"Papa, guru tari Indah yang baru, orangnya cantik dan baik loh," celoteh Indah. Anak periang kelas tiga SD itu terus bercerita tentang guru menarinya yang baru. Hal itu tentu saja membuatku penasaran. Indah tak pernah seantusias ini.
Sabtu sore itu, sengaja Aku menjemput Indah lebih awal. Aku penasaran seperti apa guru tari gadis kecilku itu. Dari balik dinding kaca sanggar, Aku menatap sesosok wanita yang tengah mengajar tari tradisional entah apa namanya. Kaus lengan panjang ketat dan legging hitam membungkus tubuh indahnya. Selendang berwarna merah terikat manis di pinggangnya nan ramping. Rambut coklat panjangnya dikuncir ekor kuda. Sesekali ia memperbaiki gerakan anak didiknya.
Setelah selesai latihan, Aku memberanikan diri masuk ke dalam. Indah sedang mengobrol sambil membereskan perlengkapan tari dengan guru yang dikaguminya itu. Saat menyadari kehadiranku, Indah terlihat begitu bersemangat.
"Nah, Mba Gita, ini Papanya Indah. Papa, ini guru tari yang Indah ceritakan itu," ujar Indah dengan bergantian menatap Aku dan Gita.
"Saya Angga, papanya Indah. Sudah dua minggu ini, Indah bercerita tentang guru tarinya," kataku sambil mengulurkan tangan pada Gita.
"Saya Gita, guru tari Indah di sanggar ini. Semoga yang Indah ceritakan, yang baik-baiknya saja," balas wanita cantik yang parasnya seperti aktris Carrisa Perusset itu. Setelah obrolan basa-basi, Aku pun pulang bersama Indah. Tak lupa juga Aku meminta kontak Gita dengan menjadikan Indah sebagai alasan.
Singkat cerita, setelah beberapa kali melakukan chatting dan bertelepon, Aku memberanikan diri mengajaknya kencan. Sebuah dinner di sebuah restoran yang suasananya cozy kuharap bisa memberikan kesan. Namun yang kudapatkan bukan kesan indah yang akan membawaku berlanjut pada kencan kedua. Kesan kuat yang kurasa adalah wanita ini tidak autentik. Ia agak misterius dan seperti menyembunyikan sesuatu. Jangan ragukan penilaianku. Empat tahun kuliah psikologi, pengalaman lima tahun sebagai HR, dan tentu saja intuisi adalah validasiku. Dan kemudian satu peristiwa membuktikan itu semua.
Bermula dari ajakan Willy, inner circle-ku yang paling gaul. Dia mengajak Aku, Ronald, dan Gery ke sebuah club yang sedang hits. Dia berpromosi bahwa sexy dancer disana lain dari yang lain. Kami bertiga menurut saja. Willy tak pernah salah dalam memilih tempat bersenang-senang. Willy adalah veteran untuk urusan seperti ini.
Tibalah kami di sebuah club di kawasan barat Jakarta. Sajian di club ini bukan hanya musik dan alkohol saja. Sajian sexy dancer-nya menjadi unggulan, bukan pernik semata. Disini bahkan ada ruangan private untuk pengunjung menikmati sajian tanpa diganggu yang lain. Dan Willy mengajak kami ke ruangan itu, walau harus merogoh kocek lebih dalam.
Dalam ruangan seperti room karaoke itu, kami duduk santai di sofa menunggu sajian yang telah di pesan oleh Willy. Tak berapa lama, masuklah empat orang wanita bertopeng dan berpakaian ala Cleopatra. Mereka memperkenalkan diri. Ada Laura, Nindy, Sonya, dan yang membuatku kaget, Gita. Belum sempat Aku menelisik lebih teliti, tiba-tiba lampu ruangan diatur redup. Segera setelah musik diputar, mereka menunjukkan aksinya. Liukan sensual mengundang debar pun tersaji.
Mataku terus memandangi sosok yang bernama Gita. Apakah dia Gita yang aku kenal? Postur tubuhnya sesuai, tetapi Aku tak bisa memastikan wajahnya. Mulanya mereka menari secara berkelompok, lalu mereka mulai menari secara individu dihadapan kami. Kebetulan Aku berpasangan dengan Gita. Ia mulai beraksi di pangkuanku. Sesaat kemudian aksinya tiba-tiba berhenti. Dengan halus ia berkomunikasi dengan Laura untuk bertukar pasangan.
Akhirnya Laura yang kini beraksi dipangkuanku. Pandanganku tetap menatap Gita yang kini berpasangan dengan Willy. Sepersekian detik Aku menatap tato kupu-kupu ditangan kiri Gita. Tambah lagi ia memakai gelang pemberian Indah. Aku semakin yakin bahwa sosok disebelahku adalah Gita yang Aku kenal. Laura lalu mengubah arah pandanganku yang sedari tadi menatap Gita seolah ia cemburu. Aksi Laura, Nindy, Sonya, dan Gita semakin liar seiring semakin banyak lembaran merah yang kami keluarkan.
Setelah selesai beraksi, mereka berpamitan dan meninggalkan ruangan. Ketiga orang temanku memasang tampang puas sekali. Willy tampak heran melihat tampangku yang seperti orang bingung.
"Lo kenapa? Kurang puas?" tanya Willy sembari menenggak Chivas Regal-nya. Aku hanya menggeleng.
"Kenapa tadi Gita pindah ke Gue yah? Lo apain dia?" tanya Willy lagi. Aku hanya mengangkat kedua bahuku, menyatakan entah. Segalanya masih belum terang, walau bukti-bukti sudah mengarah.
"Belum lama ini Gue kenalan sama wanita yang namanya Gita. Dia guru tari di sanggar tempat anak Gue belajar menari. Sepertinya tadi dia baru menyadari kalau kita saling kenal. Dan juga sepertinya dia ngga mau identitasnya terungkap," kataku sambil menyesap cola dingin.
"Dari mana Lo tau itu Gita yang Lo kenal? Kan mukanya ngga kelihatan," sanggah Willy.
"Dari tato kupu-kupu di tangan kirinya. Dan lagi dia memakai gelang pemberian anak Gue. Makanya gue yakin banget." Aku menatap Willy tajam. Ronald dan Gery yang tadinya acuh, mulai tertarik dengan pembicaraanku dan Willy.
"Sexy dancer disini rata-rata bisa diajak untuk layanan lebih. Ada kamar khusus untuk itu di atas. Pekan kemarin Gue kebetulan naik sama Gita dan Gue sempat minta nomor kontaknya. Kalau kontaknya sama, berarti valid sudah yang kita ributkan," Willy berkata sambil memeriksa kontak di gawainya. Ia lalu memperlihatkannya padaku. Aku pun memeriksa kontak di gawaiku. Sama persis! Pembicaraan terus berlanjut, namun sudah tak menarik lagi bagiku. Aku sudah mendapatkan apa yang kucari.
Setelah kejadian itu, Aku hanya menunggu di luar ketika menjemput Indah pulang dari sanggar. Celoteh Indah tentang Gita masih saja kudengar. Aku hanya bisa tersenyum getir mendengarnya, entah sampai kapan.
*** Â Â Â Â Â Â
"Papa, guru les mengaji Indah yang baru, orangnya cantik dan baik loh," celoteh Indah setelah berlari dan memeluk diriku yang baru pulang. Aku hanya tersenyum sambil membenarkan letak kerudung putihnya. Selalu ada perasaan bersalah setiap menatap malaikat kecilku ini. Matanya seperti merindukan sosok seorang ibu. Sabar yah, Nak. Kelak Papa akan bertemu dengan sosok yang bisa memberikanmu kasih sayang seorang ibu, batinku.
"Nah, itu dia orangnya," ucapan Indah memutus lamunanku. Ia melepas pelukannya lalu menyeret seorang wanita ke hadapanku. Wanita dengan hijab berwarna biru muda itu tersenyum padaku. Cantiknya alami bukan artifisial. Polesan makeup-nya tipis dan tanpa pensil alis. Sorot matanya meneduhkan dan membawa anganku dalam kedamaian. Hmm, patut diperjuangkan! Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H