Pada era perkembangan zaman saat ini sebuah negara selalu mementingkan keberadaan warga negara mereka. Warga negara menjadi penting di suatu negara karena bisa berdampak pada kestabilan populasi hingga sektor-sektor yang berkaitan dengan sumber daya manusia di masa yang akan datang. Jumlah warga negara selama masih terjadi perkawinan dan kelahiran, maka mereka akan terus mengalami perkembangan. Ada kalanya jumlah warga negara menjadi masalah nasional. Angka kelahiran yang rendah bisa menjadi permasalahan di negara sehingga di Jepang muncul sebuah fenomena yang disebut dengan shoushika. Jepang terus menghadapi penurunan jumlah kelahiran anak dan terjadi peningkatan pertumbuhan penduduk lanjut usia. Hal tersebut, menjadi tantangan serius yang wajib dihadapi Masyarakat Jepang untuk mempertahankan populasi.
Fenomena shoushika mondai{}adalah istilah yang disebut menurunnya angka kelahiran di Jepang. Shoushika berarti berkurangnya jumlah anak, dan mondai berarti masalah. Dapat diartikan bahwa shoushika mondai merupakan sebuah permasalahan yang mebuahkan  perubahan jumlah angka kelahiran anak yang mengalami penurunan. 11Shoushika adalah angka kelahiran yang terus menurun, sehingga antara generasi satu dengan generasi yang lain kehilangan populasi pengganti [Kono, 2007:1].
Menurut Kementerian Kesehatan Jepang, pada tahun 2022 mengatakan angka kelahiran di Jepang kembali menurun hingga mencapai rekor terendah. Rendahnya Tingkat kelahiran telah terjadi selama tujuh tahun berturut-turut. Pemerintah menandai krisis yang mengancam Jepang ketika jumlah populasi menyusut dan menua dengan cepat. Berdasarkan data statistic tahun 2009, terjadi peningkatan tajam penduduk yang berusia lanjut. Tingkat usia lanjut [penuaan] negara Jepang dianggap lebih tinggi dari pada negara lain, karena dikenal sebagai negara dengan persentase warga lanjut usia tertinggi. Dengan terjadinya peningkatan jumlah lansia ini, mengakibatkan Jepang didominasi oleh penduduk lansia yang tidak lagi produktif dan menyebabkan ketidak stabilan rasio populasi.
Fenomena shoushika menarik untuk digali karena perkembangannya yang cukup pesat hingga dampaknya yang cukup besar. Jepang dengan angka harapan hidup yang cenderung tinggi, tetapi terdapat permasalahan mengenai angka kelahiran yang anjlok. Jepang yang sudah dikenal menjadi negara maju, ternyata saat ini berhadapan dengan masalah kependudukan yang sangat kritis. Penurunan persentase secara berlebihan yang dialami oleh Jepang perlahan semenjak tahun 1920, akan tetapi pada masa berakhirnya baby boom terjadi ketika para prajurit yang kembali dari perang, melangsungkan pernikahan yang tertunda tahun 1947 sampai tahun 1949 menjadikan penurunan yang penting. Setelah baby boom kedua tahun 1975 yaitu 1,91 kemudian turun secara perlahan, kemudian pada tahun 1989 angka TFR Jepang 1,57. Pada tahun 2005 angka TFR Jepang semakin menurun hingga 1,26 dan pada tahun 2010 angka TFR Jepang naik. Hal ini menandakan semakin sedikitnya jumlah anak yang dilahirkan Masyarakat Jepang.
   Faktor penyebab rendahnya tingkat kelahiran pada sekitar tahun 1920
Pertama, keinginan untuk membatasi kelahiran di antara masyarakat terjadi setelah kalah dari perang. Menguatnya keinginan hal tersebut karena alasan ekonomi. Kedua, ditetapkannya "yuuseihogo" tahun 1948 dimana pada saat itu aborsi menjadi perbuatan yang sah untuk dilakukan. Ketiga, pada tahun 1953 dibuat rincian pokok pelaksanaan pengaturan fertilisasi bertujuan untuk menjaga si ibu oleh Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, yang sekarang dikenal dengan istilah KB [keluarga berencana].
  Faktor penyebab shoushika di Jepang
Bankonka menurunnya jumlah anak yang dilahirkan menjadi salah satu yang menyebabkan tingginya usia yang belum menikah yaitu penundaan usia menikah. Hal ini dikarenakan banyaknya wanita Jepang yang lebih mementingkan pekerjaaan mereka, memilih untuk meneruskan karier terlebih dahulu dibanding menikah. Akibatnya terjadi keterlambatan melakukan pernikahan sehingga menghasilkan dampak buruk pada tingginya infertilitas yang menimpa pasangan di Jepang. Pada tahun 2020, jumlah pernikahan yang terdaftar di Jepang menurun sebanyak 12,3%. Hanya terdapat 525.490 pasangan Jepang yang menikah [Statustical Handbookof Japan, 2021]. Mikonka terjadi penundaan usia menikah wanita dari sebelumnya menjadi 29,4 tahun untuk wanita dan pria pada usia 31 tahun dan banyaknya dari kaum muda Jepang yang belum menikah. Sejak tahun 1955-2020 peningkatan usia rata-rata pernikan pertama untuk pada pria adalah 2,2 tahun sedangkan wanita 2,4 tahun. Apabila semakin banyak Masyarakat Jepang yang melakukan penundaan pernikahan, maka Jepang akan selalu menghadapi penurunan pada jumlah kelahiran dan kenaikan pada penduduk usia lanjut.
Gerakan kogakurekika menyebabkan meningkat atau majunya pendidikan pada wanita. Para wanita banyak yang bekerja disusul dengan membaiknya ekonomi yang didapat dari hasil pekerjaanya sendiri. Dengan pendidikan yang lebih tinggi, membuat lebih banyak Perempuan memperoleh upah yang sama dengan pria. Kehidupan yang telah membuat mereka puas, memilih untuk hidup sendiri dibandingkan dengan perasaan tanggung jawab yang akan ditempuh nanti apabila menikah menyebabkan berubahnya kesadaran kaum muda terhadap berumah tangga.
Pandangan wanita terhadap alasan berkurangnya tingkat kelahiran di JepangÂ
1. Mengasuh atau membesarkan anak memerlukan biaya yang besar.Â
Wanita di Jepang merasa enggan untuk punya atau menambah anak karena tingginya biaya untuk mengasuh anak. Walaupun pemerintah Jepang akan memberikan dukungan untuk membantu mereka bagi pasangan yang ingin memiliki lebih lebih banyak anak, tetapi banyak dari mereka tidak terlalu percaya pada politisi. Memiliki anak membutuhkan pertimbangan yang cukup besar  bagi pasangan menikah di Jepang. Banyak pasangan di Jepang yang telah menikah tapi mereka memilih untuk menunda, pasangan memerlukan persiapan ekonomi yang cukup memadai.
2. Mahalnya biaya pendidikan anak
Selain biaya membesarkan anak mahal, biaya pendidikan di Jepang juga tinggi. Orang tua di Jepang harus membayar biaya pendidikan di tiap angkatan.
3. Mengganggu pekerjaan
Orang Jepang kurang bisa mengimbangi anatar pekerjaan dengan pengasuhan anak. Mereka selalu berfokus kepada dunia karier yang digeluti hingga tidak bisa meluangkan waktu pada anak. Hal tersebut membuat mereka merasa bahwa merawat anak nantinya akan mengganggu pekerjaan mereka.
4. Tingginya infertilitas di Jepang
Infertilitas merupakan gangguan kesuburan yang dapat terjadi pada pria maupun wanita. Sebanyak 13,1% secara fisik tidak bisa melahirkan anak. Biasanya infertilitas terjadi pada wanita karena pertambahan usia. Meningkatnya jumlah usia yang menunda pernikahan membuat banyak pasangan yang menikah terlambat . Akibatnya terjadi infertilitas yang menimpa pasangan terlambat menikah. Hal ini menyebabkan jumlah kelahiran di Jepang menurun.
Fenomena shoushika mondai atau masalah menurunnya jumlah anak di Jepang yang telah terjadi selama bertahun-tahun menyebabkan ketidakstabilan pada penduduk Jepang. Masalah menurunnya tingkat kelahiran menyebabkan meningkatnya jumlah kaum lansia yang membuat berkurangnya jumlah anak, kaum muda di Jepang. Shoushika disebabkan tingginya usia menikah masyarakat Jepang. Dapat dilihat juga bahwa peningkatan yang terjadi pada usia rata-rata menikah yang mempengaruhi kesuburan para pasangan Jepang.Â
Di samping itu, semakin banyak wanita yang bekerja, tingginya biaya asuh dan pendidikan anak, menimbulkan keengganan wanita untuk menikah atau punya anak. Semakin sedikit jumlah kelahiran di Jepang, semakin sedikit juga penduduk kaum produktif yang akan menjadi penerus negara.
Daftar Pustaka
Dwi, Jayanti. (2010). Fenomena Wanita Pekerja Yang Berdampak Pada Masalah Shoushika () di Jepang. Skripsi Sarjana, Universitas Darma Persada.
Dhimas, Nugroho., Fitri, A., Alfizal, K., Elin, S. (2022). Tren Childfree dan Unmarried di kalangan Masyarakat Jepang. COMSERVA: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, 1.(11), 1026-1028
Linda, Unsriana. (2014) Perubahan Cara Pandang Wanita Jepang Terhadap Perkawinan dan Kaitannya dengan Shoushika. Humaniora, 5(1), 341-348.
Mayang, Terapulina., Ihsan, H., Maudyta, D., Qotrun, A., Nur, S. (2021) Fenomena Shoushika: Analisis Kebijakan Pemerintah Jepang Pada Era Kepemimpinan Shinzo Abe. TransBorders, 4 (2) 97-104.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H