akan keputusannya. Iis juga mengemasi pakaian dan barang-barangnya dalam sebuah tas besar. Iis tak nyenyak tidur malam itu. Sesuatu yang baru memang selalu membuat hati tak nyaman. Betul kan?
Pagi harinya, menumpang mobil kang Hadi, Sarti dan Iis berangkat ke Jakarta. Sepanjang perjalanan Iis lebih banyak merenung. Mengapa hidup seperti ini? Mengapa dunia ini tak adil? Mengapa aku tak bisa memilih yang aku mau? Dan mengapa-mengapa yang lain berkutat dibenak Iis. Ingin ia menggugat Tuhan, namun ia juga sadar bahwa dirinya tak dekat dengan Tuhan.
"Sudah, jangan khawatir. Uang 50 juta mah kecil buat Mami Joya. Aku juga yakin Mami bakal suka melihat kamu," ucap Sarti yang tak tega melihat Iis termenung.
"Bukan itu, Sarti. Hati Iis kok tidak bisa tenang yah? Perasaan Iis campuk aduk. Sedih, marah, menyesal, takut semua jadi satu." Tanpa terasa setetes air mata jatuh dari mata Iis. Air mata yang kelak terlupakan. Atau lebih tepatnya tak ingin diingat lagi.
Sarti membuka kaca jendela dan menyalakan sebatang Sampoerna Mild. Tak berapa lama, asap putih mengepul dari bibir tipisnya. Menyesap rokok membuatnya lebih tenang.
"Dulu Aku juga begitu, Iis. Apa tahu persis dengan apa yang kamu rasa. Seiring waktu, hal itu akan pudar dengan sendirinya. Paling tidak, nanti hati dan perasaanmu akan terbiasa dengan semua ini. Nikmati saja prosesnya," ujar Sarti sambil memainkan rokoknya. Â Â
Jelang siang Iis pun tiba di kota Jakarta. Gedung-gedung megah dan lalu lintas yang ramai menyambut kedatangan Iis. Ini adalah tempat dimana orang-orang mengundi nasib dan bertaruh impian. Ini adalah tempat dimana orang-orang kadang kala (baca:sering kali) mengubah diri mereka. Entah ke arah yang baik, buruk atau diantaranya. Dan yang lebih memilukan, sampai mereka tak mengenali lagi siapa diri mereka sebenarnya.
Mami Joya begitu gembira melihat sosok Iis. Melihat wajah dan tubuh Iis bak melihat investasi yang bisa membuat bisnisnya lancar. Tinggal dipoles sedikit penampilan dan sikapnya, ia yakin Iis akan jadi segera menjadi idola para kliennya. Ia tambah sumringah saat diberi tahu oleh Sarti, bahwa Iis masih bersegel. Bayangan angka rekeningnya semakin bertambah memenuhi kepala wanita setengah baya itu.
Uang sebesar 50 juta pun berpindah tangan. Itu adalah harga kehormatan yang selama ini dijaga Iis. Satu masalah pun terselesaikan. Iis membayangkan wajah bahagia Ibu dan Bapaknya yang tak perlu lagi diteror anak buah Wak Doyeng. Iis juga membayangkan kedua adiknya yang masih sekolah, tidak malu lagi karena seragam mereka yang lusuh. Setiap bulan ia juga akan mengirim uang agar Bapak dan Ibunya tak perlu kerja keras di sawah.
Mereka tak perlu tahu apa yang Iis lakukan disini. Menggadaikan tubuh bukan pilihan yang Iis mau. Tak bisa pula dibilang keterpaksaan, karena Iis memilihnya dengan sadar. Tanpa paksaan atau tekanan dari orang lain. Jadi bagaimana? Terserah kau sajalah! Â Â Â Â Â
Bunyi notifikasi dari gawai, memecah lamunan Iis tentang masa lalunya. Pesan dari mami Joya yang membuat Iis menghela nafas. Tamu sudah menunggu di room 205, dresscode: Flight Attendant. Iis pun mengganti pakaiannya dengan pakaian ala pramugari. Longdress panjang bermotif batik warna ungu dengan belahan yang cukup tinggi. Ia pun mengubah gaya rambutnya menjadi twist khas pramugari. Terakhir dipakainya sepatu stilleto dengan hak 5 cm warna hitam.
Kini tak ada lagi yang bernama Iis, gadis lugu dari desa Pegagan, Losarang, Indramayu. Berganti dengan nama Patrice yang terdengar lebih modern. Iis mematutkan wajahnya pada cermin. Ia membetulkan sedikit riasannya. Kini ia secantik boneka Barbie. Yeah, Broken Barbie Doll.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H