c. Menolak untuk mengkafirkan orang-orang musyrik atau menyangsikan kekafiran mereka, bahkan membenarkan madzhab mereka.Â
d. Berkeyakinan bahwa petunjuk selain yang datang dari Nabi Saw lebih sempurna dan lebih baik.Â
e. Membenci sesuatu yang datang dari Nabi Saw. meskipun hal itu telah diamalkannya. Hal ini berdasar firman Allah Swt QS. Muhammad [47]: 9.Â
f. Mengolok-olok sebagian dari ajaran agama yang dibawa Nabi Saw., misalnya tentang pahala atau balasan (‘iqab) yang akan diterima di akhirat kelak. Hal ini berdasar firman Allah Swt QS. Al-Taubah [9]: 65-66.Â
g. Melakukan sihir.Â
h. Mengutamakan orang kafir serta memberikan pertolongan dan bantuan kepada orang musyrik lebih daripada pertolongan dan bantuan yang diberikan kepada umat muslim. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt. QS. Al-Maidah [5]: 51.Â
i. Berkeyakinan bahwa sebagian muslim tidak harus selalu mengikuti Nabi Saw. serta beranggapan bahwa manusia bisa dengan leluasa keluar dari syariat Nabi Saw. sebagaimana leluasanya Nabi Khidhir dari syari’at Nabi Musa as. Pemahaman ini disandarkan pada firman Allah Swt pada QS. Ali Imran [3]: 85.Â
j. Berpaling sepenuhnya dari agama Allah, baik karena ia tidak mau mempelajarinya ataupun karena tidak mau mengamalkannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt. QS. Al-Sajdah [32]: 22 Semua ini berlaku baik bagi setiap muslim, baik yang sekadar bercanda maupun tidak, baik yang dalam keadaan ketakutan ataupun tidak saat melakukannya, kecuali seorang yang tertekan atau terpaksa (mukrah). Selain daripada itu, seperti orang yang bodoh, orang yang melakukan takwil, salah dalam memahami ajaran, selama telah sampai hujjah dan tidak sedang dalam pembahasan permasalahan zahirah, maka tidak dapat selamat dari takfir.4Â
Paham keagamaann yang Muhammad bin Abdul Wahhab bawa selalu dikaitkan dengan permasalahan syirk dan bid’ah. Makna ibadah yang diusungnya selalu terikat dengan persoalan kufur dan syirik. Beberapa pelaku yang ulama masih berbeda pendapat akan penentuan kekufurannya, atau minimal masih diberi kesempatan untuk bertaubat, seperti pada persoalan penyihir, menurut hemat penulis, perlu dipertimbangkan kembali kemaslahatannya.Â
Karena dalam hal tertentu tidak selaras dengan prinsipprinsip nilai maslahah yang dijunjung tinggi oleh agama, dan tidak menutup kemungkinan akan terulang kembali sejarah kelam zaman al-fitan. Syari’ah Islam menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan (al-‘adl) dan kasih sayang (al-rahmah) terhadap ummat (Muslim), bahkan sesama manusia. Dari sini semakin mempertegas jarak antara pola pemikiran Muhammad bin Abdul WahhabÂ
2.3 Interpretasi dan Larangan Manhaj Takfir di Masa Kini dalam Pandangan IslamÂ