Mohon tunggu...
Riska Wijayanti
Riska Wijayanti Mohon Tunggu... Bankir - Mahasiswi

La tahzan innallaha ma anna

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Rangkuman Buku Qawaid Fiqhiyyah

8 April 2020   17:15 Diperbarui: 8 April 2021   11:46 43464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
buku Qaqaid Fiqhiyyah Muamalah. (sumber: kumpulanbukumu.blogspot.com)

1. Pengertian Qawaid Fiqhiyyah

Qawaid  Fiqhiyyah  adalah  kata  majemuk  yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi, kata qaidah (ةدعاق), jamaknya qawaid (دعاوق). berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama).1 Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas yang menjadi hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil. Qaidah  dengan  arti  dasar  atau  fondasi  sesuatu yang bersifat materi.

2. Perbedaan   Qawaid   Fiqhiyyah   Dengan   Qawaid Ushuliyyah

Athiyyah Adlan membedakan antara qawaid fiqhiyyah  dengan  qawaid  ushuliyyah.  Adapun  Qawaid ushuliyyah   merupakan   dalil-dalil   umum.  Sedangkan qawaid fiqhiyyah merupakan hukum-hukum umum. Qawaid ushuliyyah adalah qaidah untuk meng-istinbath- kan hukum dari dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan qawaid   fiqhiyyah   adalah   qaidah   untuk   mengetahui hukum-hukum, memeliharanya dan mengumpulkan hukum-hukum yang serupa serta menghimpun masalah- masalah yang berserakan dan mengoleksi makna- maknanya.

Perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyyah, adalah; Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil syar’iyyah yang bersifat umum.   Sedangkan qawaid fiqhiyah adalah qaidah- qaidah pembahasannya tentang hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyyah membicarakan tentang dalil-dalil syar’iyyah yang bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyyah membicarakan tentang hukum-hukum bersifat umum.

3. Perbedaan     antara     Qawaid     Fiqhiyah     dengan Dhawabith Fiqhiyah

Ibnu  Nujaim  membedakan  antara  qawaid fiqhiyyah dengan dhawabith    fiqhiyyah.Menurutnya qawaid fiqhiyyah menghimpun beberapa furu’ (cabang/bagian) dari beberapa bab fiqh, sedangkan dhawabith fiqhiyyah hanya mengumpulkan dari satu bab, dan  inilah  yang  disebut  dengan ashal.  

Menurut  al- Suyuthi dalam Asybah wa Nadhair fi An Nahwi,  bahwa qawaid fiqhiyyah mengumpulkan beberapa cabang dari beberapa bab fiqh yang berbeda, sedangkan dhawabith fiqhiyyah mengumpulkan bagian dari satu bab fiqh saja. Pada masa sekarang istilah qaidah dan dhabith telah menjadi   populer  di   kalangan   para   ulama,   sehingga mereka membedakan ruang lingkup keduanya.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa qawaid fiqhiyyah lebih luas dari dhawabith fiqhiyyah, karena qawaid fiqhiyyah tidak terbatas pada masalah dalam satu bab fiqh, tetapi semua masalah yang terdapat pada semua bab fiqh. Sedangkan dhawabith fiqhiyyah ruang lingkupnya terbatas pada masalah dalam satu bab fiqh. Sebab itulah qawaid fiqhiyyah disebut qaidah ammah, atau kullyyah dan dhawabith fiqhiyyah di sebut qaidah khasshshah.

4. Hubungan  Antara  Ushul  Fiqh,  Fiqh  dan  Qawaid Fiqhiyyah

Ushul  fiqh  adalah  sebuah  ilmu  yang  mengkaji dalil atau sumber hukum dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya. Metode penggalian hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh  oleh orang  yang berkompeten.  Hukum  yang digali dari dalil/sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqh. Jadi fiqh adalah produk operasional ushul fiqh. Sebuah hukum fiqh tidak dapat dikeluarkan dari dalil/sumbernya (al-Qur’an dan Sunah) tanpa melalui ushul fiqh. Ini sejalan dengan pengertian harfiah ushul fiqh, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqh.

Misalnya  hukum  wajib  shalat  dan  zakat  yang digali dari ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 43 yang

Berbunyi:

dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat..

Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ushul fiqh, perintah pada asalnya menunjukan wajib (بوجولل رملاا ىف  لصلاا).  Adapun qawaid fiqhiyyah dapat  dijadikan  sebagai  kerangka  acuan  dalam mengetahui   hukum   perbuatan   seorang   mukalaf.   Ini karena dalam menjalankan hukum fiqh terkadang mengalami kendala-kendala. Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan tepat pada waktunya. Kemudian seorang mukalaf dalam menjalankan kewajibannya mendapat halangan, misalnya ia diancam bunuh jika mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dalam   kasus   seperti   ini,   mukallaf   tersebut   boleh menunda shalat dari waktunya karena jiwanya terancam. Hukum  boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan qawaid  fiqhiyyah,  yaitu  dengan  menggunakan  qaidah

:لازي ررضلا (bahaya wajib dihilangkan)

5. Tujuan   Dan   Kepentingan   Mempelajari   Qawaid Fiqhiyyah

Adapaun  tujuan  mempelajari  qawaid fiqhiyyah  itu  adalah  agar  dapat  mengetahui  prinsip- prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai  fiqh  dan  kemudian  menjadi  titik  temu dari masalah-masalah fiqh.

Dari  tujuan  mempelajari  qawaid  fiqhiyyah tersebut, maka manfaat yang diperoleh adalah; akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi;  akan  lebih  arif  dalam  menerapkan  materi- materi hukum dalam waktu dan tempat  yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda; Mempermudah dalam menguasai materi hukum; Mendidik orang yang berbakat  fiqh  dalam  melakukan  analogi  (ilhaq)  dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru; Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tempatnya.

Adapun  kepentingan  Qaidah  fiqh  dapat  dilihat dari dua sudut : Pertama, dari sudut sumber, qaidah merupakan  media  bagi  peminat  fiqh untuk  memahami dan menguasai maqashid al-Syari’ah, karena dengan mendalami  beberapa  nash-nash,  ulama  dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan. Kedua, dari segi istinbath al-ahkam, qaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, qawaid fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai salah satu alat  dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi  yang belum  ada ketentuan  atau  kepastian hukumnya.

6. Dasar-Dasar Pengambilan Qawaid Fiqhiyyah

Yang dimaksud dengan dasar pengembalian qawaid fiqhiyyah ialah dasar-dasar perumusan qaidah fiqhiyyah, meliputi dasar formil dan materiilnya.     Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan dasar ulama dalam merumuskan qaidah fiqhiyyah itu, jelasnya nash-nash manakah yang menjadi pegangan ulama sebagai sumber motivasi penyusunan qawaid fiqhiyyah. Adapun dasar materiil maksudnya dari mana materi qaidah fiqhiyyah itu dirumuskan.

  • Dasar formil

Hukum-hukum furu’  yang ada dalam untaian satu qaidah yang memuat satu masalah tertentu, ditetapkan atas  dasar  nash,  baik  dari  al-Quran maupun  Sunnah.

  • Dasar materiil

Dasar materiil atau bahan-bahan yang dijadikan rumusan qaidah.

7. Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembanagan Qawaid Fiqhiyyah

Ali Ahmad al-Nadwi, seorang ulama ushul kontemporer, menyebut tiga periode penyusunan qawaid Fiqhiyyah yaitu; periode kelahiran,   pembukuan, dan penyempurnaan.

1.   Periode Kelahiran.

Masa kelahiran dimulai dari pertumbuhan sampai dengan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih dimulai dari zaman kerasulan sampai abad ketiga hijrah. Periode ini  dari  segi  fase sejarah  hukum  Islam,  dapat dibagi menjadi tiga periode: zaman Nabi Muhammad SAW.,   yang   berlangsung   selama   22   tahun   lebih, zaman tabi'in,    dan    zaman     tabi'it    al-tabi'in yang berlangsung selama lebih kurang 250 tahun. Pada masa kerasulan   adalah   masa tasyri'    (pembentukan   hukum Islam) merupakan  embrio kelahiran qawaid   fiqhiyyah. Nabi        Muhammad    SAW.    menyampaikan    Hadis yang jawami'    'ammah (singkat    dan    padat).

2.   Periode Pembukuan

Pada abad ini terjadi penurunan dinamika berpikir dalam bidang hukum dan mulai munculnya kecenderungan taqlid dan melemahnya ijtihad. Hal ini merupakan akibat sampingan dari tersisanya warisan fiqh yang amat kaya berkat pembukuan pemikiran fiqh yang disertai dengan dalil-dalilnya, dan perselisihan pendapat antar  mazhab    beserta  hasil  perbandingannya  (tarjih). Oleh karena itu, pekerjaan yang tersisa pada periode ini adalah upaya takhrij, yaitu mempergunakan sarana metodologis yang telah tersedia dalam mazhab tertentu untuk menghadapi kasus-kasus hukum baru.

Karena faktor mulai tampilnya qawaid fiqhiyyah sebagai disiplin ilmu tersendiri, ditandai dengan dihimpunnya qaidah-qaidah fiqhiyyah itu dalam karya yang terpisah dari bidang lain, al-Nadwi memilih abad IV H. sebagai permulaan era pertumbuhan dan pembukuan qawaid fiqhiyyah.

Pada periode pembukuan, qawaid fiqhiyyah telah dibukukan dan memastikan qawaid tersebut dapat diwariskan sebagai  salah satu khazanah ilmu Islam yang berharga.

3.   Periode Penyempurnaan

Pada abad ke 11 H. lahirlah kitab al-Majllah al- Ahkam al-Adhiyyah, dalam versi yang telah disempurnakan. Misalnya qaidah:  (sesungguhnya tidak berhak bertindak dengan kehendaknya sendiri atas milik orang lain tanpa izin pemliknya). Jika dalam verdi Abu Yusuf larangan mengenai milik orang lain itu hanya menyangkut perbuatan, Versi al-Majallah juga melarang bentuk perkataan. Akan tetapi dua-duanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu penghargaan atas hak milik, salah satu bagian dari hak asasi manusia.

Al-Majallah  merupakan  undang-undang  hukum perdata yang dalam mukaddimahnya tercantum 100 butir ketentuan   umum.   Ketentuan   umum   pasal   1   adalah tentang  definisi  fiqh.  Sedangkan  pasal  2  sampai  100 adalah 99 qaidah fiqh yang menjadi landasan dari pasal-pasal pada bagian batang tubuhnya. Dalam mukaddimah itu, setiap qaidah fiqh disertai dengan nomor pasal pada batang tubuh yang menjadi rinciannya.

Pada abad ke 11 H. telah dilakukan pensyarahan terhadap kitab kitab-kitab qawaid fiqhiyyah. Ahmad bin Muhammad al-Hamawi yang   antara lain tokoh fukaha yang telah mensyarahkan kitab al-Asybah wa al-Nazhair, karangan Zayn al-Abidin Ibrahim Ibn Nujaym al- Misri yang memuat 25 qaidah   yang ia buat dalam   kitabnya yang berjudul  Ghamzu 'Uyun al-Basa'ir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun