Mohon tunggu...
Risma Indah L
Risma Indah L Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan penikmat hobi

Menulis mencoba menginspirasi Mendidik mencoba memberdayakan

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Emosionalnya Sepak Bola

11 Januari 2020   18:57 Diperbarui: 15 Januari 2020   13:19 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Artikel ini mungkin lebih cocok masuk dalam kategori sosial budaya. Karena sebuah kenyataan bahwa sepak bola bukanlah sekedar sebuah olah raga atau permainan belaka. Sepak bola telah menjadi bagian dari budaya, gaya hidup, bahkan hal yang membangkitkan rasa emosional juga fanatisme. 

Tidak bermaksud mengecilkan arti cabang olah raga yang lain. Kenyataannya sepak bola menjadi olah raga yang memiliki jumlah penggemar paling banyak di dunia. Lihat saja bagaimana ajang World Cup atau Piala Dunia menyedot perhatian ratusan juta pasang mata dari seluruh penjuru dunia.

Sebagai penghobi menonton pertandingan sepak bola, saya sendiri punya pengalaman pribadi yang cukup emosional. Masa tergila-gila nonton pertandingan sepak bola adalah saat duduk di bangku SD. Waktu itu sebenarnya saya penggemar berat liga Italia, dengan Klub favorit: Inter Milan.

Entah kenapa saat itu saya tidak terlalu suka nonton liga Inggis. Mungkin ikut saja kata pengamat ketika itu yakni permainan sepak bola Inggris kala itu cenderung membosankan dengan bola-bola panjang. Berbeda dengan gaya permainan liga Italia yang memainkan operan cepat dan pendek

Ini sih kata pengamat saja. Saya sendiri tak pandai strategi bola. Waktu itu saya hanya pandai mengumpulkan poster pemain sepak bola yang banyak menghiasi dinding kamar saya.

Wajah Diego Maradona, Salvatore Schillaci, Robeto Baggio, Romario, Roger Milla, dan masih banyak lagi, turut memeriahkan interior kamar saya

Piala dunia di Italia Tahun 1990 berlangsung ketika saya duduk di kelas 6 SD. Final berlangsung antara Jerman Barat vs Argentina yang dimenangkan oleh Tim Panser melalui titik penalti benar-benar "mematahkan" hati saya.

Sebagai pendukung Argentina saat itu, kekalahan tim kesayangan sukses membuat saya tak bersemangat berangkat ke sekolah keesokan harinya (hmmm...).

Setamat SMP perhatian saya mulai beralih ke Liga Inggris. dengan tim favorit Manchester United. Apapun itu, meski berganti Tim favorit, sepak bola bagi saya rasanya tetap emosional.

Kesuksesan sepak bola mengaduk emosi para penggemarnya tidak diragukan. Anda pasti tak asing melihat ulah para suporter yang fanatik. Mulai dari cara berpakaian, cat wajah dan rambut, nyanyian dan yel-yel, sampai koreografi yang indah bahkan unik ditampilkan saat menonton tim kesayangan bertanding.

Para penggemar pun pastinya paham dengan istilah kelam di dunia sepak bola yakni hooligans. Istilah ini berarti nakal atau merusak dengan kekerasan. 

Hooliganisme sepak bola telah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu. Terutama di dunia sepak bola Inggris. Hooligan bukan hanya soal perilaku melainkan gaya hidup bagi sebagian suporter fanatik. Mereka yang benar-benar "menikmati" kerusuhan dan bentrokan fisik dengan sesama suporter sepak bola. 

Kesuksesan publik sepak bola Inggris menghadapi para hooligans patut diacungi jempol. Terbukti ajang pertandingan sepak bola di Inggris saat ini dapat dikatakan aman dan damai. Tidak ada lagi stadion yang memiliki batas pagar pemisah yang tinggi antara penonton dan lapangan. 

Sayangnya anarkisme dalam sepak bola di Indonesia masih menjadi problem sampai saat ini. Pertandingan antar klub tanah air yang didukung para suporter fanatik masih menjadi pekerjaan berat bagi aparat keamanan. 

Klub-klub tanah air pun didukung oleh suporter yang tak kalah militan. Sebut saja Persija dengan Jakmania, Persebaya dengan Bonek, atau Persib dengan Bobotohnya. 

Masih segar dalam ingatan tewasnya salah seorang Jakmania di 2018 silam dan kerusuhan suporter yang melanda Yogyakarta usai laga PSIM kontra Persis Solo Oktober 2019 lalu.

Entah bagaimana, sepak bola selalu mengundang suasana emosional. Bahkan dalam pertandingan antar kampung atau antar kelas dalam even classmeeting sekalipun.

Rivalitas antar klub juga menjadi warna emosional sepak bola. Suasana persaingan yang ternyata tidak melulu berawal dari lapangan hijau. Misal saja antara Manchester United vs Liverpool. 

Rivalitas dua kota yang awalnya dipicu persaingan bisnis antar warganya yang mulai tidak harmonis di tahun 1800an berlanjut ke lapangan sepak bola. Salah satu rivalitas yang terkenal juga yakni West Ham United vs Millwall (yang sekarang berada di kasta kedua Inggris). Asal muasalnya didahului persaingan antara para pekerja galangan kapal di sisi barat dan timur sungai Thames, London.

Emosional suporter pun tak hanya "tumpah" di lapangan. Baru-baru ini diberitakan patung Zlatan Ibrahimovic yang sebelumnya berdiri di kota Malmo, Swedia akan segera dipindah karena semakin rusak. Perusakan terhadap patung tersebut sebenarnya sudah lama dilakukan sejak Ibrahimovic memutuskan membeli saham di Hammarby, klub yang menjadi rival berat Malmo. Ibrahimovic kelihatannya kurang bijak membuat keputusan tanpa mempedulikan rivalitas dua klub ini.

Pelatih dan pemain pun tak kalah emosional. Seperti dilansir liputan6.com, Pep Guardiola mengatakan tidak akan pernah melatih Manchester United rival sekota Manchester City yang kini diasuhnya. Seperti juga layaknya ia tidak akan pernah melatih Real Madrid, karena sebelumnya pernah melatih Barcelona. Nampaknya kepekaan Pep soal rivalitas klub lebih baik daripada Ibrahimovic.

Emosionalnya sepak bola memang dapat mengalahkan profesionalitas. Tengok saja tekad Steven Gerrard, legenda Liverpool yang membela The Reds selama 17 musim. Gerrard mengatakan bahwa tidak sekalipun ia akan mengenakan kostum Manchester United. Atau Wayne Rooney yang tidak akan bermain untuk Liverpool klub yang "dibencinya". Selain mantan pemain MU, Rooney memang sejak kecil berakar di Everton rival sekota Liverpool. 

Suasana emosional juga saat ini melanda para pendukung MU (Manchester United) termasuk saya (hehe). Pendukung MU seolah dituntut kesetiaannya meski melihat performa Tim yang lumayan parah. Walapun saya tergolong fans "kardus", tetap pokoknya United 'till I die lah. 

Sindiran lucu nan pedas pun sering dilontarkan kepada fans Setan Merah. Diantaranya yang menilai para fans MU sudah menganut paham masokis yakni suka menyakiti diri sendiri. Tetap saja masih mau menonton pertandingan dan mendukung MU meski pada akhirnya hanya "tersakiti" karena kalah atau karena menyaksikan buruknya permainan tim kesayangan. 

Kekalahan pahit 2 kali berturut dari 2 tim Big Six cukup menggoyahkan kepercayaan diri MU. Menyerah telak 2-0 dari Arsenal di ajang LIga Primer dan dibantai City 3-1 di leg 1 semifinal Carabao Cup. 

Laga melawan Wolverhampton di putaran ketiga piala FA pun berakhir seri dengan tampilan kewalahan MU dalam mengatasi Wolves. 

Tetapi itulah uniknya. Meski jelek tetap dicinta. Betapa emosionalnya, benci tetapi cinta. Hahaha

Satu fakta penting juga bahwa sepak bola selalu dipandang tepat untuk menjadi "duta" dunia bagi isu perdamaian, kesetaran, dan kesehatan. Para pecinta sepak bola pasti ingat kampanye Respect.

Awalnya digagas pada ajang piala Eropa di Polandia tahun 2012 . Respect bukan hanya didengungkan sebagai perlawanan bagi diskriminasi termasuk rasisme. Melainkan juga sebagai upaya menghargai kesehatan diri sendiri. Salah satu aksinya adalah melarang penggunaan rokok selama turmamen ini. 

Perlawanan terhadap HIV aids pun kerap dilakukan melalui ajang permainan sepak bola seperti misalnya di Papua. Atau sebut saja kampanye Rainbow Laces yakni suatu bentuk dukungan Liga Primer Inggris terhadap LGBT dan kesetaraan gender. Meski hal ini sempat menuai kontroversi para fans di beberapa negara yang berbeda.

Para pemain sepak bola pun kerap melakukan kegiatan sosial yakni mengunjungi anak-anak penderita sakit dan ikut serta dalam program pengembangan bakat anak-anak di seluruh dunia. 

Saya yakin sepak bola pun masih menjadi olah raga terfavorit di negara kita tercinta ini. Memang Timnas kita belum dapat bebicara banyak di ajang Internasional bahkan Asia. Kelihatannya perjalanan sepak bola Indonesia masih akan panjang.

Bagaimanapun dan apapun itu, sepak bola tetap mendunia. Sepak bola adalah olah raga yang mampu menyatukan segenap lapisan masyarakat bahkan warga dunia, di balik masih "seramnya" kecenderungan fanatisme dan rivalitas. Hanya satu kalimat terakhr menutup tulisan ini yakni, " Sepak bola memang sungguh-sungguh emosional". Salam

Referensi : satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun