Mohon tunggu...
windu
windu Mohon Tunggu... Administrasi - pro populi discimus

Bondowosoans

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Relevansi Permohonan Maaf Pemerintah Belanda atas Tragedi Gerbong Maut

23 November 2020   08:59 Diperbarui: 23 November 2020   09:07 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

23 November, selalu diperingati sebagai tragedi yang kita kenal dengan nama Tragedi Gerbong Maut. Yaitu para tahanan perang Bondowoso yang dipaksa masuk ke gerbong kereta barang yang saling berdesakan dan sesak. Tahanan perang yang akan dipindahkan dari Penjara Bondowoso ke Surabaya.

Tragedi Kemanusiaan yang terjadi di Bondowoso Tahun 1947. Ketika Belanda bertindak sepihak sebagai jawaban atas ketidakpuasan Belanda dengan Perjanjian Linggarjati (1946) hingga melakukan agresi militer.

Agresi tersebut dilancarkan di Jawa dan Sumatra, daerah dalam Perjanjian Linggarjati secara de facto sebagai wilayah Republik Indonesia (Depdikbud, 2001). Dengan tujuan untuk menduduki kembali kota dan daerah yang dianggap penting secara politik maupun ekonomi. Disamping itu juga untuk mempersempit wilayah Indonesia secara riil.

Dalam agresi yang biasa disebut Agresi Belanda I (satu) ini, Belanda berhasil menduduki beberapa daerah penting di Jawa dan Sumatra. Tanpa terkecuali daerah di Jawa Timur yaitu Bondowoso. Perhitungan terhadap Bondowoso bisa jadi sesuai dengan topografinya yang strategis memetakan daerah di sekelilingnya.

Selain lokasi strategis untuk memetakan pergerakan musuh, Bondowoso juga sebagai ibu kota Karesidenan Besuki dan menjadi salah satu lumbung padi di masa itu, dapat dikatakan gudang berasnya Jawa Timur (Depdikbud, 2001). Dengan mampu mendistribusikan beras hingga di luar provensi bahkan ke Yogyakarta pada zaman revolusi fisik itu menjadi ibu kota Negara Republik Indonesia.

Melalui beras dari ujung Jawa Timur ini lah pemerintah saat itu mempu mengekspor beras ke India dengan cara menembus blokade Belanda dan dari India pula, pemerintah memperoleh pembayaran berupa sejumlah besar alat perlengkapan perang Republik Indonesia. Karena diplomasi ini, diplomasi kedua negara ini disebut "Diplomasi Beras".

Selanjutnya, ketika Belanda berhasil memukul mundur tentara Indonesia yang bermarkas di Bondowoso dan mendudukinya. Sampai melakukan penangkapan besar-besaran hingga membuat membeludaknya tahanan yang terdapat di Bondowoso. Belanda memiliki inisiatif untuk mengurangi jumlah tahanan dengan memindahkannya ke Surabaya.

Inilah puncak tragedi kemanusiaan yang biadab dikenal dengan nama Tragedi Gerbong Maut. 13 (tiga belas) jam berada pada gerbong kereta barang tanpa ventilasi sebagai alat keluar masuknya udara, dari Stasiun Bondowoso menuju Surabaya. Mengingat, yang kita ketahui perjalanannya melewati Jember, Probolinggo harus berhenti sembari menunggu kereta lewat secara bergantian jika berhenti pada stasiun Jember dan Probolinggo.

Para tahanan ini tidak diberi makan maupun minum. Praktis, dari 100 (seratus) orang yang di bawa dengan pembagian dalam tiga gerbong, 32 orang pada gerbong pertama No.GR5769, 30 orang pada gerbong kedua No. GR4416 dan 38 orang pada gerbong terakhir dengan No. GR10151. 46 orang diantaranya meninggal dunia. Sisanya 12 orang sakit parah, 30 orang tidak berdaya, 12 orang lagi sehat (Monumen Perjuangan Jawa Timur, 1986)

Memang secara general, Pemerintah Belanda pernah meminta maaf langsung kepada Pemerintah Indonesia terhadap penjajahan yang pernah berlangsung di Indonesia oleh Belanda. Bahkan Belanda siap memberikan kompensasi kepada janda dan anak yatim korban kebiadaban tentara Belanda pasca-Proklamasi.

Pemberian kompensasi tersebut dengan syarat bahwa keluarga mampu memberikan bukti yang terdokumentasi atau memiliki bukti dokumen yang membuktikan bahwa keluarga yang ditinggal merupakan keluarga dari korban kebiadaban tentara Belanda.

Dengan menawarkan kompensasi terhadap korban, rupanya Belanda masih bersikap angkuh. Bukankah dengan menawarkan tanpa mendengarkan curhatan setiap korban atau keluarga korban merupakan hal yang angkuh? Semurah itukah harga dari sebuah nyawa?

Penulis berpendapat, jika memang ada niatan yang tulus dari Pemerintah Belanda untuk meminta maaf. Relevan jika Pemerintah Belanda meminta maaf langsung kepada Pemerintah Kabupaten Bondowoso atas tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi. Permintaan maaf tersebut pantas mendapat sebuah ingatan jangka panjang dengan membangun sebuah monumen permohonan maaf Belanda atas Tragedi Gerbong Maut Bondowoso.

Langkah tersebut bertujuan demi mengedukasi perihal sejarah Indonesia khususnya di Bondowoso supaya tidak melahirkan generasi yang glorifikasi-heroistik terhadap daerahnya (emang iya? Atau B aja?). Jika terealisasi, lahkah tersebut dapat menjadi pengingat, jika kita memiliki monumen Tragedi Gerbong Maut, kita juga memiliki monumen yang memberi pesan telah selesainya persoalan kemanusiaan Belanda-Bondowoso.

Bukan tidak mungkin hal ini untuk diaplikasikan, apakah karna korbannya terhitung 100 orang? Kita anggap kecil dan sepele? Kita harus membangun kerangka berpikir yang analis-sistematis bukan untuk glorifikasi seperti yang dikatakan oleh Budiman Sujadmiko tentang Pendidikan Sekolah Dasar di Inggris, Budiman bercerita pengalaman anak temannya yang berada pada tataran pendidikan dasar namun sudah diajarkan berempati.

Bagaimana anak-anak dari negara yang menang terhadap peperangan Inggris-Jerman merasakan menjadi anak-anak Jerman pada konteks peperangan terjadi. Apakah hal ini tidak mungkin kita aplikasikan pada Pendidikan Bondowoso khususnya.

Bagaimana siswa pada tataran pendidikan dasar menggambarkan suasana yang terjadi pada Tragedi Gerbong Maut. Mereka menggambarkan suasana dengan sebuah karya tulisan yang mana mampu melihat gambaran perasaaan (empati) dari setiap siswa.

Sebagai media, pendidikan mampu menyulut cinta daerah kelahirannya dengan memberi materi pendidikan sejarah daerah yang kaya akan cerita masa lalu. Bagaimana awal mula sejarah dibuat, bagaimana kehidupan pada Zaman Megalitikum hingga zaman pasca-kemerdekaan Indonesia yang menuliskan tragedi kebiadaban tentara Belanda.

Bagaimana kita mencintai Ibu kita tanpa tahu historis masa kanak-kanaknya hingga menjadi seorang ibu yang kita sayangi saat ini. Penanaman karakter ke-Bondowosoan akan relevan terhadap cita-cita Bondowoso Melesat. Cintai daerahnya, pahami daerahnya, kita bangun bersama kesejahteraannya, Bondowoso melesat tidak berhenti sebagai jargon pada akhirnya.

Jadi, bagaimana? Perlukah Belanda meminta maaf secara khusus pada setiap peristiwa kemanusiaan yang pernah mereka lakukan secara biadab di seluruh daerah Indonesia? Meminta maaf secara langsung kepada keluarga korban ataupun korban yang masih hidup? Mendengarkan jerit tangis mereka para keluarga atau korban kemanusiaan. Relevan untuk kita renungkan kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun