Jadi, hampir setengahnya atau sekitar 79 juta jiwa dipekerjakan pada sektor yang membahayakan keselamatan, kesehatan, dan mental mereka.Â
Peningkatan yang cukup besar ini diduga sebagai akibat dari kondisi ekonomi yang semakin memburuk karena dampak pandemi covid-19.
ILO dan UNICEF pun melaporkan bahwa mayoritas pekerja anak disumbang oleh sektor pertanian, yakni sebesar 70 persen (112 juta jiwa), diikuti bidang jasa sebesar 20 persen (31,4 juta jiwa), dan industri sebesar 10 persen (16,5 juta jiwa).Â
Selain itu, pekerja anak di wilayah pedesaan (14 persen) hampir tiga kali lipat dibanding wilayah perkotaan (5 persen).Â
Bahkan sekitar 28 persen anak umur 5-11 tahun dan 35 persen anak umur 12-14 tahun yang menjadi pekerja anak, meninggalkan bangku sekolah. Kondisi ini sungguh memprihatinkan karena praktik pekerja anak telah merenggut masa depan mereka.
Sementara di Indonesia, pada tahun 2020 terdapat sekitar 3,25 persen anak usia 10-17 tahun menjadi pekerja anak. Persentase ini naik 0,9 persen dibanding tahun sebelumnya.Â
Dan pada tahun 2021, persentasenya turun menjadi 2,63 persen. Pekerja anak di Indonesia didominasi oleh pekerja keluarga dan pekerja tidak dibayar.Â
Mayoritas mereka bekerja pada sektor jasa, diikuti pertanian dan manufaktur. Persentase pekerja anak laki-laki (2,67 persen) lebih tinggi dibanding pekerja anak perempuan (2,60 persen).Â
Hasil Sakernas Agustus 2021 juga menyebutkan bahwa persentase pekerja anak tertinggi terdapat di Sulawesi Tenggara (6,46 persen). Sementara Sulawesi Selatan menempati peringkat keempat (5,33 persen) setelah Kalimantan Utara (5,66 persen) dan Sulawesi Barat (5,50 persen). Sedangkan persentase pekerja anak terendah terdapat di DKI Jakarta (0,82 persen).
Sejatinya, anak bukan dilarang untuk bekerja sama sekali. Bekerja tidak selamanya buruk untuk anak-anak, bahkan dapat menyehatkan, asalkan memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh ILO.Â
Standar yang diperbolehkan untuk anak yang bekerja adalah pekerjaannya ringan (kurang dari 14 jam per minggu) untuk usia 12-17 tahun, tidak berbahaya bagi kesehatan dan perkembangan anak-anak, tidak mengganggu kegiatan sekolah, dan tidak berbahaya secara alamiah, contohnya seperti melakukan pekerjaan rumah yang ringan atau melakukan pekerjaan rumah selama liburan sekolah.Â