Mohon tunggu...
Risman Senjaya
Risman Senjaya Mohon Tunggu... Lainnya - Writer Wannabe

Writer wannabe. Hobi fotografi dan musik. Peminat novel Tere Liye dan Ika Natassa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cobang: Hidup dan Cintamu Tak Lagi Sama (Episode: Pertumpahan Darah)

29 Oktober 2020   05:00 Diperbarui: 29 Oktober 2020   05:04 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hari ini ada rencana kemana Bro?" tanya Ryan sambil menyantap nasi goreng buatan Ardi dengan lahap. Ia seperti orang yang seharian belum bertemu makanan. Padahal nasi goreng yang dibuat Ardi sangat sederhana karena keterbatasan bahan.

"Belum ada rencana. Memangnya kenapa?" jawab Ardi yang sedang menonton berita di TV.

"Ikut gue ke dojo yuk. Setiap sabtu pagi, jadwal gue latihan. Lo bisa coba-coba dulu ikut latihan, kalau suka, lo bisa daftar jadi anggota. Lo juga bisa sepuasnya memukul samsak untuk menyalurkan emosi. Lo pasang aja foto suami mantan Lo di samsak. Gue yakin Lo pasti suka," tutur Ryan sambil tersenyum penuh arti.

Ardi berpikir sejenak. Ia tak suka dengan olahraga beladiri, namun penjelasan Ryan nampak masuk akal. Tak ada salahnya mencoba hal baru. Ia lalu mengangguk pada Ryan.

"Nah, gitu dong. Hidup di Jakarta itu keras, Bro. Lo harus punya ilmu beladiri," kata Ryan serius.

***

Dojo tempat Ryan latihan terletak di kawasan Kuningan. Gedung tiga lantai itu terselip diantara gedung-gedung pencakar langit yang tampak selalu congkak. Benar apa yang dikatakan Ryan. Ardi begitu antusias menatap apa yang ada di dojo itu. Atas saran Ryan, Ardi mencoba kelas Krav Maga. Beladiri asal Israel itu praktis, mudah dipahami dan tidak memerlukan seragam khusus. Cocok untuk Ardi yang tidak memiliki latarbelakang ilmu beladiri.

"Nah,gue tinggal dulu yah, Bro. Gue mau latihan, tapi ngga bisa ngajak lo, private soalnya. Tuh pelatih gue dah datang," ujar Ryan sambil menepuk pundak Ardi yang sedang serius memperhatikan gerakan Krav Maga. Ardi mengangguk sambil terpana melihat siapa yang menjadi pelatih Ryan yang ternyata adalah seorang juara turnamen MMA di salah satu stasiun TV nasional. Adrenalin Ardi semakin menjadi. Ia merasa ini adalah tempat yang cocok untuk dirinya.

Setelah sekitar dua jam, Ardi dan Ryan selesai latihan. Peluh menghiasi wajah keduanya. Sebelum pulang, mereka beristirahat di cafetaria yang ada di lantai tiga. Dua gelas mojito dan dua porsi tenderloin steak terhidang di meja.

"Bro, nanti malam clubing yuk," ajak Ryan seraya mengunyah potongan steak pertamanya.

"Hmmm.... Gimana yah? Gue kurang suka suasana club. Gue ngga suka musik dugem. Gue juga ngga minum alkohol," tutur Ardi.

"Ayolah. Lo ngga mesti minum alkohol. Lo bisa pesan soft drink. Dan satu hal lagi, Dea juga datang loh," ajak Ryan tersenyum penuh arti.

"Emang kenapa dengan Dea?" tanya Ardi sok cool.

"Halah, emangnya gue ngga tau kelakuan Lo? Tiap pagi Lo suka curi-curi pandang Dea kan? Nah, Lo mau lihat penampilan Dea yang berbeda dari yang setiap hari Lo lihat ga? Ingat, dis... trak... si..." bujuk Ryan.

Ardi menggaruk kepala yang tak gatal. Ia tak menyangka Ryan mengetahui kebiasaannya itu. Tak ada alasan untuk menolak, Ardi pun memutuskan untuk ikut.

***

Hingar-bingar musik breakbeat yang keluar dari perangkat Pioneer CDJ2000 dengan kekuatan soundsystem 15.000 Watt memenuhi setiap sudut club. Lighting, permainan laser, gun smoke, serta dua big screen begitu memanjakan mata. Semua orang larut dalam euforia, kecuali Ardi sepertinya. Melupakan sejenak segala tekanan hidup. Inilah rumah suci kala akhir pekan. Tempat melampiaskan segala duka lara dan sakit hati.

Di satu sudut sitting table area, telah berkumpul Ardi dan Ryan serta koleganya. Ada Frans, Leo, Ines dan tentu saja Dea. Sengaja Ryan menempatkan posisi duduk Ardi disebelah Dea. Ada beberapa alasan tentu saja. Pertama, ia ingin distraksi bekerja dengan baik pada diri teman lamanya itu. Dan sepertinya berhasil. Paling tidak untuk saat ini. Kedua, Ardi dan Dea sama-sama tidak minum alkohol dan tidak pula merokok.

Botol Vibe Tequila dan Absolut Vodka, beberapa gelas cocktail serta soft drink tersaji di meja. Canda tawa sejenak melupakan rutinitas pekerjaan. Tak lupa pula dance gila-gilaan sebagai ekspresi diri. Lewat pukul dua dini hari, mereka pulang. Frans, Leo, dan Ines menumpang mobil Dea. Ardi pulang bersama Ryan. Ada baiknya juga Ardi dan Dea tidak minum alkohol, karena bisa menjadi supir saat yang lain tipsy.

Sesaat sebelum membuka pintu mobil di parkiran, terdengar keributan lalu jeritan seorang wanita. Ardi melihat ke arah asal suara, ternyata jeritan itu berasal dari wanita yang dikenalnya baru-baru ini. Ia lalu berlari mendekati tempat kejadian. Nampak seorang pria tengah terkapar dikeroyok oleh dua orang berbadan tegap. Seorang pria bercodet di pipi nampak tersenyum menyeringai sambil melipat lengannya didada. Mungkin ia majikan dari dua orang berbadan tegap itu.

"Rei! Ada apa ini?" teriak Ardi.

"Tolong mas Ardi. Teman saya dikeroyok preman!" Reiga berteriak dengan wajah pucat pasi. Ardi bersiap menghampiri kedua orang preman itu, namun Ryan mencegahnya.

"Bukan urusan kita, yuk cabut," cegah Ryan sambil

"Cewek itu kenalan gue, Bro."

"Iya gue ngerti, tapi sebaiknya kita ngga ikut campur. Salah-salah nanti kita yang--" Kalimat Ryan terputus karena Ardi segera berhambur ke arena pertarungan. Ardi menelan ludah saat mengetahui bahwa preman dihadapannya memegang senjata tajam, pisau karambit. Tanpa menunggu aba-aba, preman itu menyerang Ardi dengan pukulan bertubi-tubi. Beruntung masih bisa dihindari oleh Ardi.

Namun sabetan pisau karambit tak bisa sepenuhnya dihindari oleh Ardi. Lengan kirinya tersayat dan tetesan darah mengotori kemeja Giordano putihnya. Ardi memegang lengannya dan meringis kesakitan. Ia menjadi sedikit lengah. Sebuah pukulan mendarat telak diperut Ardi dan membuatnya roboh tak berdaya. Sungguh situasi yang berbahaya. Tepat sebelum serangan berikutnya, Ryan melancarkan pukulan keras yang mengenai rahang. Sang penyerang tersungkur. Hal itu membuat temannya murka. Dengan cepat ia melancarkan serangan yang dengan mudah ditangkis oleh Ryan.

"Cukup! Cukup! Ayo kita pergi!" teriak pria bercodet. Dua preman yang siap mengeroyok Ryan menatap pria bercodet seperti tak mengerti. Pria becodet itu seperti menunjukkan bahasa isyarat pada kedua preman itu. Ia menunjukkan pergelangan tangannya lalu menatap Ryan. Kedua preman itu lalu menatap pergelangan tangan Ryan dan seketika itu juga wajah mereka pucat pasi. Pria bercodet dan kedua preman itu pun pergi dengan tergesa.

Ryan menghampiri Ardi dan membuka kemeja merahnya untuk menutup luka Ardi. Ia lalu memapah Ardi dan segera melarikannya ke rumah sakit. Sementara itu, Rei dan dua orang temannya juga memapah teman pria mereka yang juga terluka cukup parah.

Syukurlah luka Ardi tak seberapa parah, dan bisa langsung pulang. Dokter hanya memberinya obat luar dan antibiotik untuk mencegah infeksi. Walau masih menyisakan beberapa tanya, Ardi bersyukur masih selamat.

Yup, welcome to Jakarta Ardi. Dan ini belum seberapa. Sungguh di depanmu telah banyak bahaya menanti. Berhati-hatilah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun