Ini adalah kali ke-5 saya berkunjung ke Medan, Sumatera Utara, untuk urusan pekerjaan. Hampir semua sudut kota Medan pernah saya jelajahi. Namun, masih banyak tempat wisata di Sumatera Utara lain yang belum pernah saya kunjungi. Selain Samosir/Danau Toba dan air terjun Sipiso-piso, Berastagi adalah salah satu kota kecamatan di Sumatera Utara yang ingin saya kunjungi.
Pernah saya agendakan untuk berkunjung ke Berastagi pada kunjungan sebelumnya, tapi diurungkan karena gunung Sinabung meletus, sehingga Berastagi yang terletak di Kabupaten Karo terkena imbasnya, minimal abu letusan akan sampai ke sana. Secara geografis, Berastagi yang berada di ketinggian 1.300 mdpl ini, diapit oleh dua gunung api aktif, yaitu gunung Sinabung dan gunung Sibayak (wikipedia).
Saat melihat agenda pekerjaan saya di Medan yang tidak terlalu padat, sebelum tiba di Medan, saya putuskan untuk berkunjung ke Taman Alam Lumbini, yang terletak di Desa Tongkoh, Kecamatan Dolatrayat, Kabupaten Karo, tidak jauh dari Berastagi.
Rabu tanggal 17 Mei 2017, adalah hari ke-4 saya berada di kota Medan. Kebetulan, hari itu saya sedang tidak ada agenda untuk urusan pekerjaan. Setelah melakukan blog walking dan tanya kanan-kiri, saya membuat itinerary sederhana untuk kunjungan saya ke Dataran Tinggi Karo tersebut.
Jam 08:00 pagi setelah sarapan di hotel, saya bergegas memesan ojek online ke Simpang Pos. Saya turun di dekat flyover Jamin Ginting, tempat mangkal bis mikro/elf yang akan mengantarkan saya ke tujuan. Di sana saya naik bis mikro jurusan Medan - Kabanjahe dari Perusahaan Otomotif (PO) Sumatera Transport. Selain PO Sumatera Transport, ada beberapa PO yang mempunyai trayek yang sama, seperti PO Sinabung, dan yang lainnya. Tidak ada alasan khusus kenapa saya pilih PO Sumatera Transport, karena saya memilihnya secara acak.
Sebelum naik bis mikro tersebut, tidak lupa saya berbicara kepada abang kernet agar diturunkan di Simpang Tongkoh, karena saya akan berkunjung ke “Pagoda”.
Ya, P-A-G-O-D-A! Nama “Taman Alam Lumbini” sendiri kurang familiar untuk warga Sumatera Utara. Mereka lebih mengenal dengan nama “pagoda di (Simpang) Tongkoh”.
Sekitar 10 menit setelah saya masuk, bis langsung melaju. Di luar dugaan memang, saya pikir bis akan ngetem lama untuk menunggu kursi penuh, tapi ternyata tidak. Bagus pikir saya waktu itu, karena bisa menghemat waktu perjalanan saya. Bis yang lajunya tidak terlalu kencang, ternyata banyak berhenti di jalan untuk menaikkan penumpang lain.
Bis PO Sumatera Transport ini kalau di daerah Bandung, besarnya sama dengan bis kobutri jurusan Cicaheum - Majalaya. Sehingga, penumpang yang naik setelah kursi penuh, akan berdiri. Ternyata berbeda dengan awal-awal, ketika bis sudah penuh dengan penumpang, laju bis ini cukup kencang. Sang supir seperti tidak menghiraukan medan jalan antara kota Medan dan Kabanjahe yang menanjak dan berliku.
Di sepanjang jalan saya disuguhi pemandangan khas pegunungan. Tidak ada kemacetan yang berarti karena hari itu bukan hari libur. Bis yang dilengkapi dengan tv flat, memutar lagu-lagu berbahasa Batak dengan volume suara yang cetar membahana, semakin menegaskan jika saat itu saya memang sedang berada tanah Batak :)
Setelah dua jam perjalanan, abang kernet berteriak “Tongkoh.. Tongkoh!”, pertanda saya harus segera turun dari bis. Saya hanya membayar Rp 10.000 untuk perjalanan saya kali ini. Relatif sangat murah, mengingat perjalanan ini berjarak lebih dari 50 KM, dan sudah berada di luar kota Medan.