1. Pengertian Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi, kata qaidah (ةدعاق), jamaknya qawaid (دعاوق). berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama).1 Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas yang menjadi hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil. Qaidah dengan arti dasar atau fondasi sesuatu yang bersifat materi.
2. Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah Dengan Qawaid Ushuliyyah
Athiyyah Adlan membedakan antara qawaid fiqhiyyah dengan qawaid ushuliyyah. Adapun Qawaid ushuliyyah merupakan dalil-dalil umum. Sedangkan qawaid fiqhiyyah merupakan hukum-hukum umum. Qawaid ushuliyyah adalah qaidah untuk meng-istinbath- kan hukum dari dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan qawaid fiqhiyyah adalah qaidah untuk mengetahui hukum-hukum, memeliharanya dan mengumpulkan hukum-hukum yang serupa serta menghimpun masalah- masalah yang berserakan dan mengoleksi makna- maknanya.
Perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyyah, adalah; Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil syar’iyyah yang bersifat umum. Sedangkan qawaid fiqhiyah adalah qaidah- qaidah pembahasannya tentang hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyyah membicarakan tentang dalil-dalil syar’iyyah yang bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyyah membicarakan tentang hukum-hukum bersifat umum.
3. Perbedaan antara Qawaid Fiqhiyah dengan Dhawabith Fiqhiyah
Ibnu Nujaim membedakan antara qawaid fiqhiyyah dengan dhawabith fiqhiyyah.Menurutnya qawaid fiqhiyyah menghimpun beberapa furu’ (cabang/bagian) dari beberapa bab fiqh, sedangkan dhawabith fiqhiyyah hanya mengumpulkan dari satu bab, dan inilah yang disebut dengan ashal.
Menurut al- Suyuthi dalam Asybah wa Nadhair fi An Nahwi, bahwa qawaid fiqhiyyah mengumpulkan beberapa cabang dari beberapa bab fiqh yang berbeda, sedangkan dhawabith fiqhiyyah mengumpulkan bagian dari satu bab fiqh saja. Pada masa sekarang istilah qaidah dan dhabith telah menjadi populer di kalangan para ulama, sehingga mereka membedakan ruang lingkup keduanya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa qawaid fiqhiyyah lebih luas dari dhawabith fiqhiyyah, karena qawaid fiqhiyyah tidak terbatas pada masalah dalam satu bab fiqh, tetapi semua masalah yang terdapat pada semua bab fiqh. Sedangkan dhawabith fiqhiyyah ruang lingkupnya terbatas pada masalah dalam satu bab fiqh. Sebab itulah qawaid fiqhiyyah disebut qaidah ammah, atau kullyyah dan dhawabith fiqhiyyah di sebut qaidah khasshshah.
4. Hubungan Antara Ushul Fiqh, Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah
Ushul fiqh adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya. Metode penggalian hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh oleh orang yang berkompeten. Hukum yang digali dari dalil/sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqh. Jadi fiqh adalah produk operasional ushul fiqh. Sebuah hukum fiqh tidak dapat dikeluarkan dari dalil/sumbernya (al-Qur’an dan Sunah) tanpa melalui ushul fiqh. Ini sejalan dengan pengertian harfiah ushul fiqh, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqh.
Misalnya hukum wajib shalat dan zakat yang digali dari ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 43 yang
Berbunyi:
dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat..
Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ushul fiqh, perintah pada asalnya menunjukan wajib (بوجولل رملاا ىف لصلاا). Adapun qawaid fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini karena dalam menjalankan hukum fiqh terkadang mengalami kendala-kendala. Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan tepat pada waktunya. Kemudian seorang mukalaf dalam menjalankan kewajibannya mendapat halangan, misalnya ia diancam bunuh jika mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dalam kasus seperti ini, mukallaf tersebut boleh menunda shalat dari waktunya karena jiwanya terancam. Hukum boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan qawaid fiqhiyyah, yaitu dengan menggunakan qaidah
:لازي ررضلا (bahaya wajib dihilangkan)
5. Tujuan Dan Kepentingan Mempelajari Qawaid Fiqhiyyah
Adapaun tujuan mempelajari qawaid fiqhiyyah itu adalah agar dapat mengetahui prinsip- prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
Dari tujuan mempelajari qawaid fiqhiyyah tersebut, maka manfaat yang diperoleh adalah; akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi; akan lebih arif dalam menerapkan materi- materi hukum dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda; Mempermudah dalam menguasai materi hukum; Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru; Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tempatnya.
Adapun kepentingan Qaidah fiqh dapat dilihat dari dua sudut : Pertama, dari sudut sumber, qaidah merupakan media bagi peminat fiqh untuk memahami dan menguasai maqashid al-Syari’ah, karena dengan mendalami beberapa nash-nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan. Kedua, dari segi istinbath al-ahkam, qaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, qawaid fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
6. Dasar-Dasar Pengambilan Qawaid Fiqhiyyah
Yang dimaksud dengan dasar pengembalian qawaid fiqhiyyah ialah dasar-dasar perumusan qaidah fiqhiyyah, meliputi dasar formil dan materiilnya. Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan dasar ulama dalam merumuskan qaidah fiqhiyyah itu, jelasnya nash-nash manakah yang menjadi pegangan ulama sebagai sumber motivasi penyusunan qawaid fiqhiyyah. Adapun dasar materiil maksudnya dari mana materi qaidah fiqhiyyah itu dirumuskan.
- Dasar formil
Hukum-hukum furu’ yang ada dalam untaian satu qaidah yang memuat satu masalah tertentu, ditetapkan atas dasar nash, baik dari al-Quran maupun Sunnah.
- Dasar materiil
Dasar materiil atau bahan-bahan yang dijadikan rumusan qaidah.
7. Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembanagan Qawaid Fiqhiyyah
Ali Ahmad al-Nadwi, seorang ulama ushul kontemporer, menyebut tiga periode penyusunan qawaid Fiqhiyyah yaitu; periode kelahiran, pembukuan, dan penyempurnaan.
1. Periode Kelahiran.
Masa kelahiran dimulai dari pertumbuhan sampai dengan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih dimulai dari zaman kerasulan sampai abad ketiga hijrah. Periode ini dari segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga periode: zaman Nabi Muhammad SAW., yang berlangsung selama 22 tahun lebih, zaman tabi'in, dan zaman tabi'it al-tabi'in yang berlangsung selama lebih kurang 250 tahun. Pada masa kerasulan adalah masa tasyri' (pembentukan hukum Islam) merupakan embrio kelahiran qawaid fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW. menyampaikan Hadis yang jawami' 'ammah (singkat dan padat).
2. Periode Pembukuan
Pada abad ini terjadi penurunan dinamika berpikir dalam bidang hukum dan mulai munculnya kecenderungan taqlid dan melemahnya ijtihad. Hal ini merupakan akibat sampingan dari tersisanya warisan fiqh yang amat kaya berkat pembukuan pemikiran fiqh yang disertai dengan dalil-dalilnya, dan perselisihan pendapat antar mazhab beserta hasil perbandingannya (tarjih). Oleh karena itu, pekerjaan yang tersisa pada periode ini adalah upaya takhrij, yaitu mempergunakan sarana metodologis yang telah tersedia dalam mazhab tertentu untuk menghadapi kasus-kasus hukum baru.
Karena faktor mulai tampilnya qawaid fiqhiyyah sebagai disiplin ilmu tersendiri, ditandai dengan dihimpunnya qaidah-qaidah fiqhiyyah itu dalam karya yang terpisah dari bidang lain, al-Nadwi memilih abad IV H. sebagai permulaan era pertumbuhan dan pembukuan qawaid fiqhiyyah.
Pada periode pembukuan, qawaid fiqhiyyah telah dibukukan dan memastikan qawaid tersebut dapat diwariskan sebagai salah satu khazanah ilmu Islam yang berharga.
3. Periode Penyempurnaan
Pada abad ke 11 H. lahirlah kitab al-Majllah al- Ahkam al-Adhiyyah, dalam versi yang telah disempurnakan. Misalnya qaidah: (sesungguhnya tidak berhak bertindak dengan kehendaknya sendiri atas milik orang lain tanpa izin pemliknya). Jika dalam verdi Abu Yusuf larangan mengenai milik orang lain itu hanya menyangkut perbuatan, Versi al-Majallah juga melarang bentuk perkataan. Akan tetapi dua-duanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu penghargaan atas hak milik, salah satu bagian dari hak asasi manusia.
Al-Majallah merupakan undang-undang hukum perdata yang dalam mukaddimahnya tercantum 100 butir ketentuan umum. Ketentuan umum pasal 1 adalah tentang definisi fiqh. Sedangkan pasal 2 sampai 100 adalah 99 qaidah fiqh yang menjadi landasan dari pasal-pasal pada bagian batang tubuhnya. Dalam mukaddimah itu, setiap qaidah fiqh disertai dengan nomor pasal pada batang tubuh yang menjadi rinciannya.
Pada abad ke 11 H. telah dilakukan pensyarahan terhadap kitab kitab-kitab qawaid fiqhiyyah. Ahmad bin Muhammad al-Hamawi yang antara lain tokoh fukaha yang telah mensyarahkan kitab al-Asybah wa al-Nazhair, karangan Zayn al-Abidin Ibrahim Ibn Nujaym al- Misri yang memuat 25 qaidah yang ia buat dalam kitabnya yang berjudul Ghamzu 'Uyun al-Basa'ir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H