Ajaran agama menawarkan model rumusan pesan menarik untuk isu kronis. Bukan angka atau kuantitatif, tapi kualitatif yang sangat deskriptif.
Untuk masalah paling kronis (jangka panjang: hari pembalasan), Yang Punya Dunia menggambarkan surga (+) neraka (-) dengan bahasa yang dibilang orang radio sebagai theatre of the mind. Bukan bahasa konseptual/ akademis (institutional).
Bandingkan gambaran ini.
Surga adalah tempat bagi orang yang pahalanya lebih banyak dibandingkan dosanya. Mereka adalah tempat bagi orang yang dosanya lebih banyak dibandingkan pahalanya.
Dengan yang ini:
Surga itu tempat yan teduh lagi nyaman. Ada mata air-mata air dan mengalir sungai-sungai di dalamnya. Penghuninya mendapat segala apa dikehendaki. Istana dibuatkan. Buah tak henti-henti. Penghuni diberi perhiasan gelang emas, pakaian hijau, sutera halus dan tebal, duduk sambal bersandar di atas dipan-dipan yang indah.
Sementara, nereka itu tempat yang sangat panas. Api neraka bahan bakarnya manusia dan batu. Tidak ada makanan (baginya) kecuali dari darah dan nanah.
Di antara dua contoh di atas, mana yang lebih memotivasi? Biasanya, kebanyakan orang menjawab yang kedua.
Ini persoalan cara menggambarkan. Gaya theatre of mind menghasilkan pesan yang orang bisa bayangkan, rasakan lalu memotivasi. Gaya bahasa konseptual/ akademis atau institutional language, susah dibayangkan, tidak banyak bisa dirasakan.
Angka-angka memang penting disampaikan. Tapi menyebut angka-angka saja mungkin belum cukup memotivasi perubahan perilaku. Perlu tambahkan sedikit kecap theatre of the mind.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H