Mohon tunggu...
Riskawati
Riskawati Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Saya suka menulis yang berkaitan dengan lingkungan atau apapun yang berkaitan dengan ilmu tanah dan lahan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pemekaran: Percepatan Pembangunan atau Eksploitasi Bentang Alam dan Lahan

22 Juli 2023   12:30 Diperbarui: 22 Juli 2023   12:39 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pemekaran: Percepatan Pembangunan atau Eksploitasi Bentang Alam dan Lahan

By: Riskawati, SP., M.Si

Instansi: Universitas Muhammadiyah Sorong

Ditulis: 22 April 2023 (Tulisan ini dibuat untuk memperingati hari bumi secara Internasional)

Pembagian satu daerah administratif (daerah otonom) yang sudah ada kemudian dibagi menjadi dua atau lebih daerah otonom baru (DOB) adalah hal yang sudah tidak asing lagi di Indonesia. Masyarakat mengenalnya dengan kata pemekaran dan tahun 2022 isu pemekaran kembali di sorotin tentang usaha adanya pemekaran di Pulau Papua. Jika dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Indonesia, Pulau Papua memiIliki luasan wilayah yang paling luas dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. 

Sejak diklaim sebagai bagian dari Indonesia, wilayah Papua hanya memiliki satu provinsi yaitu Irian Barat yang diakui secara de jure berdasarkan UU No .15 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom Provinsi Irian Barat dan resmi bergabung ke Indonesia pada 1 Mei 1963 yang ditandai dengan penyerahan Papua oleh Belanda kepada Indonesia sesuai perjanjian New York 1962. 

Kemudian pada tahun 1973 dilakukan penggantian nama oleh presiden Soeharto dari Irian Barat menjadi Irian Jaya. Namun karena adanya kebijakan pemerintah tentang pemekaran melalui UU No. 45 Tahun 1999, sempat terbentuk Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat. Namun, secara de facto, Irian Jaya Tengah tak pernah terbentuk, hanya Provinsi Irian Jaya Barat yang akhirnya terbentuk dan terbagi menjadi dua provinsi yaitu Irian Jaya (sekarang Papua) yang diubah pada tahun 2001 setelah terbit UU No. 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua dan Irian Jaya Barat (Sekarang Papua Barat) yang diubah pada tahun 2007. 

Kemudian pada rapat paripurna DPR tanggal 30 Juni 2022, tentang pembentukan DOB di Provinsi Papua resmi menjadi lima provinsi setelah ada persetujuan penambahan tiga provinsi yaitu Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pengunungan Tengah. Terakhir pada tanggal 07 Juli 2022 kembali dilakukan persetujuan 1 Provinsi baru yaitu Provinsi Papua Barat Daya. Sehingga, Pulau Papua sendiri sudah memiliki 6 Provinsi.

Percepatan pembangunan menjadi tonggak alasan utama dilakukan pembentukan DOB yang katanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Hal ini berdasar pada instruksi presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2021 tentang percepatan pembangunan di tanah Papua.  Kemudian, dalih pembangunan ini dijadikan sebagai alasan untuk kemajuan. Lalu siapa yang akan terbangun dan maju, pengejar profit atau masyarakat Papua ? 

Melalui alasan percepatan pembangunan ini maka akan mengundang semakin terbukanya akses investasi oleh para investor baik skala nasional maupun global ke Papua yang melibatkan pemerintah daerah dan kelembagaan tertentu. Meski Pembangunan (development) itu sendiri adalah proses terjadinya perubahan yang mencakup seluruh sistem atau tatanan sosial seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, maupun kelembagaan dll. Namun, Seringkali terlupakan bahwa adanya pembangunan maka salah satu dampak yang diakibatkan adalah terjadinya exploitasi bentang alam maupun lahan secara besar-besaran. 

Bentang alam adalah suatu bagian permukaan bumi yang menjadi pemandangan alam atau daerah di permukaan bumi. Sedangkan Bentang lahan adalah bagian dari bentang alam yang terdiri atas sistem-sistem yang dibentuk oleh adanya interaksi antara bentuk lahan (tofografi), batuan, bahan pelapukan batuan, tanah, air, udara, tumbuhan, hewan, laut, energi dan manusia dengan segala aktivitasnya yang membentuk satu kesatuan. Karena terbentuknya ruang DOB yang baru maka secara tidak langsung bentang alam dan lahan yang akan menjadi sasaran exploitasi.

Secara fakta, aset bentang alam dan lahan terbesar Indonesia berada di wilayah Papua khususnya sumber daya mineral dan kawasan hutan. Berdasarkan beberapa sumber data terbuka seperti Geoportal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Minerba One Map Indonesia (MOMI) Kementerian ESDM, dan Sistem Informasi Geospasial (SIGAP) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang terkumpul hingga 2022 menunjukkan bahwa di Daerah yang menjadi lokasi pemekaran memiliki potensi mineral dan kawasan hutan yang luas seperti di Provinsi Papua Tengah dan Papua Selatan. 

Dari data ESDM di Provinsi Papua Tengah, setidaknya terdapat 57 titik potensi mineral logam (emas, nikel, pasir besi, perak, seng dan tembaga) yang berada di wilayah Mimika, Intan Jaya, Paniai, dan Nabire. Potensi kandungan emas primer terdeteksi tertinggi terdapat di 14 titik di wilayah Paniai dan kandungan perak tertinggi dengan 13 titik juga berada di wilayah Paniai, sementara potensi tembaga tertinggi terdapat di Mimika dengan 14 titik dan potensi emas primer di Intan Jaya terdapat di dua titik kemudian potensi mineral laiinnya berada wilayah lain.  Walaupun, hingga kini baru PT. Freeport Indonesia yang terdeteksi memiliki izin usaha pertambangan di wilayah tersebut yakni Mimika dan Paniai dengan total luas mencapai 121.132 Ha. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa diluar dari PT Freeport Indonesia, beberapa perusahaan sudah mengancang-ancang titik potensi mineral tersebut yang akan menjadi target profitnya.

Kemudian untuk kawasan hutan setidaknya tujuh perusahaan yang mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan. Jumlah dari pelepasan kawasan hutan itu mencapai 180.494 Ha. Izin pelepasan kawasan hutan itu tersebar di Deiyai, Dogiyai, Mimika, Nabire, dan Intan Jaya. Umumnya izin pelepasan kawasan hutan di peruntukan untuk garapan komoditas kelapa sawit. Sedangkan di wilayah pemekaran Provinsi Papua Selatan, berdasarkan data SIGAP KLHK, pelepasan kawasan hutan di beberapa Kabupaten kira-kira mencapai 715.482 Ha yang terdeteksi diwilayah Merauke, Boven Digoel, dan Mappi. 

Selanjutnya untuk wilayah-wilayah pembentuk Provinsi Papua Pegunungan Tengah dan Papua Barat Daya sampai saat ini belum secara nyata terlihat kandungan dan potensi alamnya selain kawasan hutan.

Meski dalih pemekaran adalah untuk kesejahteraan masyarakat namun potensi eksploitasi bentang alam dan lahan oleh para investor pengejar profit akan menjadi bayang-bayang kegelisahan dan keresahan oleh masyarakat setempat yang nantinya setelah melakukan ekploitasi lalu habis masa Hak Guna Usaha (HGU) mereka, maka masyarakat Papua akan di tinggalkan atau disisahkan bentang lahan yang rusak. Papua sendiri memiliki ekosistem terlengkap yaitu 84 % tutupan hutan. Selama 2001 - 2019, pulau Papua sudah kehilangan 2% hutan alamnya atau sekitar 748 ribu ha. Beberapa Riset lainya juga menaksir bahwa hingga 2036, angka kehilangan hutan tanah papua akan mencapai 4,5 juta Ha dari total luas hutan Papua dan Papua Barat yaitu 33.710.523,22 Ha (BPS, 2019). Angka taksiran tersebut akan bertambah pesat jika DOB sudah terbentuk. Lalu berapa juta Ha hutan Papua yang akan hilang jika pembangunan sudah dilakukan di beberapa DOB tersebut dan siapa yang akan peduli terhadap ini ?

Jika DOB ini memang perlu direalisasikan maka perlu adanya keterkaitan dan kolaborasi antara pemerintah dan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang research and development yang memiliki peran penting untuk menangani hal ini. 

Sesuai dengan hukum yang berlaku terlebih bahwa di pulau Papua sendiri adalah daerah otonom yang memiliki hukum adat, kemudian harus sesuai dengan neraca alam dan daya dukung dari bentang alam dan lahan sehingga tataguna lahan terorganisir dengan baik yang nantinya dapat berorientasi kepada proses berkelanjutan. Karena seyogyanya dalam pembangunan perlu memperhatikan 3 pilar keberlanjutan yaitu stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan yang dapat direalisasikan jika mempertimbangkan tiga aspek yaitu Ekonomi, Sosial dan Lingkungan (ecology). Secara umum, selama ini hanya dua aspek yang selalu diutamakan yaitu ekonomi dan sosial. Padahal ada yang tak kalah lebih penting dari kedua aspek tersebut yaitu lingkungan (ecology).

Oleh karena itu, pembangunan perlu mengarah untuk berkelanjutan karena pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia baik dari generasi sekarang maupun yang akan datang, tanpa mengeksploitasi penggunaan sumberdaya alam yang melebihi kapasitas dan daya dukung lahan. Jika eksploitasi dibiarkan begitu saja maka pembiaran menjadi resep untuk mengundang sikap tak peduli dan dampaknya terjadi pengrusakan. Sebab membiarkan pengeksploitasian adalah langkah yang akan merugikan dan pembiaran akan menyisahkan efek yang lama untuk disembuhkan dan untuk penyembuhannya pasti tidak bisa dipulihkan secara sempurna seperti sediakala karena selalu ada cacat yang membekas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun