Mohon tunggu...
Cerpen

Penyesalan Seorang Sahabat Sejati

3 April 2017   22:09 Diperbarui: 4 April 2017   15:34 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari mulai menampakkan diri pagi ini. Suara dentingan jam menyertai perjalananku. Beberapa detik lagi aku akan bertemu dengannya, pria pujaanku sejak beberapa bulan lalu. Dia yang menjadi penyemangatku, dia yang menjadi pengobar hatiku, dan dia yang menabur mimpi indah dalam tidurku. Hariku tak akan lengkap tanpanya, hatiku tak akan tenang jika aku tak melihatnya. Jika saja dia merasakan hal yang sama denganku, jika saja dia lebih peka dengan yang namanya cinta. Tapi aku tak akan menyerah, aku akan terus berusaha mendekatinya sampai tujuanku tercapai. Tetapi sepertinya dia mulai peka ada sesuatu yang aku rasakan untuknya.

Jika kamu memang tau tentang ini, tolong jangan dulu kamu pergi, jangan dulu kamu menghindar, lihatlah dulu perjuanganku, aku yakin hatimu akan tersentuh dengan cintaku. Aku ingin melihatmu salah tingkah saat melihatku, aku ingin melihat sorotan tajam mata kamu saat menatapku, aku ingin kamu selalu menanyakan kabarku, aku sangat ingin melihatmu merindukanku. Yap, aku memang terlalu banyak meminta, tetapi selama yang aku tau, itulah ciri-ciri orang yang mencintai orang lain, jadi menurutku itu tidak terlalu salah.

Kali ini aku mendapat teman baru, teman yang kini menjadi sahabatku, dia teman yang ku kenal semenjak dia pindah sekolah dan di tempatkan ke kelasku, dia tau tentang aku dan pria itu, pria yang ku puja. Namun aku ternyata di jodohkan orangtuaku dengan pria yang sama sekali tak aku kenal. Terpaksa aku harus menjauhi pria pujaanku itu, apalagi aku harus bolos sekolah selama 2 minggu untuk lebih dekat dan mengenal keluarga serta pria yang akan di jodohkan denganku. Aku tak bisa menolak permintaan orangtuaku tersebut, aku tak ingin durhaka.

Dan ternyata selama aku pergi, pria itu selalu menanyakanku kepada Rina, yang tak ku sangka, ternyata Rina mengatakan hal yang sesungguhnya, dia menceritakan semuanya kepada pria itu. Aku tak salah memilihnya, Rina menjaga pria pujaanku dengan baik, dengan sangat baik hingga aku muak dengannya, dan yang paling parah ternyata dia juga menyukai pria itu. Aku tau dari mulut teman di kelas yang termasuk teman baikku, dia menceritakan tingkah aneh Rina yang selalu memandangi pria pujaanku, dari sana aku dapat menyimpulkan jika dia menyukai pria pujaanku. Aku akan tetap menganggapnya teman, tetapi bukan sahabat.

 Setiap hari dia menanyakan apa yang terjadi padaku, kenapa aku selalu menghindari dia, hanya satu jawaban yang dapat aku beri “coba pikirkan apa kesalahanmu, jika kamu sudah mengerti kamu bisa menemuiku lagi”. Beberapa hari kemudian dia menemuiku, dia menemukan jawabannya “aku sekarang tau, tapi apa aku salah jika aku juga mencintainya? Setiap orang mempunyai hak untuk mencintai orang lain.” Kemarahanku semakin meningkat. “dan juga mempunyai hak untuk menusuk sahabat sendiri? Itu maksud kamu?

” Rina menunjukkan ekspersi bersalahnya dan berkata, “bukan, aku hanya tak ingin melukai hatimu. Mari kita bersaing secara sehat, jika dia memang memilihmu, aku akan melepaskannya untukmu. Tapi bisakah kamu tetap menjadi temanku?” “dengan menyembunyikannya itu lebih membuatku sakit. Sejak aku tau, aku tetap menganggapmu teman, teman yang baru aku kenal. Baiklah, mari bersaing”.

Setelah percakapan itu, tak ada lagi canda tawa dengannya, tak ada lagi curhat terbuka dengannya, aku merasa kehilangan, tetapi aku terlanjur mengangkat pedang dan menunjukkan kesiapanku untuk bertarung dengannya. Aku mengerahkan segala ideku untuk mendekatinya, begitupun dengan Rina, tetapi kelemahanku adalah orangtua, aku harus menuruti untuk di jodohkan, dan aku kalah langkah dengannya, aku sudah terlampau jauh dengannya, pelan-pelan aku mulai pesimis, aku tak yakin sanggup menaklukan pria pujaanku.

Namun keyakinanku mulai terbangun semenjak ayah membatalkan perjodohan itu karena ternyata pria itu bukan pria baik-baik. Aku mulai mengencangkan langkahku, berusaha mengejar ketertinggalanku. Dia memang lebih memperhatikanku, tetapi dia lebih sering membicarakan Rina bukan aku. Apakah aku harus menyerah? Apa aku harus menyerah dengan keadaan? Apa aku harus menyerahkan pria pujaanku yang selama berbulan-bulan aku puja untuk sahabat yang ternyata juga menyukainya? Pria itu sepertinya menyukai Rina.

Hari ini berjalan seperti biasanya, namun yang tidak biasa aku sama sekali tak melihat kehadiran Rina. Dari kabar yang ku dengar, Rina akan pergi ke Amerika untuk beberapa hari karena saudara dia yang disana sedang sakit keras. Pesawat dia akan berangkat siang ini, dan ternyata pria pujaanku akan menemui Rina di bandara sepulang sekolah. Entah apa yang aku pikirkan, aku ingin sekali menemui Rina untuk sekedar mengucap selamat tinggal dan memeluknya, tetapi aku tak sanggup melakukannya. Pria pujaanku menemuiku, dia memberikan sepucuk surat untukku dan surat itu dari Rina.

“Untuk Sahabatku tersayang,

Kirana.

Maafkan aku karena melukai hatimu, jika aku bisa aku juga ingin menghapus rasa cintaku kepada pria pujaanmu itu, tetapi aku tak bisa melakukannya, rasa ini terlalu dalam. Asal kamu tau, setiap aku bertemu denganmu aku tak sanggup menatapmu, aku sangat malu. Setiap melihatmu menyendiri aku selalu merasa sedih, aku tak sanggup membendung deraian air mataku. Kamu adalah sahabat yang paling aku sayangi, yang paling mengerti aku. Maaf karena aku berbohong pergi ke Amerika untuk menjenguk saudaraku. Jika waktu masih mengijinkan kita untuk bertemu, aku ingin mengatakan betapa aku sangat menyayangimu, betapa berartinya kamu dalam hidupku.

Mungkin rasa cinta kamu lebih besar dari rasa cintaku, karena itu aku lepaskan Alfan untukmu. Mungkin dia bukan jodohku, dan tolong do’akan agar aku bisa melupakannya. Maafkan aku Kirana, aku terlalu silau dengan cinta. Tolong jangan menangis ketika membaca surat ini, karena aku tak suka melihatmu menangis, karena sedihmu adalah sedihku. Aku tak pantas mendapat setetespun air matamu, simpan air matamu untuk nanti. Suatu saat kita akan bertemu lagi, yakinlah itu, itupun jika kamu masih menganggap aku sahabatmu, aku tau aku salah besar jika meminta ini padamu, tapi tolong jangan memusuhiku. Aku akan pindah dan bersekolah di sini, aku akan sangat merindukanmu sahabatku.”

Air mata terus membasahi pipiku, aku terus menjerit menyesal, betapa bodohnya aku melepaskan sahabat sebaik dia. “Jika kamu mau, aku akan mengantarmu kesana. Pesawat akan terbang setengah jam lagi” tanpa mengulur waktu, aku menerima tawaran Alfan. Sampai di bandara aku melihat Rina yang sedang duduk menanti pesawat yang akan dia naiki. Aku segera menghampiri Rina dan memeluknya “jangan pergi, tolong jangan pergi. Aku tak ingin kehilangan kamu” “Kirana, jangan menangis, aku mohon jangan menangis untukku, aku tak pantas menjadi orang yang kamu tangisi” “omong kosong apa itu? Kamu adalah sahabatku, sahabat yang sangat aku sayangi”

Rina menangis tersedu-sedu dengan terus memandangiku“terima kasih, terima kasih kamu masih mau menganggapku sahabat” “jangan mengatakan hal aneh lagi. Rina aku menyesal, maafkan aku” “aku yang salah, bukan kamu Kirana. Sebentar lagi aku harus pergi, sekali lagi aku minta maaf Kirana” sambil menahan air mata yang terus berjatuhan aku menguatkan diri untuk berkata sebelum dia pergi “Rina, tolong jangan pergi, bisakah kamu tetap tinggal untukku? Untuk Alfan?”

“Oh ya, Alfan tolong jaga sahabatku baik-baik. Aku tau dulu kamu menyayanginya” “tetapi sekarang aku menyayangimu. Jadi tolong jangan pergi” jantungku serasa berhenti sekejap mendengar perkataan pria yang selama ini aku puja-puja. Namun aku masih teringat sahabatku yang juga mencintainya. “Ijinkan Kirana untuk membuka hatimu kembali, ijinkan dia mengisi hatimu. Selamat tinggal sahabat-sahabatku, aku akan merindukan kalian”. Aku terus menangis tersedu-sedu memandangi Rina yang semakin jauh pergi.

Tadi malam aku bermimpi Rina melihat ke arahku dan tersenyum, dia mengatakan dia sudah menganggap aku seperti saudaranya sendiri dan dia sangat senang bisa menjadi bagian hidupku, lalu tiba-tiba dia menghilang. Keesokan harinya ada sebuah berita yang mengatakan pesawat tujuan Amerika terjatuh ke hutan dan tak ada satu pun penumpang selamat. Ternyata berita itu sudah dari kemaren sore. Aku tertegun melihat berita itu, sontak aku langsung menangis melihat berita itu. Aku tak menyangka dia pergi secepat itu. Segera aku pergi ke rumah saudaranya, saudaranya menuntunku ke arah makam Rina.

Di batu nisan itu tertuliskan “Rina Artanti” air mataku kembali terjatuh, semua kenangan indahku bersamanya kembali terngiang di pikiranku. Saat kami pergi bersama, bercerita dengan gembira, berbagi sedih bersama, bahkan saat kami bermusuhan dan pertemuan terakhir kami. Di sana ternyata juga terdapat Alfan, pria pujaanku. “kamu disini juga. apa Rina jug berpamitan dengan kamu di mimpi? Rina juga mengucapkan selamat tiggal kepadaku, dia memintaku menjagamu. 

Tapi maaf, aku tak bisa, aku masih sangat mencintai Rina. Dia adalah wanita yang selama ini aku cari” aku beranjak berdiri dari tempatku semula “aku tak heran, dia memang bukan gadis yang tangguh, dia membuatku serbasalah. Aku harus pergi sekarang” tanpa basa-basi aku pergi meninggalkannya yang masih tersungkur di makam Rina.

Setelah kepergian Rina, Rina terus mendatangiku lewat mimpi, dia selalu meminta maaf dan menangis dihadapanku dia sempat berkata “andai saat itu aku tak datang dalam kehidupan kalian, semua tak akan menjadi begini. Kamu pasti sudah bersama dengan pria pujaanmu” “Rina, sekarang semua itu sudah tak penting, kamu boleh tenang di alam sana. 

Kelak kita akan bertemu, yakinlah itu” jawabku. Di malam 39 hari, Rina kembali mendatangiku melalui mimpi dan berkata “Kirana, aku sangat menyayangimu, aku tak tega melukai hatimu. Aku ingin mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya, semoga kamu mendapat pria yang lebih baik dan sahabat yang lebih baik dariku” ungkapnya seraya menangis. “Rina, tak ada yang menggantikan posisimu, kamu sahabat terbaikku.

Dan jangan menangis, itu membuatku menjadi semakin sulit melepasmu” Aku mencoba menutupi kesedihanku dengan tersenyum kepadanya menyambut pertemuan terakhir kami. Saat terbangun, aku kembali menangis mengingat aku tak akan bisa bertemu lagi dengannya, aku hanya memiliki foto, dan beberapa barang pemberiannya yang selalu aku simpan. Rina semoga kamu bahagia disana. Aku akan selalu mendo’akan yang terbaik untukmu, jangan khawatir soal Alfan, 

aku akan segera menemukan pria pujaanku yang lain yang lebih dari dia. Aku sekilas seperti melihat Rina di kaca riasku, dia tersenyum. Namun saat aku berbalik badan, dia tidak ada. Coba kulihat lagi di kaca, dia juga sudah tak terlihat, saat itu aku tau, kamu menyambut gembira hal tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun