Emosionalnya sepak bola memang dapat mengalahkan profesionalitas. Tengok saja tekad Steven Gerrard, legenda Liverpool yang membela The Reds selama 17 musim. Gerrard mengatakan bahwa tidak sekalipun ia akan mengenakan kostum Manchester United. Atau Wayne Rooney yang tidak akan bermain untuk Liverpool klub yang "dibencinya". Selain mantan pemain MU, Rooney memang sejak kecil berakar di Everton rival sekota Liverpool.Â
Suasana emosional juga saat ini melanda para pendukung MU (Manchester United) termasuk saya (hehe). Pendukung MU seolah dituntut kesetiaannya meski melihat performa Tim yang lumayan parah. Walapun saya tergolong fans "kardus", tetap pokoknya United 'till I die lah.Â
Sindiran lucu nan pedas pun sering dilontarkan kepada fans Setan Merah. Diantaranya yang menilai para fans MU sudah menganut paham masokis yakni suka menyakiti diri sendiri. Tetap saja masih mau menonton pertandingan dan mendukung MU meski pada akhirnya hanya "tersakiti" karena kalah atau karena menyaksikan buruknya permainan tim kesayangan.Â
Kekalahan pahit 2 kali berturut dari 2 tim Big Six cukup menggoyahkan kepercayaan diri MU. Menyerah telak 2-0 dari Arsenal di ajang LIga Primer dan dibantai City 3-1 di leg 1 semifinal Carabao Cup.Â
Laga melawan Wolverhampton di putaran ketiga piala FA pun berakhir seri dengan tampilan kewalahan MU dalam mengatasi Wolves.Â
Tetapi itulah uniknya. Meski jelek tetap dicinta. Betapa emosionalnya, benci tetapi cinta. Hahaha
Satu fakta penting juga bahwa sepak bola selalu dipandang tepat untuk menjadi "duta" dunia bagi isu perdamaian, kesetaran, dan kesehatan. Para pecinta sepak bola pasti ingat kampanye Respect.
Awalnya digagas pada ajang piala Eropa di Polandia tahun 2012 . Respect bukan hanya didengungkan sebagai perlawanan bagi diskriminasi termasuk rasisme. Melainkan juga sebagai upaya menghargai kesehatan diri sendiri. Salah satu aksinya adalah melarang penggunaan rokok selama turmamen ini.Â
Perlawanan terhadap HIV aids pun kerap dilakukan melalui ajang permainan sepak bola seperti misalnya di Papua. Atau sebut saja kampanye Rainbow Laces yakni suatu bentuk dukungan Liga Primer Inggris terhadap LGBT dan kesetaraan gender. Meski hal ini sempat menuai kontroversi para fans di beberapa negara yang berbeda.
Para pemain sepak bola pun kerap melakukan kegiatan sosial yakni mengunjungi anak-anak penderita sakit dan ikut serta dalam program pengembangan bakat anak-anak di seluruh dunia.Â
Saya yakin sepak bola pun masih menjadi olah raga terfavorit di negara kita tercinta ini. Memang Timnas kita belum dapat bebicara banyak di ajang Internasional bahkan Asia. Kelihatannya perjalanan sepak bola Indonesia masih akan panjang.