Mohon tunggu...
Risang Rimbatmaja
Risang Rimbatmaja Mohon Tunggu... Freelancer - Teman kucing-kucing

Full time part timer | Fasilitator kampung | Sedang terus belajar bergaul

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Latihan agar Guru Tidak Emosi dan Gelap Mata

9 Juni 2024   14:41 Diperbarui: 9 Juni 2024   14:48 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekarang lagi masa ujian akhir, mungkin karena itu belum terdengar berita kekerasan guru terhadap siswa. Tapi, di masa-masa lain, jangan-jangan berita semacam itu muncul lagi. Seperti pemberitaan-pemberitaan sebelumnya, ada cerita siswa dikata-katai, ditampar, dipukul, disuruh lari sampai pingsan, disuruh makan sepatu, dll.

Menyedihkan karena tidak sepatutnya siswa mengalami hal itu. Betapa nakalnya pun dia. 

Kekerasan yang dilakukan segelintir guru memang kebanyakan bersumber dari apa yang dipandang sebagai kenakalan siswa. Tidak mengerjakan PR. Datang terlambat. Rambut gondrong (padahal sudah disuruh memotong). Celetukan yang menyakitkan. Mengobrol saat guru mengajar. Ketahuan merokok dan lain sebagainya.  

Namun, apapun alasannya, guru tetap berada di pihak yang salah.

Apakah itu semua terjadi karena sang guru tidak paham bahwa itu adalah tindakan yang salah? 

Rasanya, semua guru tahu bahwa kekerasan adalah tindakan salah. Tapi, apa yang diketahui tidak otomatis bisa menjaga perilaku saat mendapat "serangan" ke emosinya. Tahu jurus apa yang harus dilakukan saat menghadapi anak nakal tidak menjamin dia bisa mengeluarkan jurus itu saat emosi terpicu. Dalam praktik nyata, kontrol emosi adalah kunci. Buktinya, petinju yang terampil dan latihan bertahun-tahun, kalau tersulut emosi, bisa berantakan permainannya.

Dan ini bisa menimpa siapa saja. Yang biasanya santun sekalipun, kalau terserang emosinya, bisa bertindak di luar nalar. 

Lantas apa yang yang perlu dilakukan untuk latihan kontrol emosi? 

Latihan 1: Menyadari serangan emosi. Serangan ke emosi membuat perilaku kita tidak terkontrol karena kita tidak menyadari adanya perubahan emosional sehingga kemudian emosi itu yang mengendalikan kita. Karena itu, ada perilaku siswa yang keliru, coba bahasakan dalam hati. "Apa yang saya rasakan ini? Apa ini saya marah karena kata-katanya? Celutukan itu membuat saya marah?"

Membahasakan perasaan membuat jalur ke neo-cortex, otak yang bepikir dan membuat kita keluar dari otak mamalia, yang merasa, sehingga kita bisa berpikir apa tindakan yang bagus untuk meresponnya.

Latihan 2: Latihan bersikap apresiatif dengan ganti lensa. Kalau ada siswa bandel, coba cari hal positif darinya. Jangan hanya melihat dengan kacamata negatif karena mudah menyulut emosi. 

Terlambat - Masih bagus tetap masuk, meski rumah jauh, sibuk membantu orang tua dll.

Nyeletuk - Kelas jadi ramai, tidak hening seperti kuburan, perhatian masih di kelas

Tidak kerjakan PR - Masih bagus tetap masuk, siswa masih perlu bimbingan saya

Latihan 3: Kontrol nonverbal. Perasaan dan nonverbal orang itu berjalan beriringan. Kalau kita sedang emosi, wajah dan suara berubah. Di sini, emosi mempengaruhi nonverbal.

Untungnya, hubungannya berlaku simetris. Nonverbal juga mempengaruhi emosi. Makanya, walau kita sedang bete, bila kita paksa untuk tersenyum, nanti perasaaan akan berangsur berubah jadi lebih nyaman.

Coba latihan kontrol nonverbal, misalnya dengan mengubah melambatkan suara kita ketika kita mendapat "serangan" emosi. Atau coba kontrol nafas. Tarik nafas panjang, tahan, lalu keluarkan pelan-pelan. Atau genggam dan mainkan tangan kita. Atau senyum yang tulus.

Latihan 4: Pembunuh berdarah dingin. Adakalanya kita sudah tidak kuat menghadapi nakalnya anak. Tapi tetap, jangan marah. Tidak perlu emosi. Minta saja dia keluar kelas. Suruh menunggu di luar. Suruh pulang. Atau kalau dia tidak mau keluar, keluar saja dari kelas. Luangkan waktu bersantai mengatur emosi.  Lalu laporkan ke kepela sekolah atau guru piket. 

Santai saja. Tidak usah marah. Lakukan apa yang dipandang perlu dilakukan untuk menjaga kegiatan belajar mengajar tanpa gangguan. Lakukan tanpa baperan.  

Bahkan sekurang ajar apapun siswanya, tidak usah emosi. Keluarkan saja dari kelas. Kasih nilai 0 besar. Beres. Sama sekali tidak ada gunanya emosi gara-gara perilaku siswa. Not worthed at all. Emang hidup hanya sekolah? Kan, masih banyak urusan yang perlu diurus.  

Hmm, namun praktik tak semudah itu semua, kan?

Kata orang-orang, namanya manusia ada batasnya, termasuk batas emosi. Tapi kata para ahli, batas emosi kita bisa dinaikan lagi. Kalau semula sumbu pendek, sumbunya bisa dibuat lebih panjang. Dengan begitu, tidak mudah tersulut emosi.

Sama seperti olah raga angkat besi. Kekuatan mental juga harus dilatih. Kalau kita tak terbiasa angkat beban lalu tiba-tiba harus angkat 50kg, rontok otot kita. Demikian pula mental. Kalau tak terbiasa menahan emosi level 3, lalu siswa bandel minta ampun kasih serangan level 5, rontok akal sehat kita. Nafsu yang menyetir kata-kata, mata, tangan, tubuh dan semua gerak kita. Bubar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun