Mohon tunggu...
Risang Rimbatmaja
Risang Rimbatmaja Mohon Tunggu... Freelancer - Teman kucing-kucing

Full time part timer | Fasilitator kampung | Sedang terus belajar bergaul

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masih Ngaruhkah Angka-angka COVID-19 Itu?

30 April 2020   19:05 Diperbarui: 30 April 2020   18:56 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Atau jangan-jangan sudah tidak lagi disimak? Tidak lagi dinantikan?

Pemerintah secara harian mengeluarkan angka kasus COVID-19. Hari ini (30/4/20) terdapat 10.118 kasus, 1552 sembuh, 792 meninggal.

Angka-angka itu ditampilkan tentu dengan tujuan. Selain urusan akuntabulitas, semestinya ada tujuan edukasi.

Ada angka yang positif, kesembuhan. Ada negatif, kasus positif COVID-19 dan meninggal. Dari perspektif komunikasi perubahan perilaku, angka negatif harusnya menyentuh rasa takut dan  waspada sehingga orang mencermati atau memberi perhatian. Angka positif menumbuhkan harapan dan semangat.

Resultannya: waspada, tidak panik, masih bisa berpikir dan mengambil keputusan melakukan perilaku-perilaku yang direkomendasikan. Untuk orang sehat adalah

  • tetap di rumah kecuali kebutuhan penting
  • kalaupun ke luar rumah selalu jaga jarak lebih dari 1 meter dan pakai masker kain
  • sering cuci tangan pakai sabun dan tidak mengusap wajah

Teorinya begitu.

Bagaimana jika lama kelamaan angka-angka jadi seperti ada kesan terpola dan bisa diantisipasi pikiran orang? Apalagi bila perubahannya gradual.

Teorinya, isu yang kronis, yang kematiannya membutuhkan waktu lama dan terpencar di sana sini sini, tidak membuat orang segera takut atau waspada. Sementara, yang catastrophic, yang menimbulkan kematian banyak sekaligus di lokasi tertentu akan langsung menekan tombol rasa takut dan waspada.

Virus corona memang menyebar cepat tapi cenderung menjadi pross yang kronis, bukan catastrophic. Sehingga, jangan-jangan jadi biasa-biasa saja dan tidak dinanti lagi. Apalagi banyak orang Indonesia terbiasa berpikir Belanda masih jauh. Kalau belum di depan mata, belum bergerak.

Karena itu, perlu alternatif selain angka-angka.

Ajaran agama menawarkan model rumusan pesan menarik untuk isu kronis. Bukan angka atau kuantitatif, tapi kualitatif yang sangat deskriptif.

Untuk masalah paling kronis (jangka panjang: hari pembalasan), Yang Punya Dunia menggambarkan surga (+) neraka (-) dengan bahasa yang dibilang orang radio sebagai theatre of the mind. Bukan bahasa konseptual/ akademis (institutional).

Bandingkan gambaran ini.

Surga adalah tempat bagi orang yang pahalanya lebih banyak dibandingkan dosanya. Mereka adalah tempat bagi orang yang dosanya lebih banyak dibandingkan pahalanya.

Dengan yang ini:

Surga itu tempat yan teduh lagi nyaman. Ada mata air-mata air dan mengalir sungai-sungai di dalamnya. Penghuninya mendapat segala apa dikehendaki. Istana dibuatkan. Buah tak henti-henti. Penghuni diberi perhiasan gelang emas, pakaian hijau, sutera halus dan tebal, duduk sambal bersandar di atas dipan-dipan yang indah.

Sementara, nereka itu tempat yang sangat panas. Api neraka bahan bakarnya manusia dan batu. Tidak ada makanan (baginya) kecuali dari darah dan nanah.

Di antara dua contoh di atas, mana yang lebih memotivasi? Biasanya, kebanyakan orang menjawab yang kedua.

Ini persoalan cara menggambarkan. Gaya theatre of mind menghasilkan pesan yang orang bisa bayangkan, rasakan lalu memotivasi. Gaya bahasa konseptual/ akademis atau institutional language, susah dibayangkan, tidak banyak bisa dirasakan.

Angka-angka memang penting disampaikan. Tapi menyebut angka-angka saja mungkin belum cukup memotivasi perubahan perilaku. Perlu tambahkan sedikit kecap theatre of the mind.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun