Puisi dan Tubuh Pengantar Pesan
“Setiap inci tubuh perempuan punya cerita, punya kata-kata.
Aku memilih puisi untuk menemuimu (mungkin) menyentuh hatimu…”(Farra Yanuar, Tubuh Perempuan, 2021).
Potongan sajak pengantar dari Farra Yanuar, seorang perempuan kelahiran Cimahi menarik dalam perspektif memahami setiap inci tubuh perempuan. Di dalam sajak-sajaknya banyak ditemui tubuh-tubuh perempuan yang dibungkus sedemikian menarik dengan memperlihatkan fenomena yang kian hari kian mengental akan budaya patriarki terhadap tubuh perempuan. Barangkali dengan menggunakan tubuh lebih mudah untuk mengantar kita kepadanya (nasib perempuan).
Fenomena yang terjadi terhadap tubuh perempuan hari ini seakan-akan dituangkan ke dalam satu buku antologi puisi yang ditulis oleh Farra Yanuar. Di dalam sajak-sajaknya, banyak menceritakan tentang penderitaan perempuan dan pemahaman yang keliru terhadap tubuh perempuan. Mulai dari perempuan dideskripsikan sebagai tanah yang sebagaimana dituangkan dalam salah satu puisinya yang berjudul Setiap Perempuan adalah Tanah. Puisi tersebut membawa kita untuk berada dalam ranah nasib perempuan yang selalu bisa dan siap menampung segala unsur-unsur kehidupan yang ada.
Puisi seringkali digunakan untuk mengantar segala pesan karena kekuatannya untuk mengajak kita lebih reflektif dalam memandang peristiwa yang terjadi saat ini. Dengan metafora-metafora yang digunakan di dalamnya dapat mengajak kita untuk lebih membuka pikiran lagi dalam memahami setiap unsur-unsur kepuitisannya menuju kepada yang terkesan. Dengan demikian, ada kemungkinan kalimat puitis untuk “menghadirkan” nasib-nasib perempuan yaitu secara simbolis dan secara denotatik (semacam konsep yang terbaca abstrak).
Seringkali penulis mengangkat sisi lain dari perempuan yang tidak banyak diakui oleh budaya kita sekarang, dengan menggambarkan perempuan juga hakikatnya adalah cermin. Dalam fenomena yang terjadi saat ini, banyak tragedi-tragedi yang menimpa persoalan perempuan. Bisa dilihat atau diakses melalui berita-berita bagaimana ketajamannya budaya sekarang dalam melahirkan setiap hati dan prasangka buruk terhadap perempuan.
Sebagai pembaca perempuan, puisi ini dalam ketajamannya menyajikan suatu nasib perempuan sangat renyah untuk ditelaah karena, dalam penghadiran diksi, imaji dan perumpamaan lewat berbagai bagian tubuh perempuan menyatu dan saling menguatkan. Sebagai pembaca perempuan, dengan membaca sajak-sajak Farra sangat menggambarkan bagaimana nasib perempuan yang berada diantara budaya-budaya kita sekarang ini. Perempuan yang selalu identik dengan dapur, memperkaya ilmu dapur, mengurus keluarga, anak dan unsur-unsur kehidupan dalam keluarga lainnya. Bukan hanya itu, juga perempuan digambarkan sebagai yang selalu bisa dalam berbagai ranah kehidupan sekarang ini. Perempuan sebagai objek laki-laki atas nama cinta yang digambarkan melalui salah satu pusinya yang berjudul Musnah dengan potongan sajaknya “Kekasih, Kali ini cinta adalah lara yang kukulum dan kau saksikan berulang kali sebagai senyuman.
Berbagai macam nasib perempuan yang dituangkan sebagai salah satu senjata untuk mengtidakkan prasangka buruk terhadap perempuan. Menempatkan hakikat perempuan pada tempatnya serta, mengungkapkan sisi lain dari hakikat perempuan yang sebenarnya. Dalam sajaknya, dituangkan pula perempuan bertindak sebagaimana mestinya apa yang dikehendaki oleh orang-orang sekitar dengan selalu perempuan dibenturkan oleh keinginan dan kenyataan disekitarnya. Kelihaian penyair dalam menuangkan buah-buah sajaknya bagaikan busur mengenai tepat pada sasarannya.
Fakta yang terjadi sekarang di mana tubuh perempuan selalu diakali dengan berbagai macam kebejatan untuk menguntungkan satu pihak. Betapa ironinya budaya seakarang dengan menempatkan tubuh perempuan kepada yang paling rendah dari segalanya. Sebagai wadah kepuasan semata, dengan menggunakan kalimat yang berlindung pada yang demikian memang itu sebenarnya hakikat dari tubuh perempuan. Budaya sekarang masih banyak menganggap tubuh perempuan itu adalah sauh yang setiap prahara sanggup didedah. Perempuan juga digambarkan sebagai seorang perempuan dengan kata lain seorang ibu yang menjadi empu bagi keheningan tengah malam.
Di dalam puisinya juga perempuan seringkali dianggap bisa merasa tangguh dalam mengundang segala persoalan-persoalan yang ada, yang sebenarnya perempuan juga tidak dapat merangkul semua persoalan yang ada dengan selalu dirundung kesepian. Sukar untuk dijelaskan budaya kita sekarang dalam menghakimi tubuh perempuan, karena sudah terlampau lama ditanamkan dan tumbuh berkembang dari sedemikian rupa perspektif yang ada terhadap tubuh perempuan.