***
"Gimana Han, kau laku banyak?" tanya Rian saat aku menyeruput es teh manis hasil dari ngebon dulu ke warteg yang biasa kuhampiri.
"Ah semakin menurun saja Yan,"
"Sudah lama Han menurunnya, negara kita sudah maju tak butuh kertas-kertas buram itu lagi, aku saja ingin menjadi kuli angkut di pasar saja. Lebih jelas upahnya"
Aku tetap diam, Â mencerna kata-kata Rian yang mengingatkan ku pada kata terakhir dari bapak yang aku jumpai di bus beberapa hari yang lalu.
"Kalau kau tetap bertahan menjual koran yaah silakan tapi aku yakin selang beberapa hari kedepan kau tak akan bisa mencerna nasi putih lagi, "
"Segitu parahnya yaa? " tanyaku bertanya-tanya.
"Iyaa kau tahu, Â uang setoran sedikit pasti upahpun begitu. Kau juga harus tahu bahwa sang perusahan koran ini telah mengganti versi terbaru. Namanya koran unline apa line.Ah aku lupa lagi apa yaa julukannya"
"Jadi koran di hapuskan? "
Aku masih saja tak mengerti. Pemikiranku bertolak belakang dengan ditiadakan koran.
"Yaa tidak dihapuskan, tapi produksinya berkurang. Banyak mereka yang biasa baca koran beralih ke benda layar sentuh yang tak kita miliki Han. Beginilah nasib orang-orang tertinggal seperti kita,"