Mohon tunggu...
Risman Senjaya
Risman Senjaya Mohon Tunggu... Lainnya - Writer Wannabe

Writer wannabe. Hobi fotografi dan musik. Peminat novel Tere Liye dan Ika Natassa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dan Ternyata Cinta

16 November 2020   10:57 Diperbarui: 16 November 2020   11:24 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Well, if you are not a gold digger, then what should I call you? Sugar baby?" balasku yang kemudian membuatku menyesal lagi.

"Kalian orang kaya, tak akan mengerti bagaimana rasanya hidup dalam kekurangan!" Air muka Mentari merah padam, ia lalu bangkit bergegas meninggalkanku. Kupegang tangannya, namun dengan sekali hentakan, peganganku terlepas. Aku menatap kepergiannya sampai tak terlihat lagi. Aku mengutuk lidah yang tak terkendali ini, lalu terdiam sendirian menyesali apa yang terjadi.

Lewat jam sepuluh malam, aku meninggalkan cafe. Kujalankan Brio putihku lambat saja. Baru beberapa saat, terlihat Mentari sedang berdiri di trotoar masih dengan pakaian kerjanya. Kuhentikan mobil dan membuka kaca jendela.

"Mau kuantar pulang?" tawarku pada Mentari. Ia bergeming, lalu memalingkan wajahnya.

"Ini sudah malam, tidak baik wanita cantik berjalan sendirian. Sepertinya juga akan turun hujan," sambungku. Mentari menatapku. Ia lalu melihat kiri kanan, suasana cukup sepi. Ia lalu membuka pintu mobil, duduk di sebelahku dan memasang seat belt.

"Di mana rumahmu?" tanyaku sambil menyalakan audio. Tak lama kemudian terdengar suara merdu Isyana Sarasvati. Ia menjawab pertanyaanku ketus. Aku mulai menyetir membelah lalu lintas lengang kawasan Pahoman. Rintik hujan mulai turun. Andai saja gadis di sebelahku ini memasang wajah tersenyum, tentu suasana syahdu sekali.

"Malam ini rasanya sempurna sekali. Mendengarkan lagu Isyana Sarasvati di samping penyanyi aslinya," godaku. Tak ayal kotak tissue melayang ke arahku. Aku tertawa.   

"Sudah Kak, simpan saja gombalannya untuk wanita lain!" Mentari berkata ketus. Namun tidak selaras dengan pipinya yang merona. Sekilas kulihat guratan senyum dibibir tipisnya. Sepertinya ia tak marah lagi padaku.

"Ya sudah, kalau saya dilarang menggombal, saya kasih nasihat saja. Boleh?" tanyaku. Mentari hanya diam. Pandangannya lurus menatap air hujan yang jatuh di kaca depan mobilku.

"Diamnya wanita artinya iya." Aku diam sesaat.

"Hmm.... Kita saat ini adalah akumulasi dari pilihan-pilihan yang kita ambil dimasa lalu. Setiap pilihan yang kita ambil, ada konsekuensinya," paparku serius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun