Mohon tunggu...
Riski
Riski Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berusaha belajar untuk menjadi pelajar yang mengerti arti belajar

Ada apa dengan berpikir?

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Cahaya dan Tashkik Mahiyah (Gradasi Esensi)

4 Januari 2025   04:52 Diperbarui: 4 Januari 2025   03:58 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/KcGVyFaDRm29pGpt8

Dalam filsafat iluminasi yang dipelopori oleh Suhrawardi, konsep cahaya memegang peran sentral. Cahaya dalam filsafat ini tidak hanya dimaknai secara fisik, tetapi juga sebagai representasi ontologis dari realitas. Suhrawardi mendefinisikan cahaya sebagai entitas yang paling nyata dan terang, tidak membutuhkan definisi karena sifatnya yang mandiri. Cahaya hakiki ini mengacu pada Nur al-Anwar, atau "Cahayanya Cahaya", yang merupakan sumber dari segala sesuatu, baik yang materi maupun immateri.

Cahaya dianggap sebagai hakikat realitas, menggantikan konsep wujud yang digunakan dalam tradisi peripatetik. Dalam pandangan Suhrawardi, setiap realitas di alam ini adalah hasil emanasi dari Nur al-Anwar, di mana cahaya-cahaya yang lebih rendah memancarkan cahaya dari sumber cahaya tertinggi. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan hierarki ontologis tetapi juga menggambarkan cara realitas dan pengetahuan terhubung satu sama lain. Dengan kata lain, semakin dekat sesuatu dengan Nur al-Anwar, semakin sempurna tingkat realitas dan keberadaannya. Dalam filsafat iluminasi-nya, Suhrawardi menekankan bahwa "cahaya adalah manifestasi atau penampakan (zuhur), yang tidak bisa hilang dan selalu bersinar".

Dalam sistem iluminasi ini, terdapat hierarki cahaya, dimulai dari Nur al-Anwar (Cahayanya Cahaya), yang adalah Tuhan sendiri, hingga cahaya yang paling rendah, yaitu cahaya aksiden yang terdapat pada benda-benda material. Nur al-Anwar adalah sumber dari segala cahaya dan realitas, dan dari-Nya memancar seluruh tatanan kosmos dalam berbagai tingkatan cahaya. Setiap tingkatan realitas diatur oleh tingkat intensitas cahaya yang berbeda, di mana semakin tinggi tingkatan cahaya, semakin dekat entitas tersebut dengan Tuhan. Cahaya tertinggi adalah yang paling mandiri, tidak bergantung pada apapun untuk eksistensinya, sementara cahaya yang lebih rendah memerlukan keberadaan cahaya lain sebagai sumber.

Suhrawardi mengembangkan konsep ini dengan menjelaskan bahwa esensi-esensi di alam ini bukanlah entitas-entitas yang terpisah, melainkan memiliki kesatuan yang dibentuk oleh gradasi cahaya. Melalui konsep ini, ia ingin menunjukkan bahwa realitas tidaklah statis atau terpisah, tetapi berkelanjutan dan berjenjang, dengan cahaya sebagai jembatan yang menyatukan berbagai tingkat keberadaan.

Selain sebagai prinsip ontologis, cahaya juga berperan dalam epistemologi. Suhrawardi percaya bahwa pengetahuan yang sejati hanya dapat diperoleh melalui iluminasi atau ishraq, yaitu penyaksian langsung terhadap cahaya. Cahaya adalah medium melalui mana segala sesuatu menjadi terlihat dan dipahami. Dalam epistemologi ini, Suhrawardi membedakan antara pengetahuan yang diperoleh melalui akal (rasional) dan pengetahuan yang diperoleh melalui penyaksian langsung (syuhud). Pengetahuan sejati adalah hasil dari iluminasi, di mana seseorang dapat "melihat" realitas yang hakiki melalui pencerahan cahaya.

Dalam konteks spiritualitas, Suhrawardi juga menyatakan bahwa para pencari hikmah (salik) mengalami cahaya-cahaya spiritual yang berbeda tergantung pada tingkat kemajuan mereka. Cahaya-cahaya tersebut, mulai dari cahaya khatif, cahaya tsabit, hingga cahaya thamis, merupakan tanda dari pencerahan batin dan pemahaman yang lebih dalam terhadap realitas yang tertinggi.

Dalam kaitannya dengan Tashkik Mahiyah atau gradasi esensi, Suhrawardi membahas bagaimana esensi-esensi di alam tidaklah sepenuhnya terpisah, tetapi memiliki kesatuan melalui gradasi yang berdasarkan tingkat kesempurnaan. Menurutnya, setiap esensi, baik yang material maupun immaterial, memiliki tiga tingkatan utama: yang lebih lemah, yang sedang, dan yang lebih sempurna. Gradasi esensi ini menggambarkan bahwa setiap entitas memiliki derajat eksistensial, dan entitas yang lebih sempurna lebih dekat dengan sumber cahaya tertinggi, yakni Nur al-Anwar. Konsep ini berbeda dengan pandangan peripatetik yang melihat esensi sebagai sesuatu yang berbeda secara kategoris.

Konsep Tashkik Mahiyah yang diperkenalkan oleh Suhrawardi merupakan salah satu upaya radikal dalam mengatasi pandangan dualistik antara wujud dan esensi yang dikembangkan oleh para filsuf peripatetik, seperti Ibnu Sina. Dalam pemikiran peripatetik, esensi dan wujud dipandang sebagai dua hal yang terpisah. Wujud adalah hal yang paling mendasar dan real, sementara esensi hanya menjadi sifat-sifat yang melekat pada wujud.

Suhrawardi menggagas teori gradasi esensi untuk menunjukkan bahwa esensi juga memiliki tingkat keberadaan yang berbeda-beda. Mahiyah, atau esensi, tidak hanya terbatas pada definisi konseptual, melainkan juga berfungsi sebagai medium untuk menyingkap derajat-derajat realitas. Dengan mengajukan konsep gradasi esensi, Suhrawardi ingin menunjukkan bahwa realitas bukanlah sesuatu yang statis dan terpisah secara kategoris, melainkan berkelanjutan dan berjenjang.

Gradasi esensi ini memiliki dampak signifikan pada cara kita memahami hubungan antara yang material dan spiritual. Dalam pandangan Suhrawardi, entitas-entitas di alam ini bukanlah entitas yang terisolasi satu sama lain, melainkan terhubung melalui derajat kesempurnaan yang berbeda. Entitas yang lebih sempurna adalah entitas yang lebih dekat dengan sumber cahaya, sedangkan entitas yang kurang sempurna berada di tingkat yang lebih rendah dalam hierarki kosmik.

Suhrawardi juga menolak pandangan peripatetik yang melihat esensi sebagai sesuatu yang didefinisikan secara eksklusif dari spesies dan genus. Menurutnya, perbedaan konseptual tidak cukup untuk menggambarkan keberagaman realitas. Sebagai contoh, ia menolak gagasan bahwa hitam yang sangat hitam berbeda secara esensial dari hitam yang tidak terlalu hitam, karena dalam pandangan Suhrawardi, perbedaan tersebut hanya berlaku pada tingkat konseptual, bukan esensial.

Dengan konsep Tashkik Mahiyah, Suhrawardi tidak hanya memperkenalkan pendekatan baru dalam memahami esensi dan wujud, tetapi juga menawarkan kerangka metafisik yang lebih inklusif. Ia menunjukkan bahwa segala sesuatu memiliki dimensi eksistensial yang bervariasi, tergantung pada kedekatan mereka dengan Nur al-Anwar, sumber cahaya dan wujud. Ini menjadikan filsafat iluminasi sebagai sebuah sistem yang bersifat hierarkis dan berkelanjutan, di mana setiap tingkatan realitas memiliki tempat dan peran dalam keseluruhan kosmos.

Kesimpulan

Dapat disimpulkan adalah bahwa dalam filsafat iluminasi yang dikembangkan oleh Suhrawardi, cahaya memegang peran utama sebagai entitas yang paling nyata dan terang, yang mencerminkan realitas dalam bentuk gradasi esensi. Suhrawardi menggantikan konsep wujud tradisional dengan cahaya sebagai hakikat realitas, di mana segala sesuatu di alam ini merupakan emanasi dari sumber cahaya tertinggi, yaitu Nur al-Anwar (Cahaya Tuhan). Fenomena cahaya ini membentuk hierarki ontologis, di mana tingkat kedekatan dengan sumber cahaya menentukan kesempurnaan suatu entitas.

Dalam pandangan Suhrawardi, realitas tidak bersifat statis atau terpisah, melainkan berkelanjutan melalui tingkatan-tingkatan cahaya yang mencerminkan gradasi esensi. Esensi, atau Mahiyah, dipandang memiliki tingkatan yang berhubungan dengan tingkat kesempurnaan dan kedekatannya dengan Nur al-Anwar. Konsep ini mengatasi pandangan dualistik antara wujud dan esensi yang dikemukakan oleh filsuf peripatetik, seperti Ibnu Sina, dengan menyatakan bahwa esensi memiliki derajat eksistensial yang bervariasi.

Selain itu, cahaya juga berfungsi dalam epistemologi sebagai medium untuk memperoleh pengetahuan sejati melalui iluminasi, yaitu penyaksian langsung terhadap cahaya. Dalam konteks spiritualitas, pencari hikmah mengalami berbagai tingkat cahaya yang mencerminkan kemajuan batin mereka. Secara keseluruhan, filsafat iluminasi Suhrawardi menawarkan pemahaman yang lebih inklusif dan berkelanjutan tentang realitas, di mana segala sesuatu memiliki peran dalam hierarki kosmik yang dipandu oleh cahaya.

Referensi:

Riza Faishol, Imam Malik Riduan, Anis Fauzi, Nasrodin, Sayyed Ahmad Hamdanee, “THE PARADIGM OF SCIENCE ACCORDING TO SUHRAWARDI AL MAQTUL”, INCARE : International Journal of Educational Resources, Vol. 3, No. 4, (Desember 2022).

Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Diterjemah dari A Short Introduction to Islamic Philosopy, Theology and Mysticism, (Bandung: Mizan, 2001).

Nano Warno, Fisafat Iluminasi Islam Hikmat Al-Ishraq, (Bandung: MANGGU MAKMUR TANJUNG LESTARI, 2021).

Wa Ode Zainab ZT, “Pembagian Wujud: Tinjauan Filsafat Peripatetik Islam”.https://www.academia.edu/7085104/Pembagian_Wujud_Tinjaun_Filsafat_Peripatetik_Islam_Islamic_Peripatetic_ 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun