Mohon tunggu...
Riska Yunita
Riska Yunita Mohon Tunggu... Bankir - Karyawan Swasta

Be your own kind of beautiful

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pukul 6 Petang

1 Agustus 2020   10:04 Diperbarui: 1 Agustus 2020   09:58 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi

Tidak seperti drama romansa  yang mempertemukan dua pemeran utama dengan cara mengesankan dan istimewa, semesta mempertemukan kita dengan cara yang paling sederhana tanpa sebuah kesan pertama. Pertemuan yang tak pernah terlintas lama dalam pikiranku maupun dirinya. Sebuah peringatan dari semesta yang tak pernah kuanggap ada sebelumnya.

Hari, bulan dan tahun berjalan sebagaimana biasanya setelah peringatan sederhana itu. Sesederhana mengetahui identitas dari sie pemilik wajah pendiam itu. Tanpa pernah ada sapa apalagi dialog yang mengungkap kata-kata. Sederhana dan terlewatkan begitu saja.

Sampai pada suatu waktu, ada dialog yang terjadi antara kita. Alasannya tetap masih sederhana. Entah apa isi dialognya, ingatanku hanya sebatas kita akhirnya pernah bicara meski bukan hanya empat mata.

Selang waktu berjalan, latar tempatku untuk menghabiskan 9 jam waktuku diluar rumah berubah. Perubahan itu membuatku banyak terlibat dengannya. Mungkin baginya aku seperti pendatang baru yang ada dilingkungannya kala itu.

Dan masih dengan alasan dan cara yang sederhana, kita mulai banyak memerankan peran dalam cerita. Cerita yang belum melibatkan kata 'kita'. Cerita antara dua raga yang suka bicara tentang isi pikiran mereka.

9 jam waktuku bersamanya dalam hitungan bulan belakangan berhasil mengumpulkan banyak isi kepala kita. Isi kepala dari dua raga yang seperti bercermin satu sama lainnya. Ikatan yang membuat kita merasa sejiwa atas setiap peristiwa yang ada di sekitar kita. Sebuah peringatan dari semesta yang akhirnya membuat kita berpikir di luar logika.

"Seandainya bisa, aku pasti akan bersamanya."

Sebuah pernyataan yang aku buat dan aku simpulkan sendiri atas kesan dari peringatan yang tak sesederhana kelihatannya. Semua tersimpan baik di dalam isi kepalaku. Sebuah rahasia yang cukup diriku sendiri saja yang tahu.

Hingga akhirnya tiba suatu hari yang kuingat cerah kala itu, namun seketika terasa seperti badai saat ia membuat pernyataan atas kesimpulan yang ia miliki tentang peringatan yang serupa.

"Menurutmu, apa kita dekat?"

Pertanyaan yang seketika membuat rahasia dikepalaku ingin memberontak keluar. Pertanyaan yang membuat logikaku berjuang keras untuk menahan hatiku yang ingin bersuara lebih lantang. 

Badai yang sebenarnya terlalu indah untuk dihindari. Badai yang sejatinya pernah hadir dalam anganku di malam hari.

Pertanyaan itu akhirnya membuat kita bersiteru dengan logika kita masing-masing. Menyuarakan isi hati dan rasa yang sepertinya ingin lari keluar untuk didekap secara hangat. Mendorong banyak bukti yang mendukung isi hati satu sama lain. Menyudutkan berbagai prinsip yang selama ini kita sudah tahu dengan pasti.

Rumit dan sulit.

Sebuah kesan dari dialog penuh tekanan yang terjadi antara dua raga yang cukup idealis.

"Jika dia bisa melakukan ini, kenapa aku tidak bisa."

Sebuah perang dengan logikaku sendiri akhirnya dimulai. Percobaan atas alasan bahwa tak ada yang tahu kapan cinta hadir dalam dua hati anak manusia. Percobaan yang akhirnya tak mudah diakhiri dengan cara yang biasa.

Raga idealis yang sudah melawan idealismenya sendiri ini hadir dengan kehangatan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Ketulusan atas apa yang diucapnya membuatku merasa lupa akan logiku yang tadinya sekuat baja. Dia yang mengenalku jauh lebih dalam dari apa yang aku kira. Dia yang seperti cerminan atas diriku sendiri yang tak pernah kutemui di raga lain sebelumnya.

Seiring waktu berjalan, aku semakin jauh jatuh dalam dunianya. Rasa yang kuawali dengan alasan percobaan sederhana, kini telah bermetamorfosis secara sempurna. Terlalu kuat untuk dilawan dengan logikaku yang jauh kusembunyikan di dalam pikiran.

Bagaimana kita membaca isi hati dan kepala kita, bagaimana kita bicara tentang kehidupan kita, bagaimana kita mengungkap rasa satu sama lainnya dan bagaimana kita memberi cinta dalam setiap sentuhannya membuat kisah ini semakin nyata terkecuali perihal fakta bahwa dalam drama romansa ini, kita bukanlah satu-satunya pemeran utama.

Kenyataan itu membuat kita harus berada dibalik layar. Menciptakan waktu dan ruang hanya untuk kita berdua. Menikmati hari ditengah banyak mata yang setia mengawasi.

"Tunggu aku di sana."

Sebuah kalimat yang selalu kunanti meski tak selalu terucap setiap hari.

Penantian yang diisi dengan dialog sederhana namun penuh akan makna dari dua raga yang rindu untuk bisa saling berbagi tanpa harus bersembunyi. Ada waktu dimana kita tertawa melepas lelah, waktu dimana memeluk untuk melepas kesah, waktu dimana tersenyum sembari memandang mata coklatnya yang indah, bahkan ada waktu dimana aku menangis ketika rasanya ingin menyerah.

"Jika ada orang lain yang mengatakan hal ini kepadamu, tanyakan padanya apa makna dari kalimat itu. Jika dia bisa menjelaskannya sebagaimana aku menjelaskan padamu kali ini, itu artinya dia benar-benar mencintaimu."

"Di mana aku bisa menemukan mata seperti milikmu?"

Hanya dengan melewatkan 2 jam bersama, aku mendapati banyak pernyataan yang tak pernah kudengar dari orang lain di luar sana. Kalimat-kalimat yang menyentuh hatiku dengan cara yang sederhana. Dialog dari dua raga yang berterima kasih pada semesta atas takdir yang mempertemukan mereka.

Namun waktu yang kunanti dan terjadi hanya sesekali ini pun tak bisa kunikmati hingga akhir hari.

Aku selalu membenci pemandangan ketika dia harus melihat ke arah jam yang melingkar dipergelangan tangannya.

"Sudah pukul 6"

Sebuah pernyataan yang tanpa harus ia katakan namun sudah terbaca dengan jelas pada mata coklatnya.

Seperti cinderela yang harus berpisah dengan pangerannya ketika lonceng yang menandakan jam 12 malam telah berbunyi, begitulah kita harus berpisah pada hari persembunyian kita.

Aku yang mencintai pemandangan senja menjadi memiliki banyak alasan lain untuk tetap memilih senja sebagai waktu yang selalu ingin kunikmati lebih lama lagi.

Ada kalanya hari dimana matahari masih sangat tinggi namun waktu sudah mengharuskannya pergi. Ada beberapa waktu dimana wangi hujan baru saja mulai hadir hingga semakin sulit rasanya untuk berakhir. Ada pula waktu yang dimana senja benar-benar terlihat di pelupuk mata di kala aku harus berpisah dengannya.

Kita adalah dua raga dengan ego yang sama. Yang melawan idealisme untuk mendekap bahagia yang terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja.

Kita adalah dua raga yang berusaha buta sekalipun tembok besar itu selalu ada di depan mata kita. Kita adalah rasa yang tepat meski semesta tak akan membuat kita bisa saling menetap.

"Sekalipun tak ada orang lain yang mencintaiku sebesar kamu mencintaiku saat ini, aku akan tetap bersyukur. Setidaknya aku pernah merasa dicintai sedalam ini meskipun hanya untuk satu kali di sepanjang hidupku."

"Sekalipun akhirnya kita harus berhenti, aku harap aku akan menjadi ingatan yang baik dalam hidupmu."

Tak ada satu haripun tanpa pernyataan-penyataan seperti itu dalam dialog kita. Kita yang sangat menjaga dan berusaha menghabiskan kesempatan yang masih ada untuk bisa bicara lebih banyak tentang apa yang kita rasa satu sama lainnya.

Di awal perjalanan banyak kata 'seandainya' dan 'jika' dalam dialog-dialog kita. Namun pada akhirnya, realita membuat kita sadar bahwa berharap pada waktu yang tak bisa lagi dikembalikan hanya akan membuat kita terpuruk di dalam kenyataan itu sendiri.

Dari sanalah kita berjalan sekuat tenaga hingga sampai di waktu kita tidak pernah berpikir tentang kapan waktunya tiba. Kita hanya mengikuti arus air selagi masih belum mengering. Kita hanya berusaha menciptakan bahagia yang layak untuk kisah kita ini.

Apapun dan bagaimanapun dunia bicara tentang kita, kita hanya dua manusia yang ingin membagi rasa bersama. Sekalipun banyak mata yang kecewa, namun kita juga ingin mencari apa yang membuat kita bahagia. Seegois itulah cinta yang kita punya. Dan bukankah cinta itu sendiri adalah ego?

Namun hidup bukan hanya soal cinta semata. Ada kalanya kita harus mengorbankan bahagia untuk kebaikan di sekitar kita. Seperti semesta yang membuat kita sempat meski hati merasa tepat. Seperti kata bijak yang mengatakan bahwa terkadang hal yang indah diciptakan untik hanya bisa dinikmati dari jauh.

Teruntuk pangeran pukul enam petangku, maaf jika hadirku membuatmu harus berperang melawan idelisme dan logikamu. Maaf jika mataku membuatmu harus merindu sepanjang waktu. Maaf jika kasihku menjadikanmu sulit untuk melepaskanku. Maaf jika egoku untuk memilikimu sudah menyulitkanmu. Dan maaf jika aku harus mengutukmu, bahwa tak akan ada wanita lain yang mencintaimu sebesar aku mencintaimu saat ini.

Dan maafkan aku karena akan tiba suatu hari nanti dimana pukul enam petang pada hari-harimu, akan selalu ada kenangan tentang aku, kamu dengan segala dialog  kita yang akan terngiang ditelinganu sepanjang masa,sekalipun 'kita' tidak lagi menjadi kita. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun