Mohon tunggu...
Riska Putri
Riska Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi FKIP PPKn Universitas Pamulang

Sat Set Sat Set

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Potret Hukum Adat di Indonesia dari Sisi Sosiologi dan Antropologi Hukum Islam

4 Oktober 2022   23:40 Diperbarui: 4 Oktober 2022   23:45 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diketahui bersama susunan masyarakat adat Indonesia berbeda-beda, ada yang bersifat patrilineal, matrilineal, parental dan campuran, oleh karenanya bentuk perkawinan yang berlaku di Indonesia berbeda pula diantaranya bentuk perkawinan adalah sebagai berikut:

Perkawinan Jujur

Perkawinan jujur merupakan perkawinan dengan pemberian (pembayaran) uang (barang) jujur, pada umumnya berlaku pada masyarakat hukum adat yang mempertahankan garis keturunan bapak (patrilineal). 

Pemberian uang jujur (Gayo: unjuk; Batak: boli, Tuhor, Parunjuk, Pangoli; Nias : beuli niha ; Lampung : segreh, seroh daw, adat Timor-sawu : belis, Wellie; dan Maluku beli, wilin) dilakukan oleh pihak kerabat calon isteri, sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai wanita kelar dari kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk ke dalam persekutuan hukum suami. 

Di Sulawesi dikenal dengan "Doi Panai"Uang panai (Suriyaman Mustari Pide, 2015: 26-32).Pada umumnya, kedudukan bentuk perkawinan jujur berlaku adat "pantang cerai". Jadi senang atau susah selama hidupnya isteridibawah kekuasaan kerabat suami. Jika suami wafat maka isteri harus bersedia melakukan perkawinan dengan saudara suami. Jika sebaliknya isteri yang wafat maka suami harus kawin dengan saudara isteri.

Perkawinan Semenda

Perkawinan semenda pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang matrilineal, dengan maksud mempertahankan garis keturunan ibu (wanita). Dalam perkawinan semenda calon mempelai pria dan kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita, sebagaimana di minangkabau berlaku adat pelamaran berlaku dari pihak wanita kepada pihak laki-laki. 

Pada umumnya dalam perkawinan semenda kekuasaan pihak isteri yang lebih berperan, sedangkan suami tidak ubahnya sebagai istilah "nginjam jago"(meminjam Jantan) hanya sebagai pemberi bibit saja dan kurang tanggung jawab atas keluarga/rumah tangga.

Perkawinan bebas

Perkawinan ini pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang bersifat parental (keorangtuaan), seperti berlaku di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, Kalimantan, dan Sulawesi dan dikalangan masyarakat Indonesia yang modern. Dimana keluarga atau kerabat tidak banyak lagi ikut campur tangan dalam keluarga/rumah tangga.

Perkawinan campuran

Perkawinan campuran menurut hukum adat adalah perkawinan yang terjadi diantara suami isteri yang berbeda suku bangsa, adat budaya, dan/atau berbeda agama yang dianut. 

Dalam pasal 57 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berwarga negara Indonesia.

Perkawinan lari

Perkawinan lari dapat terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat, tetapi yang terbanyak berlaku adalah di kalangan masyarakat Batak, Lampung, Bali, Bugi/Makassar dan Maluku. Di daerah-daerah tersebut walaupun kawin lari ini merupakan pelanggaran adat, namun terdapat tata tertib cara menyelesaikan sesuai dengan hukum adat yang berlaku dalam persekutuan masyarakat. 

Sistem perkawinan lari dapat dibedakan antara "Perkawinan lari bersama dan perkawinan lari paksaan". Perkawinan lari bersama (Belanda: Vlucht; Benkulu: selarian; Lampung; sebambungan, metudau, nakat, cakak lakei; Bali: ngerorod, melamgkat; Bugis: silariang dan Ambon: lari bini). Adalah perbuatan berlarian untuk melakanakan perkawinan atas persetujuan sigadis. 

Cara melakukan lari bersama, atau sigadis secara diam-diam diambil atau si gadis datang sendiri ke tempat kediaman pihak bujang segalasesuatunya berjalan menurut tata tertib adat berlarian.Perkawinan lari paksaan (Belanda: shaak-hewelijk; Lampung: dibembangkan, di tekep, ditenggeng dan Bali: melangdang). Adalah perbuatan melarikan gadis dengan akal tipu atau dengan paksaan atau kekerasan, tidak atas persetujuan sigadis dan tidak menurut tata tertib adat berlarian.

Dengan adanya perbedaan bentuk hukum perkawinan adat diatas lebih disebabkan karena terdapatnya perbedaan sistem kekerabatan atau sistem keturunan yang dianut oleh masing-masing masyarakat hukum adat di Indonesia. Di kalangan masyarakat hukum adat yang menganut sistem kekerabatan "patrilineal", maka hukum perkawinan adat yang berlaku adalah bentuk perkawinan "jujur". Di daerah Batak disebut "mangoli", "beleket" di Lampung, segreh, seroh daw dan Su. Dan diSulawesi dikenal dengan "Doi Panai".

Sedangkan pada masyarakat adat yang menganut sistem kekerabatan "matrilineal" yang mempertahankan garis keturunan ibu (wanita), dalam perkawinan semenda calon mempelai pria dan kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita bentuk hukum perkawinan adat yang berlaku adalah bentuk perkawinan "semenda". Pada lingkungan masyarakat adat yang menganut sistem "parental" atau "bilateral", maka hukum perkawinan adat yang berlaku adalah bentuk perkawinan "bebas" (mandiri).

Dalam perkembangnya, beragai macam bentuk hukum perkawinan ini tumbuh bervariasi yang bermacam-macam menurut kepentingan kekerabatan yang bersangkutan yang membedakan dari sisi sosiologi dalam hukum Islam adalah adanya hubungantimbal balik antara perubahan sosial dalam bentuk perkawinan dengan penempatan hukum Islam dari sisi hukum adat yang berlaku di Indonesia. Sedangkan dari antropologi hukum Islam hanya melihat dari sisi dari segi sejarah dan keragaman fisiknya, masyarakatnya, serta kebudayaannya. 

Oleh karena itu setiap masyarakat memiliki corak dan sifatnya sendiri, maka hukum tiap masyarakat dalam hukum adat sebagai salah satu penjelmaan geester-structur masyarakat bersangkutan merupakan perwujudan dari kebudayaan dari masyarakat itu sendiri.

Adat atau sebuah kebiasaan yang menjadi kebudayaan yang telah mendarah daging pada sebuah masyarakat, akan sulit untuk merubahnya. Karena dalam kaidah Ushul Fiqih "Kebiasaan itu menjadi Hukum", dengan kata lain adat yang ada dalam suatu golongan menjadi hukum dalam kehidupannya sehari-hari yang mana akan sangat sulit untuk merubahnya ke arah adat yang lain.

Adat sudah banyak mengalami perlunakan berlakunya pada zaman era yang semakin canggih yang serba digital seperti ini, memang pendapat tersebut ada benarnya. Fakta ini didukung oleh kenyataan bahwa sistem hukum yang dipakai di negara kita adalah sistem Eropa Kontinental. Pada sistem Eropa Kontinental, hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) lebih mempunyai fungsi yang lebih besar di dalam penyelenggaraan negara maupun pengaturan masyarakat, jika dibandingkan dengan hukum yang tidak tertulis.

Namun yang perlu diingat bahwa dalam praktek di masyarakat terkadang hukum tertulis tidak selamanya sejalan dengan perkembangan yang ada di masyarakat, sehingga aturan yang tertulis tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang ada dan terkadang tidak mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat.Jika hal ini terjadi, maka terjadi kesenjangan antara hukum tertulis dengan hukum yang hidup di masyarakat, maka hukum tidak tertulislah (hukum adat) nantinya yang akan menyelesaikan masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sebagai potret berlakunya hukum adat di Indonesia. Hal ini memberikan keleluasaan kepada hakim untuk memahami, menggali dan mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. 

Dengan demikian eksistensi hukum adat hingga saat ini tetap mempunyai peranan yang penting, terutama dalam pembentukan hukum Nasional yang akan datang, terutama dalam lapangan hukum kekeluargaaan. Hukum adat akan menjadi salah satu sumber utama dalam pembentukan hukum tertulis, sehingga aturan tertulis tersebut otomatis merupakan pencerminan dari hukum masyarakat. Dan tentu saja dengan harapan bahwa ketika hukum tertulis tersebut sudah diberlakukan di dalam masyarakat, maka tidak terjadi lagi kesenjangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun