Mohon tunggu...
Riska Y. Imilda
Riska Y. Imilda Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

IG: riskayi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hilang Tulisan, Hilanglah Peradaban

28 April 2017   21:58 Diperbarui: 29 April 2017   16:00 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Pergolakan bahkan perdebatan selalu terjadi dalam dunia kesusasteraan, banyak  tidak mengetahui bahwa sastra merupakan bagian dari sejarah yang terlupakan. Indonesia merupakan salahsatu negara yang terbilang masih bungkam akan perkembangan sastra. Dunia sastra adalah dunia yang membutuhkan kejujuran dalam setiap rangkaian-rangkaian kata-katanya. Menyangkut kembali relasi antara sastra dengan sejarah bangsa, sejak Pra kemerdekaan banyak sastrawan pribumi yang memiliki kualitas kognitif dan emosional kritis, mengkritik bangsa ini melalui setiap bait-bait kalimat mendalamnya.

            Kalimat-kalimat sadistersebut seperti akanmembunuh setiap perlakuan, kelakuan bahkan tingkah laku pada masanya. Teks dalam aneka tulisan tersebut melahirkan paradigma disetiap lapisan masyarakat. Tulisan dapat mengubah segalanya, melalui karya goresan dan pemikiran sang penyair, penulis bahkan banyak jenis dari satrawan membuktikan kepada dunia. Dengan sastra dunia menjadi hidup. Sastra berbicara dalam keadaan diam, namun bergerak tanpa perpindahan. Perumpamaan yang sangat ambigu bertumpuk-tumpuk bahkan tak masuk akal dan logika. Sastra tidak tampak jika seseorang tidak mendalaminya, dunia sastra adalah dunia yang penuh akan pemahaman. Apabila, kita belajar bersumber pada filsafat untuk mengetahui dan mengkaji semua ilmu pengetahuan di muka bumi ini dalam proses mencari jati diri dan menemukan siapa diri kita sebenarnya. Dan melalui filsafat kita akan menemukannya, kendati dengan sastra bukan hanya kita dapat memahami diri sendiri melainkan keadaan orang lain secara utuh kita memahaminya.

            Penjelasan yang mungkin berbelit-belit sudah saya coba jelaskan dalam prolog diatas, membahas sastra sepertinya tak ayal kita akan mengenal berbagai karya seperti, puisi, sajak, cerpen dan lain-lain. Sastra berkembang dan selalu mengalami perubahan sesuai dengan zamannya, dimana dipengaruhi oleh pemikiran yang dominan serta dampak yang ditimbulkan kepada masyarakat pada zaman itu. Saya ambil contoh saja, sastrawan Indonesia angkatan 45 seperti Chairil Anwar dengan puisi ”Aku”menceritakan keadaan dimana sosok seseorang yang terpuruk pada masa itu, di negeri sendiri tetapi menjadi budak dengan jajahan negeri asing. Pada angkatan 45 para sastrawan mengkisahkan segala dan mencurahkan kritisi mereka keluh kesah dengan puisi-puisi penentang. Belum lagi, pada masa angkatan 66 dimana sekumpulan sastrawan masa ini membentuk dan menerapkan apa yang di cita-citakan oleh Soekarno mendukukung perkembangan sastra. Puisi tentang keadilan dan kebenaran  menjadi bahan utama pada setiap ide-idenya.

            Puisi penentang ketidakadilan dan ketidakbenaran datang dari penyair muda W.S Rendra dengan judul “ Bersatulah Pelacur-pelacur Jakarta”kritikan pedas dia sampaikan pada setiap baitnya. Pembelaan ia tunjukkan kepada para pelacur bahwa ketidakadilan tersebut datang dari tangan-tangan busuk yang memberikan santunan tetapi hasil dari mereka melakukan kekejian. Puisi yang memberikan teguran keras terhadap pejabat-pejabat bangsa, apalagi kalau bukan untuk menyadarkan setiap elemen-elemen pemerintahan bahwa ada sebagian orang yang harus menerima rasa malu tidak tertahankan lahir batinnya akibat perbuatan kotor tersebut. Puisi ini menggambarkan sekali bahwa sastra itu jujur apa adanya, manusia berani memfitrahkan diri pada sastra akan mengenal pribadi dirinya. Melalui tulisan tersebut, sastra tak dapat berbohong sekalipun itu berbohong jelas itu bukan sastra.

            Seorang sastrawan, yang menulis semua bentuk karya sastra (novel, cerpen, puisi dan naskah drama) bernama Millian Kundera, dalam kumpulan esainya yang berjudul The Art of Novel(1986) ia mengatakan bahwa sastra merupakan sebuah aspek moralitas dunia dan sangat berperan di dunia sosial. Sastra berperan dalam pembentuan moralitas dunia. Tulisan-tulisan yang tertuang dalam karya sastrawan mendeskripsikan moral-moral bahkan perilaku-perilaku manusia terhadap dunia. Sastra bercerita tentang sang penulis dan mengungkapkan yang dilihat sang penulis. Jelas sekali, moral-moral yang terjadi dapat terlihat. Tanpa sedikitpun meleset puisi-puisi pemberontakan memang benar adanya sesuai dengan kehidupan. Alasan terbesarnya adalah ada makna dibalik kata. Pemaknaan juga menjadi prioritas utama sebuah karya, karena karya tersebut diterbitkan atau dibuat pasti memiliki tujuan dan maksud tertentu.

            Tulisan memang memberikan pengaruh yang besar terhadap peradaban suatu tempat ataupun negara. Karena dengan tulisan suatu rekaman yang dapat diwariskan kepada setiap generesai-generasi mendatang. Kita dapat melihat sebuah negara peradaban terbesar di dunia, dimana arsip-arsip ilmu pengetahuan terkumpul disana dan menjadi sumber setiap negara untuk mempelajarinya. Yunani, siapa yang tidak kenal dengan para filsuf Yunani sebut saja Aristoteles, Plato, Socrates. Mereka tumbuh di negara peradaban dimana negara tersebut telah menyusun rapih dan mendokumenkan setiap hasil karya-karya para fisafat terdahulu untuk menjadikan cika bakal ilmu pengetahuan.

Melirik dan menelisik kembali di Indonesia, bagaimana kita dapat mengetahui adanya Kerajaan Majapahit yang terkenal dengan prajurit Gajamada dimana ia memiliki cita-cita besar untuk menyatukan nusantara, bagaimana kita dapat mengenal ada sebuah kerajaan islam di sebuah tempat yang sampai sekarang masih mendapatkan julukan Serambi Mekkah dan bagaimana kita dapat mengerti bahwa Indonesia pernah menjadi pusat pembelajaran ilmu pengetahuan yang besar melalui Kerajaan Sriwijaya, yang dimana sebagai kerajaan Budha terbesar pada masa itu. Tanpa sebuah bukti, melalui karya-karya tulisan yang pernah terabadikan masa lalu. Melalui prasasti dan kitab-kitab yang tertulis ditemukan, kita dapat mengenal, mengetahui dan mengerti bahwa Indonesia memiliki sebuah peradaban sudah terbentuk sejak dahulu kala.

Karya-karya diatas terindefendesi satu sama lain dalam sebuah tulisan dan  tulisan menceritakan bagaimana proses dan perkembangannya.  Melalui sebuah tulisan masyarakat tidak buta terhadap sejarah bangsanya. Kita mengenal, tulisan saat mengenyam pendidikan dasar sekali, bahkan kita diajarkan menulis terlebih dahulu daripada membaca. Dengan tulisan segala sesuatu dapat dipahami, kita dapat mengeja, membaca, dan berbicara dengan baik. Menulis menguji setiap syaraf otak kita bergerak. Karena pada saat kita menulis, semua syaraf kita bekerja dan tidak mati, dimulai saat kita berfikir tentang ide apa yang akan kita tulis, menggerakan jari-jari kita, mengolah ingatan kita dan dituangkan kembali kedalam tulisan.

Mengapa saya berbicara banyak tentang tulisan disini, karena sastra tidak lepas dari tulisan. Jika kita mendalami dunia sastra, pasti kita akan mengenal dunia membaca yang tak pernah dapat dipisahkan. Sastra lahir juga melalui pergerakan mata, pembendaharan kata-kata yang ditangkap cahaya dan terekam dalam otak. Melahirkan kata-kata baru kembali di atas kertas.

Dan pertanyaan penuh tanda tanya, bagaimana perkembangan sastra sekarang? Terutama di negeri kita, apakah ada sastrawan terkenal dan sekritis seperti Chairil Anwar dan W.S rendra? Apakah ada sastra perempuan yang melahirkan kata-kata kejujuran seperti Toeti Herarty, melalui puisi-puisi nya ia menyampaikan sebuah kejujuran sebagai seorang perempuan. Apakah ada penulis perempuan seperti Kartini dengan buku “Habislah Gelap Terbitlah Terang”?. Jawabannya adalah pikiran yang melintas di pemikiran kita.  Kita amati dunia ini, sastra mulai meredup. Hanya segelintir orang yang mengabadikan keluh kesahnya melalui tulisan. Hanya sedikt orang yang dapat membaca keluh kesahnya sendiri.

Terlihat di ligkungan Kampus kita, UIN SGD Bandung. Bisa tanyakan kepada para mahasiswanya berapa karya tulisan yang pernah kau buat, dan hanya sekian persen dalam intensitas tak sampai 50 %  bahwa mahasiswa buta terhadap sastra. Lebih tepatnya buta akan tulisan dan tertutup matanya akan membaca buku. Dan peradaban yang lahir di lingkungan Kampuspun tidak berkembang begitu pesat. Alasan terbesarnya, karena mahasiswa tidak ingin mengabadikan keluh kesah dan ilmu pengetahuan dalam bentuk hasil karya. Maka dari itu, karya-karya yang diberikan mahasiswa terhadap kampus pun hampir tidak ada buktinya. Sangat terlihat sekali budaya yang lahir di kampus kita adalah budaya protes tapi tak berkelas sebagai seorang inteletual. Berkoar melalui toak, meneriaki ketidakadilan, tetapi menghindari tanggungjawab. Rela demonstrasi yang tak jelas dan mengabaikan perkuliahan. seperti “Tong Kosong nyaring Bunyinya”. Tidak ada isi yang dapat disampaikan dan hanya berteriak saja, hanya ingin terlihat pemberontak. Karena belum demonstrasi bukan mahasiswa namanya. Itu ungkapan yang mungkin tak asing lagi di telinga kita bukan?

Bukan untuk menceramahi orang-orang yang gemar akan protes, tetapi untuk mendukung perkembangan sastra Indonesia. Saya mengkerucutkannya dalam lingkup kampus kita sendiri. Budaya menulis telah sepi dalam kesemrawutan kampus, dan budaya membaca teleh hening dalam kebisingan suara kendaraan yang memenuhi parkiran, sampai tak ada ada lagi lahan untuk berjalan kaki karena disesaki kendaraan. Karena menulis tak lagi menjadi budaya, dan sentuhan terhadap layar yang membuat kita menunduk setiap harinya menjadi budaya baru. Belum posting foto terbaru dan belum update kata-kata bullshitdi media sosial, pasti belum kekinian. Dan karena duduk di perpustakaan, berdiam diri membaca dan menulis adalah sosok “sok pintar”.

Terdiam lirih, menanggapi setiap perubahan dan mulai menghilangkan peradaban di dunia yang serba canggih ini. Mungkin saja beberapa puluh tahun yang akan datang, kita akan kembali lagi pada masa dimana belum mengenal tulisan dan memulai kembali peradaban. Karena tiadanya sastra sebagai bukti sejarah untuk peradaban. Tiada Sastra akan lahir Tiada Tulisan dan beranak Tiada Peradaban, karena tiada peradaban menghilanglah dunia  serta kembali pada masa ketidaktahuan!

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun