Bukan untuk menceramahi orang-orang yang gemar akan protes, tetapi untuk mendukung perkembangan sastra Indonesia. Saya mengkerucutkannya dalam lingkup kampus kita sendiri. Budaya menulis telah sepi dalam kesemrawutan kampus, dan budaya membaca teleh hening dalam kebisingan suara kendaraan yang memenuhi parkiran, sampai tak ada ada lagi lahan untuk berjalan kaki karena disesaki kendaraan. Karena menulis tak lagi menjadi budaya, dan sentuhan terhadap layar yang membuat kita menunduk setiap harinya menjadi budaya baru. Belum posting foto terbaru dan belum update kata-kata bullshitdi media sosial, pasti belum kekinian. Dan karena duduk di perpustakaan, berdiam diri membaca dan menulis adalah sosok “sok pintar”.
Terdiam lirih, menanggapi setiap perubahan dan mulai menghilangkan peradaban di dunia yang serba canggih ini. Mungkin saja beberapa puluh tahun yang akan datang, kita akan kembali lagi pada masa dimana belum mengenal tulisan dan memulai kembali peradaban. Karena tiadanya sastra sebagai bukti sejarah untuk peradaban. Tiada Sastra akan lahir Tiada Tulisan dan beranak Tiada Peradaban, karena tiada peradaban menghilanglah dunia serta kembali pada masa ketidaktahuan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H