Abstract Terrorism is the use of unlawful violence and force against people or vital objects to intimidate or coerce the government, the civilian population, or any segment to advance political or ideological goals. Modern terrorism is divided into five waves conveyed by Rapoport and consists of nationalist groups, socialism, religious extremism, and social exclusion. Given the political and ideological situation which of course has the potential to undergo continuous changes, it is predicted that it will give birth to a new wave in the context of terrorism. In this case, the author uses technology and AI as a form of prediction of the sixth wave of terrorism. The method used in this writing is descriptive analytical.
Keywords: AI, Technology, Terrorism, Terrorism wave,
PENDAHULUAN
Terorisme yang kita kenal sebagai sebuah kejahatan non-tradisional dan diartikan sebagai tindakan penggunaan kekerasan serta kekuatan yang melanggar hukum terhadap orang-orang maupun objek vital untuk mengintimidasi atau memaksa pemerintah, penduduk sipil, atau segmen lainnya guna mencapai tujuan politis maupun ideologis. Pemaknaan terorisme dapat berbeda-beda tergantung siapa yang mengartikannya dan bagaimana mereka melihat aksi terorisme tersebut. Seperti misalnya, pada masa Yunani klasik dan revolusi Prancis, terorisme memiliki konotasi positif sebagai alat kontrol politik. Sebaliknya, istilah terorisme merupakan hasil kontruksi sosial atas aksi kelompok tertentu. Individu, kelompok sosial, golongan tertentu, atau masyarakat melabeli suatu kelompok tertentu sebagai terorisme dikarenakan aksi yang dilakukan oleh kelompok tersebut menimbulkan kemarahan sosial, kekerasan, berisikan tuduhan, dan memiliki moralitas yang buruk serta memiliki nilai yang tidak cocok dengan tipologi yang tampak memiliki nilai netralitas seperti halnya yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial lainnya. Label terorisme yang ditetapkan secara sosial kepada kelompok tertentu memiliki nilai negatif.
Dalam perkembangannya, terorisme yang terjadi memiliki latar belakang yang bervariasi. Dalam bukunya yang berjudul “Four Waves of Modern Terrorism”, Rapoport mengklasifikasikan terorisme kedalam empat gelombang dengan prediksi terjadinya gelombang kelima. Klasifikasi gelombang terorisme tersebut didasarkan atas karakteristik ideologi, strategi, dan visi masa depan yang sama. Adapun keempat gelombang tersebut yaitu; (Rapoport, 2004) Pertama, gelombang anarkis yang didasarkan pada peristiwa 24 Januari 1878. Seorang anarkis, Vera Zasulich, melakukan penembakan terhadap komandan polisi St. Petersburg, Rusia. Ketika diadili, ia mengatakan bahwa dirinya bukanlah pembunuh melainkan seorang teroris. Kedua, gelombang anti kolonial yang mana dalam gelombang ini menetapkan bahwa mereka yang terlibat dalam taktik terorisme adalah teroris dan mulai muncul pada awal perang dunia ke-1. Ketiga, gelombang kiri baru yang muncul pada tahun 1960-an sebagai salah satu respon atas perang Vietnam. Gelombang kiri baru didukung oleh revolusi teknologi komunikasi, sehingga terjadi banyak penolakan terhadap perang serta negara-negara yang difitnah dan lahirnya sikap anti-amerika. Keempat, gelombang keagamaan yang membentuk abad ke-20, dimana pada gelombang ini didasarkan pada tiga revolusi besar yaitu; Lenin dan revolusi Rusia, Mao dan revolusi Tiongkok, serta Imam Khomeini dan revolusi Iran. Rapoport menjelaskan bahwa gelombang keagaaman lebih cendrung menjadikan Islam sebagai titik persoalan didukung dengan kemenangan revolusi Iran yang berdampak pada perebutan masjidil haram di Mekah. Kelima, gelombang yang diprediksi yaitu berasal dari kelompok ultranasionalis yang menjadikan etnis atau budaya sebagai titik persoalan lahirnya kelompok terorisme.
Setelah melihat kelima gelombang yang disampaikan oleh Rapoport, penulis memprediksi terjadinya terorisme gelombang keenam. Terorisme gelombang ini berkaitan dengan kemajuan teknologi baru dan kecerdasan buatan (selanjutnya disingkat sebagai AI). Tentunya kita mengetahui bahwa terorisme memanfaatkan fitur internet seperti website, media sosial, dan lainnya sebagai salah satu alat propaganda mereka untuk mempublikasikan kegiatan mereka dan berupaya merekrut orang lain agar bergabung kedalam bagian dari mereka. Dilain sisi, AI merupakan fitur internet yang muncul pada tahun 2017 dan berhasil merilis ChatGPT pada tahun 2022, diikuti dengan pesaing raksasa teknologi dan perusahaan rintisan yang menjadikan model bahasa besar AI dapat diakses oleh pengguna internet. Perkembangan fitur-fitur internet tentunya menuntut para kelompok terorisme untuk memperbarui metode mereka agar dapat memanfaatkan teknologi baru dan AI. Meskipun berbagai literatur yang telah ditemui oleh penulis hanya menjelaskan AI sebagai alat kontra-terorisme, penulis menawarkan model yang sebaliknya, dimana teknologi dan AI menjadi salah satu bentuk terorisme gelombang keenam.
PEMBAHASAN
Terorisme atau ekstremis sudah lama beradaptasi dengan teknologi baru serta mereka memanfaatkan secara maksimal setiap gelombang baru dari internet.Terorisme memulainya dengan cara melakukan eksploitasi terhadap website dan forum. Ancaman ini terus berkembang menjadi bentuk yang lebih akut dalam media sosial serta menuntut platform teknologi untuk terus mengembangkan langkah-langkah canggih sebagai moderasi konten.
Artificial Intelligence (AI) memiliki keunggulan untuk membuat berbagai macam data seperti gambar, video, audio, teks, maupun model 3D. AI dapat menghasilkan sebuah konten yang sangat realistis dan kompleks meniru kreativitas manusia serta menjadi alat yang sangat bernilai bagi banyak industri game, hiburan, maupun desain prodak. AI juga berhasil merilis ChatGPT pada bulan November 2022 yang memungkinkan kita untuk dapat menciptakan berbagai macam karya seni bahkan membantu dalam proses penelitian ilmiah. Hal ini menunjukkan bahwa industri AI semakin pesat dimana model bahasa besar atau LLM diadopsi oleh banyak industri dan LLM sudah lama hadir juga mengalami perubahan yang signifikan pada tahun 2022 akibat popularitas ChatGPT dan chatbot yang didukung GPT-3 Open AI yang mudah diakses oleh siapapun. LLM sendiri mampu mengartikan miliaran kata yang ada di internet dan dirancang untuk merespon keinginan para penggunanya serta memprediksi dan mempelajari bahasa baru selanjutnya. LLM juga dapat melakukan tugas pemrosesan bahasa alami seperti terjemahan, meringkas, dan mengklasifikasi teks.
Gagasan prediksi teknologi baru dan AI terorisme sebagai gelombang keenam melanjutkan gagasan Rapoport, sebagian besar menitikberatkan pada potensi penggunaan AI oleh kelompok teroris atau ekstremis. Pertanyaan penulis yang muncul dalam gagasan ini adalah bagaimana terorisme atau ekstremis kekerasan dapat beradaptasi dan memanfaatkan teknologi baru dan AI guna melakukan propaganda seperti menyebarkan kebencian pada kelompok tertentu dan memberikan informasi-informasi yang diharapkan dapat mempengaruhi orang lain yang rentan. Penggunaan teknologi dan AI oleh kelompok teroris atau ekstremis dapat meliputi; (Gilroy, 2024) Propaganda, penggunaan AI mampu menghasilkan serta mempublikasikan konten propaganda dengan lebih cepat dan efisien. Melalui AI, memungkinkan terorisme atau ekstremis melakukan perekrutan dengan ideologi radikal. Tidak hanya itu, bot yang juga didukung oleh AI tentunya akan memperkuat konten tersebut sehingga sulit untuk dideteksi. Rekrutmen interaktif, AI yang mendukung chatbot tentunya akan melayani permintaan penggunanya dengan memberikan informasi yang sesuai keinginan dan menjadikan pesan-pesan ekstremis lebih relevan bagi pengguna. Serangan otomatis, dimana Global Internet Forum to Counter Terrorism (GIFCT) menjelaskan bahwa terorisme dapat melakukan serangan dengan lebih efektif dan efisien melalui penggunaan drone. Eksploitasi media sosial, penggunaan AI juga dapat memanipulasi media sosial guna menyebarkan propaganda dan merekrut anggota. Serangan dunia maya, penggunaan AI oleh ekstremis potensial terjadinya serangan dunia maya terhadap target dan menimbulkan kerusakan besar.
How Can Artificial Intelligence (AI) be Exploited ?
Teach Against Terrorism sebagai salah satu organisasi nirlaba yang berkerjasama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjelaskan bahwa AI berpotensi mengalami eksploitasi oleh kelompok teroris atau ekstremis. Teach Against Terrorism juga menyampaikan bagaimana teknologi baru dan AI dapat di eksploitasi; (UNCCT, 2021)
- Melalui media pemijahan, dimana hal tersebut diawali dengan beberapa gambar atau video dan aktor TVE mampu menghasilkan ribuan varian yang dimanipulasi sehingga dapat menghindari mekanisme sinkronisasi hash dan deteksi secara otomatis
- Terjemahan multibahasa secara otomatis, dimana setelah gambar maupun video tersebut dipublikasikan, maka pelaku TVE dengan mudah menerjemahkan propaganda dalam bentuk teks dengan menggunakan berbagai bahasa yang diinginkan sehingga memberi beban pada mekanisme deteksi linguistik yang diproses secara manual
- Propaganda yang sintetik secara keseluruhan, dimana para aktor TVE dapat menghasilkan konten buatan TVE yang mencakup orasi, gambar, maupun lingkungan interaktif sehingga potensi menghambat upaya keberlangsungan moderasi
- Daur ulang varian, yaitu para pelaku TVE menggunakan propaganda lama dengan dukungan AI untuk membuat variasi baru yang diharapkan dapat menghindari mekanisme deteksi konten propaganda asli yang berbasis hash.
- Propaganda yang dipersonalisasikan, menyesuaikan media dan pesan dengan tujuan untuk meningkatkan rekrutan yang ditargetkan pada wilayah tertentu dapat dilakukan melalui penggunaan AI oleh aktor TVE
- Menumbangkan moderasi,dimana para pelaku TVE memanfaatkan alat AI guna merancang varian propaganda yang dibentuk secara khusus untuk mengabaikan teknik moderasi
Selain daripada itu, dilain sisi terdapat Global Internet Forum to Counter Terrorism (GIFCT) yang menjelaskan bagaimana kelompok ekstremis menyalahgunakan AI, seperti; (Red et al., 2023)
- Misinformation and propaganda production. Salah satu stratup yang memiliki produk andalan berupa generator teks menuju suara telah disalahgunakan, dimana pada saat itu Emma Watsor yang merupakan subjek popular dalam video dan gambar deepfake, ditiru ketika membaca risalah Nazi Mein Kampf. Kasus cloning suara semakin meningkat dan hal ini menjadi alat bagi para terorisme dan ekstremis untuk memperkuat propaganda mereka.
- Personalized recruitment methods. Bot dengan dukungan AI dapat digunakan untuk mendapatkan perhatian dari pengikut dan manusia dapat mengambil alih akun tersebut untuk dapat terlibat dalam sebuah percakapan individu. ChatGPT juga dilatih untuk dapat mengobrol dengan manusiawi, namun dapat terjadi kemungkinan bahwa kelompok terorisme atau ekstremis menggunakan LLM untuk meningkatkan kehadiran mereka dalam media sosial serta membangun hubungan dengan individu lainnya. Operasi ini tentunya memerlukan tingkat kecanggihan teknis tertentu.
- Malware and technical abuse. Salah satu aplikasi AI yang banyak digunakan untuk menulis kode adalah LLM. LLM mampu membuat model berbasil langganan yang dilatih secara khusus seperti asisten pengkodean, seperti Copilot Githup dan Codewhisperer Amazon, merupkan opsi ampuh yang bisa diakses siapa saja. Tidak hanya itu, ChatGPT juga mampu menghasilkan malware dengan beberapa dorongan dan beberapa versi intruksi yang berbeda namun juga mereka mengubah kode tersebut berdasarkan permintaan sehinga lebih sulit dideteksi oleh sistem keamanan dan pertahanan cyber. Tentunya dalam halini, LLM juga dapat digunakan untuk mengirimkan email yang berisikan penipuan dan rentan terhadap konten kampanye dari para kelompok eksremis.
Selain daripada itu, terdapat istilah Jailbreak yang merupakan upaya untuk menghilangankan batasan pada perangkat lunak yang sengaja dibuat oleh industri. Jailbreak juga dapat dikatakan sebagai upaya melewati perlindungan etis model AI dan memperoleh informasi terlarang, dimana Jailbreak akan menggunakan perintah kreatif dalam bahasa yang sederhana untuk dapat mengelabui sistem teknologi dan AI agar merilis informasi yang seharusnya diblokir oleh AI. Biasanya pernyataan tersebut berisi perintah terkait bagaimana model harus berprilaku atau tidak dan perintah tersebut menjadi perhatian besar karena potensi penyalahgunaannya oleh kelompok teroris atau ekstremis yang bertujuan untuk memanipulasi model AI yang merugikan seperti penyebaran ideologi yang radikal atau ekstremis dan perencanaan kegiatan terlarang. Terdapat beberapa kegiatan utama yang menjadi perhatian para pelaku terorisme atau ekstremis, yaitu polarisasi atau konten emosional yang dapat digunakan untuk menciptakan perpecahan atau membangkitkan respon emosional, disinformasi dan misinformasi yang digunakan untuk menyebarkan kebohongan atau memanipulasi presepsi masyarakat, rekrutmen yang dapat dimanfaatkan untuk memperluas jumlah anggota dan menggalang dukungan, pembelajaran taktis atau strategi, dan perencanaan serangan yang dapat digunakan untuk menyusun strategi atau mempersiapkan serangan tertentu.
.....................................................
Teknologi dan AI sebagai terorisme gelombang keenam memerlukan lebih banyak penemuan-penemuan baru terkait rentannya teknologi dan AI sebagai penyebab atau korban terorisme agar literatur yang didapat tidak hanya menitikberatkan pada keunggulan teknologi dan AI sebagai alat kontra-terorisme. AI mempunyai potensi besar sebagai alat maupun ancaman dalam konteks terorisme dan ekstrimisme. Pemerintah dan industri AI perlu menyadari pentingnya melakukan pemantauan terhadap AI dengan memasang pagar pembatas pada teknologi dan AI. Selanjutnya, jika gelombang keenam berkaitan dengan teknologi dan AI, penulis juga memikirkan prediksi gelombang terorisme ketujuh yang kemungkinan akan terjadi dan gelombang ini berkaitan dengan lingkungan atau ecological terrorism. Penulis berharap melalui gagasan ini, melahirkan teori baru dalam hal perkembangan gelombang terorisme sehingga menambah informasi guna deteksi terorisme dini.
REFERENSI
Gilroy, G. (2024). The Online Frontline: Decoding al-Shabaab’s Social Media Strategy. CTC Sentinel, 17(1), 25–30. https://ctc.westpoint.edu/the-online-frontline-decoding-al-shabaabs-social-media-strategy/
Rapoport, D. C. (2004). Rapoport-Four-Waves-of-Modern-Terrorism.pdf. In Attacking Terrorism: Elements of a Grand Strategy (pp. 46–73).
Red, G., Working, T., & Engler, M. (2023). Considerations of the Impacts of Generative AI on Online Terrorism and Extremism.
UNCCT, U. &. (2021). Countering Terrorism Online. 1–50. https://www.un.org/counterterrorism/sites/www.un.org.counterterrorism/files/countering-terrorism-online-with-ai-uncct-unicri-report-web.pdf
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI