Mohon tunggu...
Riska Y. Imilda
Riska Y. Imilda Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

IG: riskayi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Dilema Tukang Koran

1 Agustus 2017   03:38 Diperbarui: 4 Agustus 2017   19:20 1544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setapak masih kujejaki dengan perlahan terkadang kaki kecil ini sedikit menghempas krikil di jalanan. Sisa koran hari ini masih sekira setumpuk aku eratkan di dada yang mulai sesak akan teriknya matahari. Ditambah kerongkongan yang terasa akan putus karena haus. Kurobek beberapa halaman koran yang sengaja kugunakan untuk menghapus cucuran keringat yang mulai mengalir ke tubuh.

Sejenak, aku terhenti dan terduduk di tepi bantaran kali kecoklatan yang dipenuhi dengan apungan sampah-sampah. Kupandangi koran-koran yang hanya terjual beberapa saja. Ah, kenapa sepi sekali pembeli koran hari ini. Sudah tidak tertarikkah dengan untaian kata-kata di kertas buram ini. Sudahlah lupakan saja. Seribu.. Dua ribu.. Lima ribu.. Duabelas ribu.. Aku susun rapih setiap helai rupiah ini dan kusimpan di saku kemeja lusuh yang kukenakan.

***

Selayaknya malam-malam terdahulu, tak begitu berbeda pada gelapnya malam kini. Sedikit beras aku tanak tadi pagi, masih menyisakan semangkuk nasi dan lauk adalanku, tahu goreng yang sengaja aku beli sekembalinya dari menjajakan koran.

"Han, kau sudah makan?" aku terperanjat, ketika seseorang datang dari gubuk reot ini.

"Hari ini lupa membali makan, bolehlah saya minta sedikit, " pinta manusia yang memang rutin memohon berbagi jatah makanku dengannya. Aku kesal. Dikemanakan uang hasil kerjanya, selalu saja beralasan tak punya uang, tak sempat membeli dan ratusan alibi yang dia kemukakan.

Suap, dua suap ia melahap cepat tahu gorengku. Rasanya ingin menangis, jerih payahku hari ini tak sempat kunikmati. Rasanya aku ingin mengupat kasar depan lelaki betubuh tambun ini. Persetan kau! Tapi niat tersebut aku tiup sejauh mungkin, hingga hati kesalku mulai mereda.

"Makanlah dengan perlahan.. Tak baik terburu-buru," ucapku sembari menyuap nasi besar-besar ke mulutku.

Andai saja, beberapa tahun yang lalu aku berdamai dengan ayah tiriku dan tetap bersekolah. Tak kan seperti ini jadinya. Seharusnya dulu aku tulikan saja telingaku pura-pura tak mendengar kata kasar yang setiap harinya terlontar dari lelaki itu. Tetapi dengan tegas aku meninggalkan rumah tanpa pamit dan berlari ke pulau nun jauh dari asalku.

Tidur beralaskan tikar bekas buangan masyarakat,  rumah berdinding kardus,  beratapkan sehelai asbes yang kutemukan di tumpukan pembuangan sampah. Aku meringkuk dalam selimut kain putih yang telah berubah warna menjadi hitam legam. Kain ini cukup berharga,  inilah satu-satunya harta warisan yang aku punya dari almarhum ibuku. Ibuku telah berpulang ke haribaan dengan meninggalkan anak kandungnya bersama ayah tiri yang menghidupi dirinya saja susah.

***

Tepat pukul 07.00 daerah Parahiyangan,  aku kembali berdiri disetiap lampu merah.  Menawarkan kesetiap penjuru kendaraan yang ada di jalanan. Sasaran empukku ialah mobil-mobil sedan mengkilap. Biasanya mereka tersebut akan membeli jenis koran yang setingkat tinggi dengan harga merajai dibandingkan koran-koran lainnya. Tak jarang juga aku berdiri disetiap bus-bus besar,  kesempatan ku lumayan juga, terlebih penumpang yang didominasi mahasiwa. Terkadang mereka memiliah beberapa koran yang menarik dan merogoh beberapa uang receh untuk membeli salah satu jenis koran yang kupegang.

"Koran... Koran,"

"Koran bu, pak koran, ini edisi terbaru.  Beritanya masih hangat sekali,"

Aku besandar didinding bus,  masih penuh harap agar ada yang membeli koranku. Aku melamun melihat hiruk pikuk manusia dalam bus ini. Mereka penuh tapi sangat sibuk dengan sebuah benda ajaib di tangannya. Layar dan disentuh dengan lembut melalui tangan-tangan mulus jauh dari penyakit kapalan itu.  Aku masih menatap, sudah hampir sebulan ini, hasilku menurun sangat-sangat drastis.

"Hey dik," bahuku dipegang seorang bapak-bapak berpakaian necis kantoran lengkap dengan tas yang dijinjingnya. Aku menoleh tepat dihadapan wajahnya.

"Berhenti sajalah menjual koran, " katanya singkat,  tapi kata-kata itu langsung otomatis membuat hatiku bergetar.

"kenapa pak? Ini penghidupan saya,  tak mungkin berhenti. Makan dari mana saya nanti," ucapku dengan tersenyum getir.

"Kembalilah ke bangku sekolahmu,"

Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Jangankan sekolah pak, hari ini aku masih bisa mengisi lambung saja sudah syukur. Ucapku dalam hati.

"Kau tahu bahwa berita-berita yang ada didalam kertas itu sudah terkupas dan terpapar jelas di dalam benda ini, " tambah lelaki itu sembari mengangkat benda miliknya.

Mataku terbelalak. Ah mana mungkin, pikirku. Hatiku tergerak untuk bertanya. Tetapi sudahlah, aku harus beranjak pergi dari bus ini. Dengan menundukkan kepalakl, sedikit membungkuk hormat kepada lelaki kantoran itu.

***

"Gimana Han, kau laku banyak?" tanya Rian saat aku menyeruput es teh manis hasil dari ngebon dulu ke warteg yang biasa kuhampiri.

"Ah semakin menurun saja Yan,"

"Sudah lama Han menurunnya, negara kita sudah maju tak butuh kertas-kertas buram itu lagi, aku saja ingin menjadi kuli angkut di pasar saja. Lebih jelas upahnya"

Aku tetap diam,  mencerna kata-kata Rian yang mengingatkan ku pada kata terakhir dari bapak yang aku jumpai di bus beberapa hari yang lalu.

"Kalau kau tetap bertahan menjual koran yaah silakan tapi aku yakin selang beberapa hari kedepan kau tak akan bisa mencerna nasi putih lagi, "

"Segitu parahnya yaa? " tanyaku bertanya-tanya.

"Iyaa kau tahu,  uang setoran sedikit pasti upahpun begitu. Kau juga harus tahu bahwa sang perusahan koran ini telah mengganti versi terbaru. Namanya koran unline apa line.Ah aku lupa lagi apa yaa julukannya"

"Jadi koran di hapuskan? "

Aku masih saja tak mengerti. Pemikiranku bertolak belakang dengan ditiadakan koran.

"Yaa tidak dihapuskan, tapi produksinya berkurang. Banyak mereka yang biasa baca koran beralih ke benda layar sentuh yang tak kita miliki Han. Beginilah nasib orang-orang tertinggal seperti kita,"

Tertinggal. Aku sudah menjadi manusia yang tertinggal akan keadaan. Tertinggal dari semua segi dalam negara yang selalu bergerak dengan perubahan. Aku yang tidak mengerti akan bangku sekolah,  bahkan tak tahu apa penyebab menipisnya upahku akhir-akhir ini. Aku tertinggal dari dunia yang selalu menawarkan kecanggihan. Sangat disayangkan otakku tak sampai menyentuh perubahan. Aku tak berpendidikan...

"Han, Han.. Han kenapa melamun? Gimana masih mau dagang koran?

Aku tak bisa menjawab. Otakku bertanya-tanya siapa yang patut disalahkan dari sebuah perubahan. Kecanggihankah? Apakah koran yang ditinggalkan menjadi solusi dari sebuah kecanggihan?  Aku tak tahu. Harus berhentikah dari pekerjaan ini atau tidak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun