Nama prajurit yang memilih membela demonstran dan melawan tentara tambahan itu adalah Er-Hurr yang akhirnya ikut tewas dalam peristiwa yang kini dikenal dengan Peristiwa Padang Karbala.
Er-Hurr lah yang kemudian menjadi contoh tentang apa yang disebut dengan prajurit hati nurani karena Er-Hurr tidak bisa ikut serta dalam kepemimpinan yang zalim yang tega menzalimi rakyatnya sendiri.
Pertanyaannya, apakah TNI sekarang ini adalah institusi yang hanya berisi elit yang sudah menjadi pelindung dan perkerja bagi penguasa zalim?
Kedua, jika tidak demikian maka apa yang dilakukan oleh Kolonel Adjie dan jenderal senior adalah sebatas aksi politik kekuasaan. Jika benar sebatas aksi politik maka ini juga menjadi dua fakta politik yang bisa membuat kita menaruh keprihatinan pada TNI. Pertama, secara tidak langsung TNI telah melanggar komitmen reformasi untuk hanya menjadi tentara profesional yang ditegaskan dalam paradigma baru TNI. Dan kedua menjadi bukti kuat bahwa TNI "tidak sedang enak hati" karena telah dilucuti dari arena politik dan arena bisnis. Terakhir, TNI juga sedang "tidak enak jiwa" karena tidak punya "mainan" lagi di daerah teritorial khususnya di daerah-daerah yang dulu disebut sebagai daerah rawan konflik.
Jika kedua sebab itu tidak benar juga maka hanya ada satu kemungkinan lagi yakni: kolonel Adjie dan jenderal senior itu sedang ada masalah-masalah pribadi yang dengan melakukan sesuatu diharapkan dapat menutupi masalahnya utamanya.
Entahlah. Sang waktu akan mengungkapkannya. Toh sudah ada beberapa contoh hadirnya buku-buku prajurit yang saling mengungkap rahasia diantara mereka. Tinggal publik yang akan memberi nilai siapa yang prajurit hati nurani, siapa yang prajurit profesional, dan siapa yang menjadi prajurit pembangkang.
Saleum Kompasiana
Risman A Rachman
Aceh-Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H