"Maen sama Ayumi gimana maksud lo?" tanya Dirga kebingungan.
"Lo barusan dari unit 108 kan? Itu kan kamar Ayumi. Bulan lalu gue 'maen' sama dia," jelas Hendra yang membuat Dirga semakin tak mengerti. Dirga menatap Hendra seperti anak SD yang diberi soal integral orde dua.
"Hmmm, jangan-jangan lo pacaran sama Ayumi, dan lo belum tahu kalau dia itu wanita penghibur," terka Hendra. Lelaki berambut ikal itu menatap Dirga serius. Belum sempat Dirga berbicara, pintu lift terbuka. Mereka berdua berjalan dengan langkah cepat. Sesampainya di parkiran, mereka berpisah dan saling bertukar kontak.
Dirga memacu Yaris merahnya perlahan membelah malam kawasan Pantai Indah Kapuk. Pikirannya mencerna apa yang disampaikan Hendra barusan. Ada banyak pertanyaan yang tidak mau ia sandarkan pada asumsi dan dugaan belaka. Ia harus mencari jawabnya pada Hendra.
***
"Begitulah, Bro. Gue udah jelaskan keadaannya sedetil mungkin. Sekarang pilihannya ada sama diri Lo sendiri," tutur Hendra sambil menghirup cappucino hangat dihadapannya. Di sebuah coffee shop kawasan Cengkareng, Dirga dan Hendra terlibat perbincangan serius.Â
Penjelasan dan bukti-bukti yang disodorkan Hendra memvalidasi apa yang menjadi asumsi dan dugaan Hendra. Getir memang mengetahui hal ini dari orang lain. Seketika hatinya remuk. Apa yang selama ini ia sebut cinta, tak berarti akhirnya.
***
Malam makin meninggi. Dari unit apartemen 108 terdengar suara lelaki memuaskan hasratnya. Setelahnya hasrat terpuaskan, ia melempar beberapa lembaran merah di ranjang. Lelaki itu lalu memakai pakaiannya kembali dan pergi begitu saja.Â
Sementara sang wanita hanya melamun dengan pandangan kosong. Separuh jiwanya mati dibunuh oleh rasa sesal tiada bertepi. Kini ia sadari, tak ada cinta untuknya. Wanita itu adalah Nayla.
Sang lelaki berjalan gontai menyusuri koridor apartemen. Lelaki itu tak lain adalah Dirga. Dalam dimensi waktu yang sama, tapi dalam dimensi ruang yang berbeda, ada dua insan itu disengat oleh cinta. Tak ada yang perlu disalahkan. Semua hanyalah sebab akibat.