Apakah program makanan tambahan akan memperbaiki kesehatan gizi penerimanya? Kalau ibu hamil dikasih makan, ibu balita dikasih makan buat anaknya atau anak sekolah dikasih makan, apakah nanti status kesehatan gizi mereka akan membaik?
Jawaban: bisa-bisa saja.
Pertama, bisa saja dengan catatan makan yang diberikan memang sesuai dengan kebutuhan gizi penerima manfaat. Dalam istilah pakar gizi, bergizi seimbang atau ada pula yang mengistilahkan sebagai bergizi adil. Fokusnya pada sisi keberagaman bahan pangan dan porsi makanan. Makanan yang disediakan mesti terdiri dari beragam bahan makanan, termasuk sumber pertumbuhan (protein), tenaga (karbohidrat), pengatur (vitamin/ mineral) dan lain-lain yang penting untuk mendukung penyerapan zat gizi dan pertumbuhan. Lalu, porsi makanannya pun mesti sesuai dengan kebutuhan yang diantaranya ditentukan oleh usia dan jender. Anak bawah dua tahun, misalnya, membutuhkan banyak sumber protein, makanya mesti ada telur, ikan atau lainnya.
Kedua, bisa saja kalau yang makannya memang bergizi seimbang lalu dimakan. Lho, memangnya mungkin tidak dimakan?
Sangat mungkin.
Apa yang dipandang bagus oleh pengelola program belum tentu dipandang sama oleh penerima manfaat. Gratis sekalipun bukan jaminan. Buktinya banyak.
TTD (Tablet Tambah Darah) diberikan gratis pada ibu hamil agar diminum setiap hari satu tablet selama kehamilan, setidaknya 90 tablet. Tapi berapa % ibu hamil yang meminumnya? Kurang dari separuh. Maka itu, tidak mengherankan bila angka anemia di kalangan ibu hamil di Indonesia masih tinggi, lebih dari 50%.
Dulu ada Program PMT (Pemberian Makanan Tambahan) bagi ibu hamil yang KEK (Kekurangan Energi Kronis) dalam bentuk paket biskuit. Nah, siapa yang ikut menikmati bisuit itu? Ternyata para suami juga ikut menikmati. Katanya untuk teman minum kopi.
Sebagai solusi, bagaimana kalau makannya diawasi langsung? Dipastikan di tempat, para penerima manfaat langsung memasukkan makanan ke dalam mulut?
Kalau bisa, mungkin membantu. Tapi apa bisa?