Terkadang tanpa sadar cara kita berkomunikasi bukannya membangun "jembatan", melainkan membangun "tembok-tembok" yang justru menghalangi dan memisahkan.
Tentu saja karena kata-kata yang kita gunakan tidak tepat. Tembok itu kemudian menjadi pemisah, misalnya dengan cara menghindar dan tidak ingin bertemu.Â
Tembok itu juga terbangun dari ketersinggungan, kemarahan, rasa tidak nyaman yang mungkin perlahan-lahan dipendam sehingga membuat jarak diantara kita.Â
Pastinya sebuah keinginan menciptakan relasi yang baik mesti kita bangun dalam komunikasi dengan siapa saja. Antara guru dengan murid, atasan dan bawahan, atau orang tua dan anak-anak.Â
Dalam hal menegur, salah besar jika kita menyangka bahwa kata-kata kasar akan membuat orang lebih cepat sadar. Sering yang terjadi malah tercipta tembok pemisah dan penghalang.Â
Tetapi tentunya jangan mudah juga berpikir kata-kata yang "terpilih" akan lebih cepat manjur. Semua membutuhkan proses.Â
Satu hal penting yang menjadi dasar pemikiran adalah apakah kata-kata yang kita lontarkan ingin membuat luka atau membangkitkan kesadaran? Ingin menimbulkan semangat atau hendak mematahkan semangat? Apa yang tercipta, "jembatan" atau "tembok"?
Komunikasi antar pribadi sangat memerlukan kepekaan. Murid yang saya ceritakan di atas bukanlah anak yang malas. Dia cukup berpotensi, dan aktif dalam berorganisasi.Â
Hanya sayangnya keadaan keluarganya kurang mendukung. Orangtuanya dalam proses perceraian. Hatinya hancur ketika tanpa sengaja membaca chat mesra di whatsApp antara ayahnya dan seorang wanita (yang ternyata selingkuhan ayahnya). Ia juga harus menyambi bekerja tiap malam untuk dapat sekadar meringankan beban ibunya, memenuhi uang saku hariannya.
Bagaimana rasanya, ketika badan lelah di pagi hari dengan setumpuk masalah, kemudian tiba-tiba tanpa "perlawanan" "disemprot" dengan kata-kata kasar begitu saja?
Itulah perlunya dalam berkomunikasi kita memahami latar belakang seseorang dan memandang pribadi-pribadi sebagai individu yang unik dengan pengalaman hidupnya masing-masing.Â