Mohon tunggu...
Risma Indah L
Risma Indah L Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan penikmat hobi

Menulis mencoba menginspirasi Mendidik mencoba memberdayakan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sudahkah Kita Memberikan yang Terbaik, Sebelum Kita Tiada?

21 Desember 2019   00:44 Diperbarui: 22 Desember 2019   06:46 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah sejenak pernah teringat orang-orang terkasih yang telah tiada pergi meninggalkan kita untuk selamanya?

Saya sering memperhatikan bagaimana perilaku mereka yang ditinggalkan orang tercinta. Banyak yang merasa tak sempat berbuat atau memberi banyak saat mereka yang terkasih masih hidup di dunia ini. 

Sebuah makam yang relatif mewah dibuat oleh seorang anak untuk ibunya yang telah tiada. Makam itu didesain sedemikian rupa dengan keramik terbaik, dan tempat menaruh bunga-bunga yang indah. 

Ada rasa menyesal ketika ibunda sakit-sakitan ia sangat jarang menjenguknya. Makam indah itu ia persembahkan untuk ibunya tercinta. 

Seperti suami yang memandangi foto anak kami di malam setelah pemakamannya. Tak hentinya ia membakar lilin demi lilin. Diletakkannya sekedar sesaji segelas sirup kesukaan si kecil dan kue favoritnya. 

Saya memahami sedih hatinya mengingat sangat sedikit waktu yang pernah ia berikan ketika ananda masih hidup. Juga penyesalannya karena di saat-saat terakhir ia berada di kota yang berbeda, tidak dapat mendampingi. 

Sah-sah saja menurut saya. Hanya kalau boleh mengatakan bukankah waktu dan saat-saat terbaik mestinya kita berikan kepada mereka saat mereka masih hidup?

Setiap orang akan berekspresi dengan caranya masing-masing untuk membuktikan cintanya kepada mereka yang telah tiada. Entah sebentuk penyesalan atau suatu penghormatan, saya pikir saya tidak berhak memberi penilaian.

Terlepas dari hal itu. Saya malah ingin melihat dari cara pandang sebaliknya. Seandainya diri ini yang tiada apa yang telah kita (seharusnya) tinggalkan untuk mereka yang kita kasihi? 

Ketika hidup terasa menggelora dan penuh warna, enggan rasanya jika kita mengingat bahwa hidup ini hanya sementara. Seolah kita ingin hidup ribuan tahun ke depan

Sebagian orang merasa tabu jika berbicara soal kematian. Saat mengobrol dengan teman pernah saya mengatakan "Seandainya saya mati...", dan belum saja menyelesaikan kalimat, seorang teman mengatakam "Hush...,jangan berkata seperti itu"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun