Mohon tunggu...
Riska Y. Imilda
Riska Y. Imilda Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

IG: riskayi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Dilema Tukang Koran

1 Agustus 2017   03:38 Diperbarui: 4 Agustus 2017   19:20 1544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tepat pukul 07.00 daerah Parahiyangan,  aku kembali berdiri disetiap lampu merah.  Menawarkan kesetiap penjuru kendaraan yang ada di jalanan. Sasaran empukku ialah mobil-mobil sedan mengkilap. Biasanya mereka tersebut akan membeli jenis koran yang setingkat tinggi dengan harga merajai dibandingkan koran-koran lainnya. Tak jarang juga aku berdiri disetiap bus-bus besar,  kesempatan ku lumayan juga, terlebih penumpang yang didominasi mahasiwa. Terkadang mereka memiliah beberapa koran yang menarik dan merogoh beberapa uang receh untuk membeli salah satu jenis koran yang kupegang.

"Koran... Koran,"

"Koran bu, pak koran, ini edisi terbaru.  Beritanya masih hangat sekali,"

Aku besandar didinding bus,  masih penuh harap agar ada yang membeli koranku. Aku melamun melihat hiruk pikuk manusia dalam bus ini. Mereka penuh tapi sangat sibuk dengan sebuah benda ajaib di tangannya. Layar dan disentuh dengan lembut melalui tangan-tangan mulus jauh dari penyakit kapalan itu.  Aku masih menatap, sudah hampir sebulan ini, hasilku menurun sangat-sangat drastis.

"Hey dik," bahuku dipegang seorang bapak-bapak berpakaian necis kantoran lengkap dengan tas yang dijinjingnya. Aku menoleh tepat dihadapan wajahnya.

"Berhenti sajalah menjual koran, " katanya singkat,  tapi kata-kata itu langsung otomatis membuat hatiku bergetar.

"kenapa pak? Ini penghidupan saya,  tak mungkin berhenti. Makan dari mana saya nanti," ucapku dengan tersenyum getir.

"Kembalilah ke bangku sekolahmu,"

Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Jangankan sekolah pak, hari ini aku masih bisa mengisi lambung saja sudah syukur. Ucapku dalam hati.

"Kau tahu bahwa berita-berita yang ada didalam kertas itu sudah terkupas dan terpapar jelas di dalam benda ini, " tambah lelaki itu sembari mengangkat benda miliknya.

Mataku terbelalak. Ah mana mungkin, pikirku. Hatiku tergerak untuk bertanya. Tetapi sudahlah, aku harus beranjak pergi dari bus ini. Dengan menundukkan kepalakl, sedikit membungkuk hormat kepada lelaki kantoran itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun