Mohon tunggu...
windu
windu Mohon Tunggu... Administrasi - pro populi discimus

Bondowosoans

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Relevansi Permohonan Maaf Pemerintah Belanda atas Tragedi Gerbong Maut

23 November 2020   08:59 Diperbarui: 23 November 2020   09:07 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dengan menawarkan kompensasi terhadap korban, rupanya Belanda masih bersikap angkuh. Bukankah dengan menawarkan tanpa mendengarkan curhatan setiap korban atau keluarga korban merupakan hal yang angkuh? Semurah itukah harga dari sebuah nyawa?

Penulis berpendapat, jika memang ada niatan yang tulus dari Pemerintah Belanda untuk meminta maaf. Relevan jika Pemerintah Belanda meminta maaf langsung kepada Pemerintah Kabupaten Bondowoso atas tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi. Permintaan maaf tersebut pantas mendapat sebuah ingatan jangka panjang dengan membangun sebuah monumen permohonan maaf Belanda atas Tragedi Gerbong Maut Bondowoso.

Langkah tersebut bertujuan demi mengedukasi perihal sejarah Indonesia khususnya di Bondowoso supaya tidak melahirkan generasi yang glorifikasi-heroistik terhadap daerahnya (emang iya? Atau B aja?). Jika terealisasi, lahkah tersebut dapat menjadi pengingat, jika kita memiliki monumen Tragedi Gerbong Maut, kita juga memiliki monumen yang memberi pesan telah selesainya persoalan kemanusiaan Belanda-Bondowoso.

Bukan tidak mungkin hal ini untuk diaplikasikan, apakah karna korbannya terhitung 100 orang? Kita anggap kecil dan sepele? Kita harus membangun kerangka berpikir yang analis-sistematis bukan untuk glorifikasi seperti yang dikatakan oleh Budiman Sujadmiko tentang Pendidikan Sekolah Dasar di Inggris, Budiman bercerita pengalaman anak temannya yang berada pada tataran pendidikan dasar namun sudah diajarkan berempati.

Bagaimana anak-anak dari negara yang menang terhadap peperangan Inggris-Jerman merasakan menjadi anak-anak Jerman pada konteks peperangan terjadi. Apakah hal ini tidak mungkin kita aplikasikan pada Pendidikan Bondowoso khususnya.

Bagaimana siswa pada tataran pendidikan dasar menggambarkan suasana yang terjadi pada Tragedi Gerbong Maut. Mereka menggambarkan suasana dengan sebuah karya tulisan yang mana mampu melihat gambaran perasaaan (empati) dari setiap siswa.

Sebagai media, pendidikan mampu menyulut cinta daerah kelahirannya dengan memberi materi pendidikan sejarah daerah yang kaya akan cerita masa lalu. Bagaimana awal mula sejarah dibuat, bagaimana kehidupan pada Zaman Megalitikum hingga zaman pasca-kemerdekaan Indonesia yang menuliskan tragedi kebiadaban tentara Belanda.

Bagaimana kita mencintai Ibu kita tanpa tahu historis masa kanak-kanaknya hingga menjadi seorang ibu yang kita sayangi saat ini. Penanaman karakter ke-Bondowosoan akan relevan terhadap cita-cita Bondowoso Melesat. Cintai daerahnya, pahami daerahnya, kita bangun bersama kesejahteraannya, Bondowoso melesat tidak berhenti sebagai jargon pada akhirnya.

Jadi, bagaimana? Perlukah Belanda meminta maaf secara khusus pada setiap peristiwa kemanusiaan yang pernah mereka lakukan secara biadab di seluruh daerah Indonesia? Meminta maaf secara langsung kepada keluarga korban ataupun korban yang masih hidup? Mendengarkan jerit tangis mereka para keluarga atau korban kemanusiaan. Relevan untuk kita renungkan kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun