O'hongana manyawa atau orang tobelo dalam, telah mendiami hutan halmahera sejak ratusan tahun yang lalu. Beberapa catatan menyebut, Â komunitas ini merupakan penduduk asli pribumi yang hidup di belantara hutan halmahera.
Irfan Ahmad, Dosen Ilmu Sejarah Universitas khairun Ternate, mengungkapkan bahwa orang tobelo yang tinggal di hutan itu lari karena menghindar dari sistem pajak yang di terapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. (cermat; Mengenal orang togutil yang hidup di hutan Halmahera)
Syaiful madjid, dalam penelitiannya, ia membagi dua kelompok untuk mengidentifikasi. Pertama, ia menyebutnya tobelo dalam. Hal itu berdasarkan penyebutan dari komunitas yang dalam bahasa tobelo yakni O'hongana manyawa atau orang tobelo yang tinggal di hutan. Bagi O'hongana manyawa, nilai nilai yang terkandung dalam tradisi wowango ditempatkan untuk kepentingan komunitas O'hongana manyawa yang akan datang (masa depan), dalam arti: setiap warga komunitas dituntut untuk menjaga dan melestarikan hutan beserta isinya untuk kelangsungan kehidupan anak cucu mereka.
Orientasi nilai komunitas O'hongana manyawa dalam kehidupan sehari hari ini sangat bertalian dengan keberadaan mereka di dalam hutan, proses kehidupan komunitas ini menyatu dengan apa yang berada di lingkungan mereka. Tentu hutan bukan hanya sebagai lingkungan tempat tinggal dan tempat mendapatkan bahan makanan, tetapi lebih jauh lagi di anggap sebagai sumber kehidupan dan sekaligus muara bagi eksistensi dalam perkembangan kehidupan komunitas O'hongana manyawa. (baca : ppmam; mengenal O'hongana manyawa di hutan halmahera yang dikepung tambang nikel. Faris Bobero, 03/23/24)
Masih banyak dari kita yang salah menyebutkan secara bahasa perihal komunitas ini, tentu hal demikian justu menjustifikasi O'hongana manyawa sebagai manusia yang hidup terbelakang, yakni dengan sebutan togutil. Bagi Syaiful, dalam tulisanya tidak membenarkan kita untuk memakai penyebutan togutil, karena penyebutan togutil adalah pelebelan orang luar terhadap mereka yang terbelakang. Karenanya lebih benar jika di sebut sebagai O'hongana manyawa (orang tobelo dalam yang tinggal di hutan).Â
Pilkada dan bagaimana nasib O'hongana manyawa.? Sepaskah pilkada, keberlangsungan perampasan ruang hidup di maluku utara akan terus dan tetap terjadi, siapapun yang nantinya terpilih, entah di kabupaten maupun di propinsi, semuanya akan menghamba pada kepentingan nasional. Salah satu dari kita yang paling terdampak dan menjadi korban berkali kali dari pertarungaan politik adalah komunitas O'hongana manyawa .
Bagaimana tidak ? Indonesia dalam kepemimpinan soeharto menjadi cikal bakal masuknya investasi di indonesia lewat penerapan undang-undang penanaman model asing. UU PMA inilah yang menjadi momok menakutkan bagi masyarakat indonesia. Bagi istilah penulis, "UU PMA bagaikan tangan setan yang datang secara tiba tiba dan mencekik leher kita".Â
Lewat penetapan proyek strategis nasional (PSN) yang di dorong oleh pemerintah atau badan usaha yang memiliki sifat strategis ini membawa malapetaka tersendiri bagi sejumlah daerah yang telah dipatok olehnya, salah satunya adalah maluku utara. Secara objektif, maluku utara adalah salah satu daerah yang hampir sebagian besar kawasan hutannya telah di babat habis oleh investasi pertambangan, hal ini secara tidak langsung juga membunuh keberlangsungan hidup komunitas O'hongana manyawa.
Di setiap tahun PEMILU, konstalasi politik di provinsi maluku utara tidak mempunyai keberpihakan terhadap nasib O'hongana manyawa. Justru sebaliknya, komunitas ini di paksa oleh pemerintah untuk hidup bermoderen. Pada tahun 70-an, pemerintah membuat sejumlah proyek pemukiman. Proyek ini membuat transmigrasi besar besar di halmahera timur, yakni subaim, dodaga, hingga tatuli, yang di sebut sebagai tuna rumah dan tuna budaya. Bagi syaiful, ini adalah politik domestikasi dalam bentuk penzinakan terhadap O'hangana manyawa. Â
Bagi penulis, dengan adanya proyek demikian tentu pemerintah punya sikap yang jelas pada kepentingan korporasi yang muaranya pada akumulasi modal. Tak heran, pemaksaan terhadap komunitas O'hongana manyawa ini terus terjadi, apalagi komunitas ini adalah manusia terakhir yang menjaga hutan. mereka (O'hongana manyawa) menganggap hutan adalah tempat leluhur mereka yang patut dijaga dan dihargai.Â
Komunitas ini menjadi terasing akibat dari eksplorasi hutan yang merupakan tempat tinggal mereka, terlebih lagi hal itu justru hanya memenuhi ambisi pemerintah yang tidak pernah habis. Kehadiran perusahan tambang akan menjadi ancaman baru bagi komunitas O'hongana manyawa yang selama ini telah menjaga kelestarian alam di hutan halmahera.
Pemerintah seharusnya menghargai O'hongana manyawa sebagai warga asli pribumi yang telah lama dulu menetap lama di hutan halmahera sebelum negara ini merdeka. Tetapi sebaliknya, dengan ambisi yang besar, pemerintah malah mengusir O'hongana manyawa dari hutan dengan cara cara yang tidak manusiawi.Â
Penulis juga tidak sama sekali mempunyai keyakinan terhadap konstalasi pilkada kali ini yang merupakan wujud dari kepentingan kapitalisme (pemodal). Ekspolitasi, ekspansi dan akumulasi adalah sifat dasar kapitalisme (pemodal) yang sering kita saksikan dalam proses penghisapan ruang hidup kita.
Berdasarkan diskrusus penulis dengan peneliti O'hongana manyawa, Faris Bobero dan Muhammad Hasan Basri, selaku direktur Pusat Studi Konstitusi dan Demokrasi, di kedai kofia pada 3 November lalu. Ada poin poin yang barang tentu bisa menjadi rujukan untuk sedikit memberikan ruang aman bagi O'hongana manyawa.Â
Bagi Muhammad Hasan Basri, Penyelamatan terhadap nasib komunitas ini bisa dengan mendorong mengenai pengesahan Rancangan Undang-undang masyarakat adat serta pengesahan undang undang pokok Agraria. Dua hal ini tentu dapat memberikan ruang aman bagi mereka.
Sedangkan bagi Faris Bobero, ia menyatakan bahwa kita harus mengakui tentang hak ulayat adat yang di sampikan langsung oleh komunitas O'hongana manyawa (masyarakat adat) mengenai dengan batas wilayah menurut pengetahuan mereka.
Untuk merealisasikan dua pernyataan di atas, ini bukanlah hak yang mudah, karena hal demikian tentu akan sangat bertentangan dengan ambisi pemerintah yang senantiasa berselingkuh dengan para pemodal, yang akan terus dan tetap menghisap kita sebagai masyarakat biasa.
Bagi penulis, Negara tidak perlu memberikan sembako (beras, gula pasir, minyak gorang dll) kepada O'hongana manyawa, Negara hanya cukup memberikan ruang aman bagi keberlangsungan hidup O'hongana manyawa dengan mendorong poin poin tuntutan di bawah ini.
#Save O'hongana_Manyawa
#Sahkan RUU Masyarakat Adat
#Sahkan UU Pokok Agraria
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H