Mohon tunggu...
Riska Eka Agustina
Riska Eka Agustina Mohon Tunggu... Administrasi - Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan

Statistisi Ahli

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memotret Fenomena Pekerja Anak

9 September 2022   08:01 Diperbarui: 11 September 2022   13:45 1000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Tiga anak yang masih mengenakan seragam sekolah mengemis di Jalan Asia Afrika, Jakarta, Rabu (19/3). Pengemis anak masih banyak dijumpai di tempat-tempat umum dan jalanan di Ibu Kota. (Foto: KOMPAS)

Anak adalah kekayaan bangsa. Mereka sangat berharga. Anak adalah agent of change pembangunan.

Maka sudah menjadi kewajiban bagi bangsa dan orang tua untuk menjamin setiap anaknya memperoleh akses pendidikan yang layak serta peluang untuk tumbuh sehat agar kelak mampu membangun peradaban bangsa. 

Namun, apa jadinya jika waktu yang semestinya mereka gunakan untuk belajar malah mereka habiskan untuk bekerja?

Indonesia telah 77 tahun merdeka dari belenggu penjajah. Namun, bangsa ini masih perlu memerdekakan diri dari belenggu lainnya, salah satunya adalah belenggu pekerja anak. 

Pekerja anak kadang-kadang terpaksa tidak dapat melanjutkan sekolahnya karena harus ikut menopang ekonomi keluarga. Hilangnya akses terhadap pendidikan menyebabkan anak-anak memiliki daya saing dan kualitas SDM yang rendah di masa mendatang, sehingga pendapatan yang diperoleh pun rendah. 

Penghasilan yang rendah membuat mereka tetap berada pada lingkaran kemiskinan dan akhirnya mempekerjakan anak-anak mereka. Begitu seterusnya, sehingga terbentuk siklus kemiskinan dan pekerja anak yang sudah semestinya kita putus mata rantainya.

Belenggu pekerja anak masih ada sampai saat ini karena adanya pemikiran bahwa pekerjaan yang dilakukan anak merupakan salah satu bentuk pengembangan diri dan kewajiban moral terhadap keluarga. 

Tidak semua orang beranggapan bahwa setiap anak yang bekerja merupakan pekerja anak. Lalu, apa sebenarnya definisi dari pekerja anak?

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan pekerja anak sebagai semua penduduk yang berusia 5-17 tahun, yang selama jangka waktu tertentu, terlibat dalam satu atau lebih dari kegiatan kategori berikut: 

(1) bentuk-bentuk terburuk pekerja anak;
(2) pekerjaan di bawah usia minimum untuk bekerja;
(3) pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar dan berbahaya.

Di dalam laporannya, ILO dan UNICEF menyebutkan bahwa pada tahun 2020, jumlah pekerja anak di seluruh dunia adalah sebesar 160 juta jiwa, atau meningkat sebesar 8,4 juta jiwa dalam empat tahun terakhir. 

Jadi, hampir setengahnya atau sekitar 79 juta jiwa dipekerjakan pada sektor yang membahayakan keselamatan, kesehatan, dan mental mereka. 

Peningkatan yang cukup besar ini diduga sebagai akibat dari kondisi ekonomi yang semakin memburuk karena dampak pandemi covid-19.

ILO dan UNICEF pun melaporkan bahwa mayoritas pekerja anak disumbang oleh sektor pertanian, yakni sebesar 70 persen (112 juta jiwa), diikuti bidang jasa sebesar 20 persen (31,4 juta jiwa), dan industri sebesar 10 persen (16,5 juta jiwa). 

Selain itu, pekerja anak di wilayah pedesaan (14 persen) hampir tiga kali lipat dibanding wilayah perkotaan (5 persen). 

Bahkan sekitar 28 persen anak umur 5-11 tahun dan 35 persen anak umur 12-14 tahun yang menjadi pekerja anak, meninggalkan bangku sekolah. Kondisi ini sungguh memprihatinkan karena praktik pekerja anak telah merenggut masa depan mereka.

Sementara di Indonesia, pada tahun 2020 terdapat sekitar 3,25 persen anak usia 10-17 tahun menjadi pekerja anak. Persentase ini naik 0,9 persen dibanding tahun sebelumnya. 

Dan pada tahun 2021, persentasenya turun menjadi 2,63 persen. Pekerja anak di Indonesia didominasi oleh pekerja keluarga dan pekerja tidak dibayar. 

Mayoritas mereka bekerja pada sektor jasa, diikuti pertanian dan manufaktur. Persentase pekerja anak laki-laki (2,67 persen) lebih tinggi dibanding pekerja anak perempuan (2,60 persen). 

Hasil Sakernas Agustus 2021 juga menyebutkan bahwa persentase pekerja anak tertinggi terdapat di Sulawesi Tenggara (6,46 persen). Sementara Sulawesi Selatan menempati peringkat keempat (5,33 persen) setelah Kalimantan Utara (5,66 persen) dan Sulawesi Barat (5,50 persen). Sedangkan persentase pekerja anak terendah terdapat di DKI Jakarta (0,82 persen).

Sejatinya, anak bukan dilarang untuk bekerja sama sekali. Bekerja tidak selamanya buruk untuk anak-anak, bahkan dapat menyehatkan, asalkan memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh ILO. 

Standar yang diperbolehkan untuk anak yang bekerja adalah pekerjaannya ringan (kurang dari 14 jam per minggu) untuk usia 12-17 tahun, tidak berbahaya bagi kesehatan dan perkembangan anak-anak, tidak mengganggu kegiatan sekolah, dan tidak berbahaya secara alamiah, contohnya seperti melakukan pekerjaan rumah yang ringan atau melakukan pekerjaan rumah selama liburan sekolah. 

Sementara yang dimaksud dengan pekerja anak yang perlu dihindari adalah menjadikan anak sebagai pekerja tetap dengan jam kerja 14 jam atau lebih per minggu, menimbulkan bahaya fisik ataupun psikologis, serta menghambat pendidikan dan perkembangan mental atau fisik.

ILO menyebutkan bahwa keluarga yang mempekerjakan anak dalam jangka pendek akan memperoleh tambahan penghasilan, tetapi mereka mengorbankan pendapatan jangka panjang. 

Oleh karena itu, ILO menyerukan Hari Sedunia Menentang Pekerja Anak setiap tanggal 12 Juni. Komitmen masyarakat global untuk menanggulangi pekerja anak bahkan telah dilakukan sejak tahun 2002 dan diperkuat dalam SDGs Tujuan 8.7 yang berbunyi mengambil tindakan segera dan langkah-langkah efektif penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA).

Pada tahun 2025 untuk mengakhiri pekerja anak pada semua bentuk. Namun apakah tahun 2025 mendatang, dunia akan benar-benar bisa terbebas dari belenggu pekerja anak?

Aksi untuk mengakhiri pekerja anak tak akan berhasil hanya dengan melalui satu kebijakan. Namun dengan aksi yang sinergis dan terus-menerus dilakukan, tentu akan dapat memberikan hasil yang maksimal dalam penghapusan pekerja anak. 

Untuk membalikkan tren peningkatan pekerja anak, diperlukan kolaborasi antara pemerintah dengan berbagai pihak, seperti dunia usaha, lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat dalam meningkatkan pengawasan terhadap implementasi regulasi pekerja anak. 

Infrastruktur pendidikan dan guru juga perlu ditambah, terutama di wilayah-wilayah terpencil. Terkait dunia usaha, diperlukan tindakan untuk memperkuat pengawasan dan penegakan aturan di lingkup pasar kerja. 

Pemahaman orang tua dan masyarakat terhadap pentingnya pencegahan pekerja anak pun menjadi kunci untuk mengentaskan masalah pekerja anak. Masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mengurai belenggu pekerja anak di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun