Atau tukang pasang poster pertandingan supaya nonton (seperti saya. Hiks). Atau yang bawa air, handuk atau pijat-pijat (Tapi untuk siapa? Wong tak ada pemain).
Kebanyakan kita bukan pemain.
Orang-orang masih kumpul-kumpul, kita diam saja. Tidak kita hadapi. Tidak ditempel (dalam jarak aman). Tidak ada penjagaan wilayah (zonal marking). Tidak ada penjagaan orang ke orang (man to man marking). Tackling? Apalagi.
Tidak ada yang jadi kapten yang mengatur apa yang harus kita lakukan sebagai tim agar orang-orang yang abai segera balik badan ke rumah. Tidak ada striker yang menyerang pentolan-pentolan di kampung yang disegani.
Adanya penonton. Memang, kata orang, penonton itu pemain ke-12. Konon berpengaruh. Tapi kalau pemain benernya cuma 1 (tenaga Kesehatan), apa gunanya pemain ke-12?
Sampai berapa lama lagi penjaga gawang bias bertahan?
---------------------------------
* Ada yang protes: Polisi kan sudah turun tangan. Betul! Mereka itu pemain beneran. Tapi terbatas di pertandingan yang mentereng. Semacam kelas final atau antara klub-klub yang moncer. Tapi pada lebih banyak pertandingan-pertandingan, apalagi kelas tarkam (antar kampung) yang ada di mana-mana, tidak ada pemain dari sisi kita.
Atau kalau pertandingan di kampung, polisi itu wasit atau penjaga garis. Angkat bendera, priit. Bola sudah keluar garis. Tapi di dalam lapangan (kampung) orang-orang abai itu main semena-mena.
** Tulisan ini hanya menganologikan perilaku sehari-hari orang-orang di kampung saya dengan sepakbola. Tidak bermaksud merendahkan kontribusi bermakna semua pihak yang bermain di jalurnya masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H