Suhrawardi juga menolak pandangan peripatetik yang melihat esensi sebagai sesuatu yang didefinisikan secara eksklusif dari spesies dan genus. Menurutnya, perbedaan konseptual tidak cukup untuk menggambarkan keberagaman realitas. Sebagai contoh, ia menolak gagasan bahwa hitam yang sangat hitam berbeda secara esensial dari hitam yang tidak terlalu hitam, karena dalam pandangan Suhrawardi, perbedaan tersebut hanya berlaku pada tingkat konseptual, bukan esensial.
Dengan konsep Tashkik Mahiyah, Suhrawardi tidak hanya memperkenalkan pendekatan baru dalam memahami esensi dan wujud, tetapi juga menawarkan kerangka metafisik yang lebih inklusif. Ia menunjukkan bahwa segala sesuatu memiliki dimensi eksistensial yang bervariasi, tergantung pada kedekatan mereka dengan Nur al-Anwar, sumber cahaya dan wujud. Ini menjadikan filsafat iluminasi sebagai sebuah sistem yang bersifat hierarkis dan berkelanjutan, di mana setiap tingkatan realitas memiliki tempat dan peran dalam keseluruhan kosmos.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan adalah bahwa dalam filsafat iluminasi yang dikembangkan oleh Suhrawardi, cahaya memegang peran utama sebagai entitas yang paling nyata dan terang, yang mencerminkan realitas dalam bentuk gradasi esensi. Suhrawardi menggantikan konsep wujud tradisional dengan cahaya sebagai hakikat realitas, di mana segala sesuatu di alam ini merupakan emanasi dari sumber cahaya tertinggi, yaitu Nur al-Anwar (Cahaya Tuhan). Fenomena cahaya ini membentuk hierarki ontologis, di mana tingkat kedekatan dengan sumber cahaya menentukan kesempurnaan suatu entitas.
Dalam pandangan Suhrawardi, realitas tidak bersifat statis atau terpisah, melainkan berkelanjutan melalui tingkatan-tingkatan cahaya yang mencerminkan gradasi esensi. Esensi, atau Mahiyah, dipandang memiliki tingkatan yang berhubungan dengan tingkat kesempurnaan dan kedekatannya dengan Nur al-Anwar. Konsep ini mengatasi pandangan dualistik antara wujud dan esensi yang dikemukakan oleh filsuf peripatetik, seperti Ibnu Sina, dengan menyatakan bahwa esensi memiliki derajat eksistensial yang bervariasi.
Selain itu, cahaya juga berfungsi dalam epistemologi sebagai medium untuk memperoleh pengetahuan sejati melalui iluminasi, yaitu penyaksian langsung terhadap cahaya. Dalam konteks spiritualitas, pencari hikmah mengalami berbagai tingkat cahaya yang mencerminkan kemajuan batin mereka. Secara keseluruhan, filsafat iluminasi Suhrawardi menawarkan pemahaman yang lebih inklusif dan berkelanjutan tentang realitas, di mana segala sesuatu memiliki peran dalam hierarki kosmik yang dipandu oleh cahaya.
Referensi:
Riza Faishol, Imam Malik Riduan, Anis Fauzi, Nasrodin, Sayyed Ahmad Hamdanee, “THE PARADIGM OF SCIENCE ACCORDING TO SUHRAWARDI AL MAQTUL”, INCARE : International Journal of Educational Resources, Vol. 3, No. 4, (Desember 2022).
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Diterjemah dari A Short Introduction to Islamic Philosopy, Theology and Mysticism, (Bandung: Mizan, 2001).
Nano Warno, Fisafat Iluminasi Islam Hikmat Al-Ishraq, (Bandung: MANGGU MAKMUR TANJUNG LESTARI, 2021).
Wa Ode Zainab ZT, “Pembagian Wujud: Tinjauan Filsafat Peripatetik Islam”.https://www.academia.edu/7085104/Pembagian_Wujud_Tinjaun_Filsafat_Peripatetik_Islam_Islamic_Peripatetic_