Perkawinan campuran
Perkawinan campuran menurut hukum adat adalah perkawinan yang terjadi diantara suami isteri yang berbeda suku bangsa, adat budaya, dan/atau berbeda agama yang dianut.Â
Dalam pasal 57 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berwarga negara Indonesia.
Perkawinan lari
Perkawinan lari dapat terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat, tetapi yang terbanyak berlaku adalah di kalangan masyarakat Batak, Lampung, Bali, Bugi/Makassar dan Maluku. Di daerah-daerah tersebut walaupun kawin lari ini merupakan pelanggaran adat, namun terdapat tata tertib cara menyelesaikan sesuai dengan hukum adat yang berlaku dalam persekutuan masyarakat.Â
Sistem perkawinan lari dapat dibedakan antara "Perkawinan lari bersama dan perkawinan lari paksaan". Perkawinan lari bersama (Belanda: Vlucht; Benkulu: selarian; Lampung; sebambungan, metudau, nakat, cakak lakei; Bali: ngerorod, melamgkat; Bugis: silariang dan Ambon: lari bini). Adalah perbuatan berlarian untuk melakanakan perkawinan atas persetujuan sigadis.Â
Cara melakukan lari bersama, atau sigadis secara diam-diam diambil atau si gadis datang sendiri ke tempat kediaman pihak bujang segalasesuatunya berjalan menurut tata tertib adat berlarian.Perkawinan lari paksaan (Belanda: shaak-hewelijk; Lampung: dibembangkan, di tekep, ditenggeng dan Bali: melangdang). Adalah perbuatan melarikan gadis dengan akal tipu atau dengan paksaan atau kekerasan, tidak atas persetujuan sigadis dan tidak menurut tata tertib adat berlarian.
Dengan adanya perbedaan bentuk hukum perkawinan adat diatas lebih disebabkan karena terdapatnya perbedaan sistem kekerabatan atau sistem keturunan yang dianut oleh masing-masing masyarakat hukum adat di Indonesia. Di kalangan masyarakat hukum adat yang menganut sistem kekerabatan "patrilineal", maka hukum perkawinan adat yang berlaku adalah bentuk perkawinan "jujur". Di daerah Batak disebut "mangoli", "beleket" di Lampung, segreh, seroh daw dan Su. Dan diSulawesi dikenal dengan "Doi Panai".
Sedangkan pada masyarakat adat yang menganut sistem kekerabatan "matrilineal" yang mempertahankan garis keturunan ibu (wanita), dalam perkawinan semenda calon mempelai pria dan kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita bentuk hukum perkawinan adat yang berlaku adalah bentuk perkawinan "semenda". Pada lingkungan masyarakat adat yang menganut sistem "parental" atau "bilateral", maka hukum perkawinan adat yang berlaku adalah bentuk perkawinan "bebas" (mandiri).
Dalam perkembangnya, beragai macam bentuk hukum perkawinan ini tumbuh bervariasi yang bermacam-macam menurut kepentingan kekerabatan yang bersangkutan yang membedakan dari sisi sosiologi dalam hukum Islam adalah adanya hubungantimbal balik antara perubahan sosial dalam bentuk perkawinan dengan penempatan hukum Islam dari sisi hukum adat yang berlaku di Indonesia. Sedangkan dari antropologi hukum Islam hanya melihat dari sisi dari segi sejarah dan keragaman fisiknya, masyarakatnya, serta kebudayaannya.Â
Oleh karena itu setiap masyarakat memiliki corak dan sifatnya sendiri, maka hukum tiap masyarakat dalam hukum adat sebagai salah satu penjelmaan geester-structur masyarakat bersangkutan merupakan perwujudan dari kebudayaan dari masyarakat itu sendiri.