Orang yang bilang kalau uang itu tidak penting, pasti belum pernah merasakan kekurangan uang sepanjang hidupnya. Mungkin dia anak sultan yang kekayaannya tak habis dibagikan untuk tujuh turunan.Â
Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya dibeli dengan uang. Bisa juga dibeli dengan kartu kredit sih. Tapi tetap saja tagihan kartu kreditmu, dibayar dengan uang kan? Â
Apa katamu? Uang tidak mampu membeli kebahagiaan? Iya, Aku setuju. Tapi segala yang membuatmu bahagia, dibeli dengan uang kan? Sudahlah, intinya saat ini aku butuh uang.Â
Pekerjaan apa pun akan kulakoni, yang penting aku mendapatkan uang untuk menafkahi istri dan dua anakku. Seperti sekarang ini, aku menjadi supir pribadi. Persetan dengan gengsi sebagai sarjana ekonomi dan mantan Asisten Manajer. Pandemi bedebah!
"Dayat, nanti kamu jemput  Dita di apartemen Golden Sky jam 7 malam. Antar ke tempat biasa. Yuk, kita berangkat!" Perintah Pak Budi Santoso, membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk dan segera bangkit membukakan pintu Vellfire putih yang menjadi tanggungjawabku.Â
Wajah Pak Budi terlihat kusut, mungkin urusan pekerjaannya sedang rumit. Beliau adalah majikanku yang juga anggota DPAR (Dewan Perwakilan Amanat Rakyat) dari partai Pohon Rindang. Sudah tiga bulan ini aku bekerja sebagai salah satu dari supir pribadi di keluarganya.
*** Â Â
"Asih?" ujarku ragu menatap sosok wanita cantik berusia kira-kira awal dua puluhan didepanku. Ia menatapku lekat, lalu menutup mulutnya terkaget.
"Kang Dayat? Iyeu teh Kang Dayat? Kang Dayat teh siapanya Om Budi?" tanya wanita berambut gelombang kecoklatan itu. Dengan blouse putih, blazer dan rok midi berwarna peach, wanita bernama Dita Sumiarsih itu tampak anggun berkelas.
"Akang teh supir pribadi pak Budi Santoso. Sini kopernya, biar Kang Dayat yang bawa. Yuk berangkat, kita ngobrol sambil jalan aja." Aku lalu melangkah meninggalkan lobi apartemen. Asih mengikuti langkah cepatku menuju parkiran. Sesampainya di mobil, Asih duduk di baris dua alih-alih di sampingku.
Kulajukan mobil bermesin 2500cc itu membelah lalu lintas ibukota menuju arah selatan. Tujuanku adalah sebuah rumah di kawasan yang terkenal dengan sirkuit kebanggaan negeri ini.Â
"Akang hampir ngga ngenalin kamu, Asih. Kamu teh makin geulis aja. Mirip artis sinetron Lania Fira." Aku membuka percakapan dengan basa-basi.
"Ah, Kang Dayat mah bisa aja. Pasti dulu istri Akang digombalin seperti ini juga," jawab Asih tersipu. Kulihat itu dari kaca mobil. Aku tidak menggombal. Asih memang makin terlihat cantik dari terakhir kali kulihat dia sekitar lima tahun lalu.Â
Entah perawatan apa yang ia gunakan hingga bisa jadi secantik sekarang. Bagiku, wanita cantik itu terbagi menjadi tiga. Pertama, cantik dari sananya. Kedua, cantik dari dananya. Ketiga, cantik dari sananya dan dananya. Menurutku Asih masuk kategori yang ketiga.
"Kamu sudah berapa tahun di Jakarta?" tanyaku lagi.
"Hmm... Sudah lima tahun lebih. Memangnya kenapa, Kang?" Asih balik bertanya.
Aku tak langsung menjawab. Pikiranku sedikit berkelana ke masa silam saat pertama kali merantau ke Jakarta. Kau tahu, setelah sepuluh tahun merantau ke kota ini, aku punya satu benang merah. Jakarta sedemikian hebatnya, hingga orang-orang yang pernah bersentuhan dengannya, tak akan pernah menjadi orang yang sama lagi.
"Sedikit banyaknya, Jakarta pasti mengubah diri kita, Asih. Kota ini akan membuat kita meredefinisikan banyak hal dalam hidup kita. Meredifinisi makna impian, keluarga, hubungan, dan juga waktu. Meredefinisi mana yang penting, mana yang tidak. Itu yang Akang rasakan. Menurut kamu?"
Asih tak menjawab. Ia menatap ke arah kaca samping mobil. Memandangi rinai air hujan yang mulai turun. Aku sebenarnya tak butuh jawabannya. Aku hanya ingin sedikit mengganggu pikirannya saja. Aku paham isi otak orang-orang seperti Asih. Jangan kau tanya mengapa aku begitu yakin.
Kunyalakan audio mobil, tak lama kemudian terdengar suara Louis Eliot menyanyikan Broken Barbie Doll. Bagiku orang-orang seperti Asih adalah Broken Barbie Doll. Kau mengerti maksudku kan? Â Â
Sebelum pukul sembilan malam, kami tiba di tujuan. Sebuah rumah mewah dua lantai bergaya Victoria telah menanti. Kulihat mobil Lexus LX 570 berwarna putih telah terparkir di garasi. Berarti pak Budi sudah sampai disini.
Aku membawa masuk koper ke dalam kamar. Asih langsung menghambur ke dalam pelukan pak Budi yang sedang bersantai di sofa ruang tengah. Keduanya lalu bermesraan dan seterusnya tak perlu kutulis disini. Segera aku menjauh, menghargai privasi mereka.
Aku bergegas menuju dapur. Secangkir kopi panas sepertinya bisa meredakan pikiran liarku. Sayup terdengar suara dua insan saling bercumbu. Sesaat kemudian tak terdengar lagi. Mungkin mereka pindah menuju kamar.
Dugaanku benar, Asih dan pak Budi sudah masuk kamar. Pakaian keduanya bertebaran di sofa. Sudahlah, apa yang terjadi bukan urusanku. Apa yang mereka lakukan, tak ada hubungannya denganku. Dengan pekerjaanku lebih tepatnya.
***
Pagi hari yang biasa. Aku sedang beristirahat setelah mencuci mobil ketika Asih menghampiriku. Dengan hanya dibalut kimono dan rambut yang masih terlihat berantakan, tak mengurangi keindahan parasnya.
"Kang, Asih mohon untuk merahasiakan apa yang Akang lihat. Jangan ceritakan pada Ibu dan orang-orang di kampung. Tolong...." Asih memohon sambil menyodorkan amplop, yang aku yakin isinya adalah uang. Aku menatap Asih beberapa saat, mencoba membaca apa maksud semua ini.
Selintas pikiran pragmatisku berkata untuk menerima amplop yang disodorkan Asih. Jumlahnya mungkin cukup untuk membayar SPP kedua anakku selama beberapa bulan. Bisa juga untuk membelikan beberapa stel pakaian Kirana, istriku. Atau mengganti gawai lawasku dengan seri yang lebih anyar.
Tapi itu hanya sekelebat saja. Akal sehatku seketika itu juga meringkus pikiran pragmatisku. Memasukkannya dalam sel nurani, paling tidak untuk sementara waktu.Â
Seperti yang kubilang diawal, Jakarta membuat orang-orang yang pernah bersentuhan dengannya, tak akan pernah menjadi orang yang sama lagi. Tak terkecuali aku. Sesuatu yang tidak ada hubungannya denganmu, tidak menghalangi tujuanmu, bukan menjadi urusanmu. Nilai itulah yang kupegang sekarang.
"Ini semua tidak perlu, Asih," kataku menolak halus pemberiannya.
"Tolong terima, Kang. Kalau jumlahnya kurang, sebutkan saja jumlahnya, nanti Asih transfer. Yang penting, ini akan jadi rahasia kecil kita saja. Tak perlu ada orang lain yang tahu." Asih kembali menyodorkan amplop yang digenggamnya. Aku menghela nafas, mencoba menata apa yang akan kukatakan selanjutnya.
"Satu hal yang kamu perlu tahu, Asih. Jakarta juga menyimpan semua rahasia kita tanpa pernah menghakimi. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan," kembali aku menolak halus penawaran Asih. Aku menatap Asih dengan tatapan bersahabat, mencoba meyakinkannya. Sepertinya berhasil.
"Terimakasih, Kang Dayat." Asih tersenyum dan mengangguk padaku. Ia lalu bangkit dan masuk kembali ke dalam rumah. Satu hal yang mungkin belum kau sadari, Asih. Aku hanya tak ingin membahasnya sekarang. Mungkin juga kau akan menyadarinya sendiri. Bahwa Jakarta... Oh... Jakarta....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H