Mohon tunggu...
Risky Arbangi Nopi
Risky Arbangi Nopi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - suka nulis cem macem

kalau otak lagi gremed gremed ya nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Satu Kejadian (Cerpen)

21 Desember 2020   17:25 Diperbarui: 21 Desember 2020   17:31 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Atap fiber itu merembes. Satu demi satu jatuh menetes. Air hujan yang sedari malam mengguyur dan berisik mengganggu mimpi Ardi. Wajahnya diributkan dengan tetesan air yang jatuh lewat atap fiber di kamarnya. Ardi yang tak juga sadar, tetesan demi tetesan kembali menyipratkan wajahnya yang sedang merem bersama mimpinya. Entah ia sedang mimpi apa, yang jelas, ia sekarang diganggu bersama mimpi basah. 'Bangun mas Ardi, bangun!' air hujan itu berteriak lewat pori-pori di wajahnya. Benar saja, Ardi masih sibuk dengan mimpinya.

            'Tes... tes... tes...' air hujan itu mengetuk-ngetuk wajahnya sekali lagi. Sontak Ardi yang sedang tidur terbangun bersama air hujan yang turun dari atap fiber yang rapuh. Jam menunjukan pukul setengah dua pagi. Hujan dilihatnya lewat jendela kamar. Deras, dan kagetnya kamar itu dibanjiri dengan air hujan yang hampir setinggi lutut orang dewasa. Basah kuyup seluruh isi kamarnya, termasuk badan Ardi.

            Dalam hatinya, ia berkata 'Oh sial, mimpi basah,' matanya terperanjat, seakan ingin keluar dan berenang bersama air yang menggenangi ruangan di kamarnya. Dirinya keluar dari ruangan yang berukuran 4x5 meter. Anehnya, di ruang tamu, ruang keluarga, bahkan dapur sekalipun, dirinya tak menemukan keberadaan air yang menggenangi ruangan itu. Kembali dirinya mengucek-ngucek matanya, siapa tau ia mengigau.

            Hujan itu kembali berisik, mengetuk-ngetuk gendang telinga Ardi. 'Akang gendang, kalau saya bilang mundur, mundur ya, mundur, mundur, maju, maju.' Kata hujan lewat gendang telinga Ardi. Niat untuk berjoget lewat jargon Ayu tingting yang lagi viral di aplikasi Tiktok, tubuhnya kaku bersama dingin yang memeluknya.

            Kembali ia menuju ke kamarnya. Lagi-lagi aneh, 'Kenapa airnya tidak mau keluar menuju ruang tamu, ataupun ke ruang lainnya? Padahal pintu terbuka?' kata Ardi. Air yang menggenangi ruang kamar setinggi lutut kaki orang dewasa hanya diam tak bergerak. Air itu, hanya hening, seperti ada pembatas transparan yang sulit keluar dari ruang kamar tersebut.

            Melihat kejadian aneh itu, kadang-kadang Ardi kerap kali ngomong sama air yang hanya membanjiri ruang kamarnya. Katanya gini, 'Kalau kalian mau menggangguku tidur, jangan gini dong, lain waktu aja!' kata Ardi dengan kesal. Air itu kembali tertawa dengan hujan yang semakin brisik, air itu meledek Ardi dengan cekikikan. Air itu kembali berbicara, 'Aku tak bermaksud untuk mengganggumu, aku bermaksud ingin membangunkanmu di sepertiga malam, hihihi'

            Kesal dengan ledekan Air hujan yang bocor dari atap ruang kamarnya, Ardi mengambil gayung dan ember utuk menciduk satu persatu air yang menggenangi kamarnya. Setengah jam ia telah menguras air dengan menciduk satu demi satu dan membuangnya ke dalam kamar mandi. Yang ia jumpai adalah, airnya tak kunjung turun. Masih sama, dan tetap sama, masih setinggi lutut orang dewasa. Alih-alih ingin tidur pulas setelah pulang dari kerjanya, malah yang ada, dirinya dikerjain bangun pagi buta untuk menguras air-air yang tak kunjung surut.

            Lelaki itu jengkel dengan dirinya sendiri. Malam yang apes, ia merebahkan diri di sofa ruang tamu. Badannya dingin dan basah. Ia melihat jam dinding menunjukan pukul tiga pagi, dirinya mengingat istrinya yang belum pulang dari pekerjaannya sebagai penyiar radio. Biasanya, istrinya pulang pagi-pagi antara jam enam pagi, dan Ardi kembali berangkat mengajar pukul enam pagi. Pertemuan yang tak pernah ketemu, hanya untuk mengobrol bareng pun jarang. Itulah, kenapa pernikahan mereka selama dua tahun tak juga dikaruniai anak.

            Kesepian, ya, memang Ardi kerap kali merasa kesepian ketika berada di rumah. Kejadian aneh-aneh dan kadang ngomong sendiri bersama seisi ruangan yang ada di rumahnya, kadang ia berteman dengan pintu kamarnya, dinding-dinding, meja makan, sofa, bahkan air hujan yang sedang membanjiri ruang kamarnya.

            Kejadian itu kadang ia ceritakan kepada istrinya, 'Yang aku kok bisa ngomong ya sama benda mati dari hati ke hati, tapi tak pernah sedikitpun kau menaruh hati padaku' kata Ardi, sewaktu makan malam anniversary pernikahannya. Istrinya hanya tertawa, 'Kau tuh, kalau ngigau janga sampai dibawa-bawa ke acara sakral ini lah mas. Hahaha.' semenjak kejadian itu, Ardi lebih senang bicara hati ke hati bersama benda mati yang ada dirumahnya, daripada dengan istrinya. Istrinya sibuk ngomong melalui mikrofon saat berkerja menjadi penyiar radio. Sewaktu pulang suaranya habis dan bungkam, seolah enggan bicara atupun mengucapkan selamat pagi untuk suaminya.

            Lamunannya dibuyarkan dengan suara ketukan pintu depan rumahnya. 'Tok, tok, tok, tok,'

            "Mas, mas Ardi,"

            Ardi yang mengetahui suara istrinya yang memanggil namanya, ia bergegas terbangun dari rebahan bersama lamunannya.

            "Bentar yang," dirinya membuka pintu dan mendapati istrinya dengan keadaan letih. "Loh, kok kamu nggak basah kuyup si yang?"

            "Basah kuyup gimana, kamu nggak usah ngaco deh," istrinya kembali menimpali.

            "Diluar hujan kan? Dan kau pasti basah-basahan pulangnya,"

            "Nih, kamu banyakan berhayal deh kayak Sengkuni. Wong diluar terang-terang aja. Aku gak kehujanan mas, kering nih kering" nadanya kembali kesal dan mulai meninggi.

            "Loh, wong tadi aku denger hujan berisik banget. Tuh, kalau gak percaya, liat kamar tidur kita, banjir selutut kaki kamu yang."

Mereka kembali menuju ruang kamar yang jaraknya hanya sepuluh langkah dari depan pintu teras. Yang didapati ternyata tidak ada, alih-alih mau menunjukan bukti ternyata hanya sebuah imajinasi belaka. Yang katanya banjir hanya satu ruangan, yang di ciduk dengan gayung lalu airnya tak turun-turun juga, air hujan yang brisik lewat gendang telinga Ardi, ternyata hilang, tanpa meninggalkan jejak ketika istrinya pulang dari rumah. 'Plaaakk' istrinya menampar pipi suaminya.

"Aw, kamu apa-apaan si yang?"

"Kamu tuh yang apa-apaan, masih juga mengigau tiap malam. Masih juga ngimpi berdiri, sadar mas, sadar, bosan aku dengan tingkahmu yang konyol,"

Ardi kembali terperanjat, matanya menatap istrinya dengan sadar. Tangan kanannya mengelus-elus pipi sebelah kanannya yang perih sehabis di tampar istrinya. Dilihatnya jam dinding di kamar. Istrinya pulang tak seperti biasanya, pukul empat pagi ia pulang kerumah.

"Tumben kamu pulang jam segini? biasanya juga kamu pulang pas aku mau berangkat,"

"Aku pengin punya anak mas," istrinya menjawab singkat.

Ardi yang seketika kaget, sontak ia hanya terdiam dan hening. Tangannya masih mengelus-elus pipi kanannya yang masih terasa perih. Ia masih kesal, atas  tindakan istrinya yang menampar pipinya, dan juga tuduhan atas ketidakbenaran perihal cerita banjir di kamarnya.

Alih-alih kesal dengan perlakuan istrinya yang tidak percaya dengan cerita suaminya, dirinya gengsi untuk melayani istrinya pada malam itu. Ia mengabaikan, dan bergegas bersih-bersih untuk persiapan mengajar pagi di kampusnya.

***

Semenjak kejadian itu, hubungan rumah tangganya semakin renggang. Aktifitas mereka kembali seperti biasanya. Ardi yang mengajar di salah satu kampus swasta terbaik di Jakarta saban hari berangkat pukul enam pagi dan pulang pukul lima sore. Sementara istrinya yang bekerja sebagai penyiar radio Prambons di Jakarta pusat, ia habiskan malam untuk bekerja, berangkat antara jam lima sore sampai pulang larut pagi. Mereka sadar, bahwa hubungannya dalam rumah tangga sudah di ambang batas. Mereka sama-sama tau, bahwa cinta di antara mereka sudah mulai reda. Komunikasi di antara mereka tak pernah sampai. Memendam perasaan sendiri seakan kejadian tak ada apa-apa diantara mereka. Pikiran mereka selalu di selimuti positif thinking, merasa hubungan baik-baik saja. Nyatanya, dalam satu rumah, mereka seperti warga asing yang kesasar jatuh di lubang yang sama. Dua tahun pernikahan Ardi dengan istrinya, satu tahun mereka habiskan untuk memilih diam dalam kepura-puraan.

            Ardi yang memiliki keunikan dalam komunikasi bersama benda-benda mati yang ada di dalam rumahnya, ia habiskan waktunya untuk melampiaskan perasaanya ketika sepulang dari kerjanya. Menyampaikan keresahannya, bersedih secukupnya, bahwa keadaannya sedang tidak baik-baik saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun