"Tunggu aku di sana."
Sebuah kalimat yang selalu kunanti meski tak selalu terucap setiap hari.
Penantian yang diisi dengan dialog sederhana namun penuh akan makna dari dua raga yang rindu untuk bisa saling berbagi tanpa harus bersembunyi. Ada waktu dimana kita tertawa melepas lelah, waktu dimana memeluk untuk melepas kesah, waktu dimana tersenyum sembari memandang mata coklatnya yang indah, bahkan ada waktu dimana aku menangis ketika rasanya ingin menyerah.
"Jika ada orang lain yang mengatakan hal ini kepadamu, tanyakan padanya apa makna dari kalimat itu. Jika dia bisa menjelaskannya sebagaimana aku menjelaskan padamu kali ini, itu artinya dia benar-benar mencintaimu."
"Di mana aku bisa menemukan mata seperti milikmu?"
Hanya dengan melewatkan 2 jam bersama, aku mendapati banyak pernyataan yang tak pernah kudengar dari orang lain di luar sana. Kalimat-kalimat yang menyentuh hatiku dengan cara yang sederhana. Dialog dari dua raga yang berterima kasih pada semesta atas takdir yang mempertemukan mereka.
Namun waktu yang kunanti dan terjadi hanya sesekali ini pun tak bisa kunikmati hingga akhir hari.
Aku selalu membenci pemandangan ketika dia harus melihat ke arah jam yang melingkar dipergelangan tangannya.
"Sudah pukul 6"
Sebuah pernyataan yang tanpa harus ia katakan namun sudah terbaca dengan jelas pada mata coklatnya.
Seperti cinderela yang harus berpisah dengan pangerannya ketika lonceng yang menandakan jam 12 malam telah berbunyi, begitulah kita harus berpisah pada hari persembunyian kita.