Mohon tunggu...
Risma Indah L
Risma Indah L Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan penikmat hobi

Menulis mencoba menginspirasi Mendidik mencoba memberdayakan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlu Servis Pola Pikir jika Sedikit-sedikit Bilang "Radikal"

8 November 2019   14:29 Diperbarui: 8 November 2019   15:28 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : pixabay.com

Saat sikap radikal dimotori fanatisme kemudian berwujud  tindakan  yang merusak, menghina yang berbeda, menuntut perubahan membabibuta tanpa memperhatikan keragaman dan keberadaan kelompok lain, melanggar batas-batas keyakinan orang lain, ditambah lagi  menggunakan kekerasan untuk menghabisi nyawa,  di saat itulah radikalisme tidak lagi anggun. 

Persuasif dan Peka

Mensikapi istilah 'kaum radikal' yang sudah 'terlanjur basah' mengandung pengertian negatif dan gemar digunakan  oleh  berbagai pihak  untuk memberi label kelompok-kelompok pelaku teror atas dasar keyakinan agama; Saya berharap  seharusnya pemerintah dalam hal ini lebih bijak dan menjadi penengah dalam menyajikan informasi dengan tidak menyudutkan suatu kaum, agama, atau golongan tertentu.   

Sangat disayangkan jika pemerintah malah semakin mematangkan dan membenarkan keyakinan tersebut dan  akhirnya menjadi bumerang bagi pemerintahan itu sendiri. Pemerintah dinilai sebagai ancaman dan musuh bagi golongan agama tertentu. Kenyataanya siapapun bisa radikal, bisa kelompok bahkan perorangan. Bisa dalam soal agama apapun,sampai  pada keyakinan politik. 

Para perusuh, pelaku pemboman,pelaku kekerasan, bagi saya mereka semua adalah teroris. Kelompok ini  mengusung aksi terorisme untuk mendapatkan tujuan. Bukan sekedar radikal.  Sedangkan mereka yang gemar mengejek agama lain,  mencampuri  batasan-batasan etis agama lain, adalah kelompok  fanatik yang teracuni fanatisme agama. 

Pendapat saya janganlah lagi kita menyebut  istilah Islam radikal. Apalagi kita  sadari  banyak pihak  tersakiti dengan istilah tersebut.  Agama itu sejatinya hendak membuat suatu tatanan masyarakat yang baik dan tertata, bukan hendak menghancurkannya. Sehingga nama agama janganlah disandingkan dengan kata berkonotasi negatif. 

Ada banyak orang merepresentasikan keyakinan agama dengan berpakaian tertentu, berpenampilan tertentu, termasuk menampilkan kebiasaan tertentu. Misalnya saja memberi salam dengan tidak berjabat/menyentuh  telapak tangan (jika lawan jenis).  Cukup mengatupkan telapak tangan sendiri dan mengucapkan kata salam. 

Ada juga  sebuah keyakinan  untuk tidak mengucapkan selamat hari raya pada umat agama tertentu. Saya pribadi ringan saja menghormati keputusan tersebut. Toh tidak ada yang merasa terganggu. 

Tidak berjabat tangan tetapi tetap memberi salam. Tidak mengucapkan selamat hari raya tetapi dalam hubungan bermasyarakat tetap saling membantu. Relasi sosial sebenarnya berjalan baik-baik saja. 

Pejabat negara seharusnya dapat "bermain cantik" . Salah satunya  hentikanlah membuat masyarakat menggeneralisasi dan berpola pikir  bahwa   ciri-ciri penampilan fisik dan berpakaian tertentu adalah  orang yang radikal dan berbahaya. 

Saya pikir soal cara berpenampilan dan berpakaian ASN meskipun ada standar tertentu mestinya  tidak dapat disamakan dengan prajurit  militer yang serba saklek mulai dari potongan rambut sampai potongan bajunya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun