Mohon tunggu...
Risma Indah L
Risma Indah L Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan penikmat hobi

Menulis mencoba menginspirasi Mendidik mencoba memberdayakan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Komunikasi yang Membangun Jembatan

26 Januari 2020   00:16 Diperbarui: 26 Januari 2020   08:34 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi komunikasi antara guru dengan murid (Sumber: harmowwwnycounsellings)

"Melihat jam, saya yakin pasti akan terlambat sampai di sekolah". Saya ingat hari itu jadwal beliau (seorang guru) piket. Ah, daripada emosi mendengar kata-katanya, saya putuskan menunggu di luar sampai jam piket berakhir".

"Itu sebabnya saya sampai di sekolah sudah lumayan siang". Begitulah jawaban seorang siswa ketika saya bertanya, "Mengapa kemarin kamu tiba di sekolah hampir jam 10 pagi?".

Sebagai guru, pimpinan, atau mungkin orangtua. Kita mestinya terkadang memberi teguran pada siswa, bawahan, atau anak-anak kita. Hal yang wajar tentunya. 

Tetapi kita perlu bertanya, apakah kata-kata yang kita gunakan sudah tepat? 

Kata-kata tepat yang dimaksud bukanlah soal kalimat yang dinilai memenuhi kaidah EYD, apalagi tata bahasa Indonesia yang baik. 

Melainkan bagaimana kalimat teguran tersebut disampaikan dengan memperhitungkan perasaan orang yang bersangkutan, tidak memberi label, membuka kemungkinan memberi jawaban, memberi alternatif, memberi pemahaman, dan juga secara jujur mengungkapkan pikiran, perasaan, serta tujuan kita. 

Terkadang karena merasa "posisi" lebih tinggi, jadinya seenaknya saja menegur. Apalagi yang ditegur levelnya di "bawah", sehingga kata-katanya "sekenanya" saja. Atau bisa jadi lawan bicara kita sesama rekan kerja, teman, atau pasangan. 

Sayangnya, kata-kata yang digunakan kurang dipilih dengan baik sehingga tanpa sadar menimbulkan rasa tersinggung pada yang bersangkutan.

Rasa tersinggung sering tidak ditunjukkan apa adanya, bisa jadi dengan menghindar

Sebuah fakta, ada orang yang menghindari komunikasi dengan seseorang, karena kata-katanya membuat kurang nyaman. Memancing emosi, senang menyalahkan, bahkan menghakimi. Jujur saja zaman dahulu, saya memiliki pimpinan yang punya model seperti ini. 

Jangankan mengobrol, ketika beliau memasuki ruangan, kami sudah merasakan situasi tak nyaman. Bagaimana mungkin merasa nyaman kalau ada orang yang dengan enteng mengatakan, "kamu goblok" atau " kamu bodoh" di depan orang banyak?

Seperti murid saya tadi. Ia menghindar karena tahu akan mendengar kata-kata kasar, memberi label, atau kata-kata yang tidak pantas yang mungkin lebih cocok diucapkan di hutan belantara yang tak ada manusia.

Menyoal memilih kata-kata bukanlah soal baper. Menurut saya baper sih hak setiap orang, asalkan jangan berlebihan. Tentu menjadi berlebihan kalau tersinggung tidak pada tempatnya, atau karena alasan yang tidak logis. 

Kita perlu lho melakukan introspeksi apakah cara kita berkomunikasi sudah tepat sehingga membuat orang lain merasa nyaman? 

Image: dasepsuryanto.com
Image: dasepsuryanto.com

Komunikasi bukanlah sekedar urusan menyampaikan dan menerima pesan
Sebagai manusia, satu hal penting menjadi dasar, yakni komunikasi antar manusia adalah komunikasi antar pribadi. Itu yang membedakan komunikasi kita dengan komunikasi makhluk hidup yang lain dengan sesamanya. 

KIta bukan sekadar berkata dan orang lain mendengar. Kita bukan sekadar berpesan dan orang lain menangkap. Seperti serigala yang melolong memberi pesan pada kaumnya atau makhluk lain di sekitarnya.

Dalam komunikasi antar pribadi kita hendak membangun sebuah relasi. Tentu saja relasi antar pribadi. Berbicara tentang pribadi pastinya adalah hal yang tidak sederhana. Ada banyak dimensi, ada banyak aspek. Itulah uniknya kepribadian manusia. 

Tidak hanya bergerak dan dikendalikan instingnya, manusia memiliki banyak aspek yang membentuk kepribadiannya. Ada pengalaman, ada faktor keturunan, budaya, emosi, cara pandang dan lain sebagainya. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan.

Cobalah Anda bedakan dengan rasa kalimat berikut: 

"Telat lagi....telat lagiii.....Susah memang kalau sudah biasa malas! Tiap kali datang terlambat pasti banyak alasan. Sampai bosan aku lihat wajahmu! Paling bangun kesiangan kan? Besok tak suruh bapakmu ngguyur pakai air seember. Ayo push up 10 kali!"

Bandingkan dengan yang ini, "Saya perhatikan kamu sudah sering datang terlambat lho. Saya khawatir kebiasaan ini bisa mengganggu kegiatan belajarmu".

Apa mungkin semangat belajarmu mulai berkurang? Sepertinya kita perlu berbicara mengenai hal ini lain waktu. "Besok usahakan datang lebih pagi ya... Kamu sudah paham sanksinya kan, silakan push up 10 kali".

Dua kalimat berbeda yang sama-sama memberi teguran dan sama-sama memberikan konsekuesi berupa sanksi. Tetapi kalimat pertama penuh penghakiman, penuh tuduhan, bahkan memberi cap (sudah biasa malas). 

Kalimat kedua, berusaha memberi pemahaman dengan tetap membangun kesadaran. Memungkinkan ada jawaban suatu saat, terutama mengenai latar belakang masalahnya. Bukan melulu fokus pada gejalanya yakni terlambat. Ada tujuan mengapa kita menegur, ada perasaan yang kita nyatakan, ada harapan yang diungkapkan. 

Berbeda kan? Nilai rasanya. Saya yakin bahwa ditangkap pesan yang sama yakni datang terlambat itu tidak baik. 

Komunikasi antar pribadi ibarat membangun jembatan. Aku di sini dan kamu di seberang sana, meski kita berbeda dalam banyak hal, entah itu status sosial, keyakinan, dan latar belakang. 

Perbedaan yang tadinya ibarat jurang pemisah tersambungkan dengan sebuah jembatan yang dibangun atas dasar pemahaman-pemahaman. Sehingga kita boleh "bertemu" satu sama lain. Oleh karenanya aku dan kamu merasa nyaman. 

Begitupun ketika memberi teguran. Membangkitkan kesadaran seharusnya tidak memberi cap (pemalas, pembohong, penipu). Menunjukkan kesalahan tidak perlu dengan marah-marah. 

Cukup tunjukkan fakta dan data. Berikan tujuan mengapa kesalahan itu harus diperbaiki. Menegur tidak harus dimulai dengan kata kamu. Lebih baik ungkapkan perasaan kita yang terganggu dengan perilaku itu. Misalnya, "Saya khawatir kebiasaanmu akan..."

Sebaiknya lawan bicara diberi kesempatan menjawab (tentunya situasi perlu dikondisikan terlebih dahulu). Nyatakanlah harapan bagaimana mestinya perilaku yang lebih baik.

Berkomunikasi nampaknya kegiatan rutin sehari-hari. Tetapi dalam kenyataannya berkomunikasi antar pribadi yang tepat dan terampil perlu dilatih dan dibiasakan. 

Dalam teknik komunikasi antar pribadi keadaan emosional akan sangat mengganggu. Lebih baik tatalah emosi terlebih dahulu, dan kuasai diri sebelum berkata-kata.

Terkadang tanpa sadar cara kita berkomunikasi bukannya membangun "jembatan", melainkan membangun "tembok-tembok" yang justru menghalangi dan memisahkan.

Tentu saja karena kata-kata yang kita gunakan tidak tepat. Tembok itu kemudian menjadi pemisah, misalnya dengan cara menghindar dan tidak ingin bertemu. 

Tembok itu juga terbangun dari ketersinggungan, kemarahan, rasa tidak nyaman yang mungkin perlahan-lahan dipendam sehingga membuat jarak diantara kita. 

Pastinya sebuah keinginan menciptakan relasi yang baik mesti kita bangun dalam komunikasi dengan siapa saja. Antara guru dengan murid, atasan dan bawahan, atau orang tua dan anak-anak. 

Dalam hal menegur, salah besar jika kita menyangka bahwa kata-kata kasar akan membuat orang lebih cepat sadar. Sering yang terjadi malah tercipta tembok pemisah dan penghalang. 

Tetapi tentunya jangan mudah juga berpikir kata-kata yang "terpilih" akan lebih cepat manjur. Semua membutuhkan proses. 

Satu hal penting yang menjadi dasar pemikiran adalah apakah kata-kata yang kita lontarkan ingin membuat luka atau membangkitkan kesadaran? Ingin menimbulkan semangat atau hendak mematahkan semangat? Apa yang tercipta, "jembatan" atau "tembok"?

Komunikasi antar pribadi sangat memerlukan kepekaan. Murid yang saya ceritakan di atas bukanlah anak yang malas. Dia cukup berpotensi, dan aktif dalam berorganisasi. 

Hanya sayangnya keadaan keluarganya kurang mendukung. Orangtuanya dalam proses perceraian. Hatinya hancur ketika tanpa sengaja membaca chat mesra di whatsApp antara ayahnya dan seorang wanita (yang ternyata selingkuhan ayahnya). Ia juga harus menyambi bekerja tiap malam untuk dapat sekadar meringankan beban ibunya, memenuhi uang saku hariannya.

Bagaimana rasanya, ketika badan lelah di pagi hari dengan setumpuk masalah, kemudian tiba-tiba tanpa "perlawanan" "disemprot" dengan kata-kata kasar begitu saja?

Itulah perlunya dalam berkomunikasi kita memahami latar belakang seseorang dan memandang pribadi-pribadi sebagai individu yang unik dengan pengalaman hidupnya masing-masing. 

Jangan terburu-buru membuat penilaian, jangan gemar memberi label atau menghakimi. Sehingga kita dapat membangun "jembatan" yang mempertemukan. Bukannya "tembok penghalang" yang memisahkan.

Salam akhir pekan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun