Mohon tunggu...
Risal Gantizar Gifari
Risal Gantizar Gifari Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Administrasi Pendidikan - Teknisi Hardware Komputer & Operator Data - Pelaksana Manajemen Pendidikan

Saya adalah seorang Dosen sekaligus Pegawai Honorer, maklum istilah orang Sunda itu saya 'berbakat' alias 'bakat ku butuh' (saking butuhnya) untuk menyambung hidup, jadi saya mengambil dua pekerjaan sekaligus, hehe... Saya senang membaca dan menulis, juga hobi main game dan kadang LIVE game balap Rally di TikTok, nama akunnya @tag.yaz (Uncle_Boomer~80s😎)

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Ahmad bin Fadlan: Jejak Islam di Tanah Viking

21 Januari 2025   17:46 Diperbarui: 21 Januari 2025   17:46 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pada abad ke-10 Masehi, dunia Islam tengah berada di masa keemasan di bawah Dinasti Abbasiyah. Baghdad, pusat pemerintahan dan peradaban Islam, adalah sebuah kota yang dipenuhi cahaya ilmu pengetahuan, seni, dan perdagangan. Di tengah gemilangnya peradaban itu, seorang utusan bernama Ahmad bin Fadlan mendapat tugas penting yang membawanya ke wilayah yang jarang dijelajahi oleh Muslim pada masanya. Ia diutus untuk menjalankan misi diplomatik yang membawa Islam ke negeri-negeri yang jauh di utara, termasuk bertemu dengan bangsa Viking yang kala itu dikenal sebagai Rusiyyah.

Ahmad bin Fadlan bukan hanya seorang diplomat, tetapi juga seorang pengamat yang jeli. Catatan perjalanannya dalam bentuk risalah (Rihla) adalah salah satu sumber sejarah paling penting yang memberikan pandangan langsung tentang interaksi antara dunia Islam dan budaya Eropa Utara. Perjalanan ini dimulai pada tahun 921 M, ketika Khalifah Al-Muqtadir dari Dinasti Abbasiyah menerima permintaan Raja Volga Bulgaria untuk mengirimkan misi resmi. Raja tersebut meminta bantuan kekhalifahan untuk memperkuat keyakinan Islam di kerajaannya yang baru saja menerima agama ini, serta membangun struktur pemerintahan dan keagamaan yang lebih terorganisir.

Tugas Ahmad bin Fadlan adalah membawa surat dari khalifah, beserta hadiah-hadiah istimewa, kepada raja tersebut. Namun, perjalanan ini bukan hanya sekadar diplomasi politik. Misi ini adalah ekspedisi lintas budaya, yang menuntut Ahmad bin Fadlan menghadapi berbagai tantangan geografis, iklim, dan budaya yang sangat berbeda dari apa yang ia kenal di Baghdad. Perjalanan ini memakan waktu hampir setahun dan melibatkan rute yang melintasi hutan-hutan lebat, sungai besar, dan padang rumput yang luas.

Selama perjalanan menuju Volga, Ahmad bin Fadlan mencatat segala sesuatu yang ia lihat dengan detail yang mengagumkan. Ia menggambarkan kondisi geografis yang dilalui, kehidupan masyarakat lokal, hingga kebiasaan unik mereka. Setibanya di Volga Bulgaria, ia disambut hangat oleh Raja mereka, yang merasa sangat terhormat menerima utusan resmi dari kekhalifahan. Ahmad bin Fadlan memulai tugasnya dengan mengajarkan prinsip-prinsip Islam, mendirikan masjid, dan memperkenalkan sistem pemerintahan yang berbasis pada hukum Islam.

Namun, yang paling menarik dari risalah Ahmad bin Fadlan adalah bagian yang menceritakan tentang bangsa Viking. Ketika berada di wilayah Volga, ia bertemu dengan pedagang-pedagang Viking yang sering berdagang di kawasan itu. Bangsa Viking dikenal sebagai penjelajah, pedagang, dan pejuang yang tangguh. Mereka membawa berbagai barang dari Skandinavia seperti bulu, madu, senjata, dan perhiasan untuk ditukarkan dengan sutra, rempah-rempah, dan barang mewah dari dunia Islam.

Ahmad bin Fadlan memberikan deskripsi yang sangat mendetail tentang penampilan fisik dan kebiasaan bangsa Viking. Ia menggambarkan mereka sebagai orang-orang bertubuh besar, berambut pirang, dan bertato di sekujur tubuh mereka. Mereka memiliki gaya hidup yang kasar namun penuh semangat. Salah satu deskripsi paling terkenal dari Ahmad bin Fadlan adalah tentang kebiasaan mereka dalam menjaga kebersihan. Ia menulis bahwa bangsa Viking jarang mandi dan menggunakan air yang sama untuk mencuci tangan dan muka secara bergantian, sesuatu yang dianggapnya tidak higienis menurut standar Islam.

Namun, Ahmad bin Fadlan tidak hanya berhenti pada pengamatan fisik. Ia juga mencatat adat istiadat dan kepercayaan mereka dengan sangat rinci. Salah satu ritual yang ia saksikan adalah upacara pemakaman seorang pemimpin Viking. Dalam ritual ini, seorang budak wanita dikorbankan untuk menemani tuannya ke alam baka, sebuah praktik yang sangat asing bagi Ahmad bin Fadlan dan nilai-nilai Islam yang ia anut. Ritual ini melibatkan tarian, nyanyian, dan akhirnya pengorbanan dengan cara yang ia gambarkan sebagai brutal.

Ahmad bin Fadlan tidak hanya menjadi saksi ritual-ritual unik bangsa Viking, tetapi juga seorang pengamat budaya yang luar biasa. Ia mencatat bagaimana bangsa Viking memandang kehidupan dan kematian. Salah satu hal yang menarik adalah konsep kehormatan yang mereka junjung tinggi, terutama dalam pertempuran. Bagi bangsa Viking, mati dalam pertempuran adalah bentuk kematian yang paling mulia, karena mereka percaya bahwa para pejuang yang gugur akan masuk ke Valhalla, sebuah tempat dalam mitologi Nordik yang digambarkan sebagai surga bagi para pemberani. Ahmad bin Fadlan mencatat keyakinan ini dengan penuh keheranan, karena sangat berbeda dengan pandangan Islam tentang kematian dan kehidupan setelahnya.

Namun, meskipun banyak perbedaan yang ia saksikan, Ahmad bin Fadlan tidak menunjukkan sikap merendahkan. Sebaliknya, ia mendekati budaya Viking dengan rasa ingin tahu yang mendalam, mencatat setiap detail tanpa menghakimi. Ini adalah salah satu pelajaran besar dari catatan Ahmad bin Fadlan: bagaimana memahami perbedaan budaya tanpa kehilangan identitas sendiri. Ia tidak berusaha memaksakan Islam kepada bangsa Viking, melainkan memperkenalkan ajarannya dengan cara yang bijaksana dan terbuka, sebuah pendekatan yang sangat relevan dalam dunia yang penuh perbedaan saat ini.

Dalam catatannya, Ahmad bin Fadlan juga mencatat bagaimana bangsa Viking menghormati hubungan perdagangan dengan dunia Islam. Mereka sangat menghargai barang-barang dari kekhalifahan Abbasiyah, seperti kain sutra, keramik, dan perhiasan. Hubungan perdagangan ini menciptakan jalur pertukaran budaya yang penting, di mana bangsa Viking mulai terpapar dengan nilai-nilai Islam melalui interaksi mereka dengan para pedagang Muslim. Ahmad bin Fadlan, dengan sikapnya yang sopan dan penuh pengetahuan, menjadi perwakilan langsung dari peradaban Islam yang maju.

Namun, perjalanan Ahmad bin Fadlan bukan tanpa tantangan. Cuaca dingin yang ekstrem, bahaya dari hewan buas, hingga ancaman dari suku-suku lain di sepanjang rute perjalanan adalah beberapa kesulitan yang harus ia hadapi. Dalam risalahnya, ia menggambarkan bagaimana ia sering kali merasa terisolasi dan rindu akan kehidupan yang lebih nyaman di Baghdad. Namun, iman dan tanggung jawabnya sebagai utusan khalifah membuatnya tetap teguh. Ini adalah pengingat bahwa dalam menjalankan misi besar, pengorbanan adalah bagian tak terhindarkan dari perjalanan.

Yang paling menarik dari cerita Ahmad bin Fadlan adalah bagaimana ia membawa Islam ke tanah Viking tanpa menggunakan kekuatan atau kekerasan. Islam diperkenalkan melalui diplomasi, dialog, dan teladan pribadi. Ini berbeda jauh dari stereotip yang sering kali mengasosiasikan penyebaran Islam dengan kekerasan. Ahmad bin Fadlan menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang damai dan universal, yang mampu beradaptasi dan berdialog dengan budaya mana pun tanpa kehilangan esensinya.

Catatan Ahmad bin Fadlan tentang bangsa Viking adalah salah satu bukti nyata bagaimana Islam pernah berinteraksi dengan dunia Eropa Utara. Ini adalah pengingat bahwa peradaban Islam tidak terbatas pada wilayah Timur Tengah, tetapi telah melintasi batas-batas geografis dan budaya yang sangat luas.

Ketika Ahmad bin Fadlan tiba di tanah bangsa Volga Bulgaria, ia tidak hanya menjalankan misi diplomatik, tetapi juga menjadi saksi perubahan budaya yang unik. Volga Bulgaria adalah salah satu wilayah penting yang menjadi titik pertemuan antara peradaban Islam dan Eropa Utara. Di sinilah Ahmad bin Fadlan bertemu dengan bangsa Rusiyyah---bangsa yang kini kita kenal sebagai Viking. Ia menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang tinggi, kuat, dan berambut pirang, sebuah deskripsi yang memberikan gambaran fisik bangsa Viking pada masanya. Ahmad bin Fadlan mencatat bahwa bangsa Rus memiliki keahlian luar biasa dalam berdagang, terutama barang-barang seperti bulu hewan, madu, dan lilin, yang sangat diminati di pasar-pasar Islam.

Namun, bukan hanya perdagangan yang menarik perhatian Ahmad bin Fadlan. Ia juga menyaksikan praktik-praktik budaya yang sangat berbeda dari apa yang ia kenal. Salah satu yang paling terkenal adalah ritual pemakaman bangsa Viking. Dalam catatannya, Ahmad bin Fadlan menggambarkan bagaimana bangsa Rus mengadakan upacara kremasi bagi pemimpin mereka. Tubuh pemimpin tersebut diletakkan di atas kapal bersama barang-barang berharga, lalu dibakar sebagai bagian dari penghormatan terakhir. Ritual ini mencerminkan keyakinan mereka tentang kehidupan setelah kematian, yang sangat berbeda dengan ajaran Islam yang mengutamakan penguburan sederhana.

Namun, ada satu aspek menarik dalam pengamatan Ahmad bin Fadlan: ia tidak hanya mencatat dengan kritis, tetapi juga dengan rasa ingin tahu yang tulus. Meskipun banyak dari apa yang ia lihat bertentangan dengan ajaran Islam, ia tidak pernah menggunakan nada merendahkan dalam tulisannya. Sebaliknya, ia berusaha memahami latar belakang budaya di balik praktik-praktik tersebut. Sikap ini menunjukkan kecerdasan emosional dan intelektual Ahmad bin Fadlan sebagai seorang diplomat dan pengamat.

Selain menjadi saksi ritual pemakaman, Ahmad bin Fadlan juga mencatat bagaimana bangsa Viking menjaga kebersihan tubuh mereka. Ia terkejut mengetahui bahwa bangsa Rus memiliki kebiasaan mencuci muka setiap pagi dengan air yang sama yang digunakan oleh seluruh kelompok. Meskipun dari sudut pandang Islam hal ini tidak higienis, Ahmad bin Fadlan mencatatnya sebagai bagian dari tradisi mereka, tanpa menyebutnya sebagai sesuatu yang buruk. Sikap ini menunjukkan pendekatan yang penuh penghormatan terhadap perbedaan budaya, sebuah pelajaran penting bagi kita dalam menghadapi keragaman dunia modern.

Yang menarik, interaksi Ahmad bin Fadlan dengan bangsa Viking tidak hanya terbatas pada pengamatan. Melalui diplomasi dan percakapan, ia membawa pesan Islam yang mengajarkan nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan. Meskipun tidak ada catatan yang secara spesifik menyebutkan bahwa bangsa Viking secara massal memeluk Islam, interaksi ini tetap menjadi bukti bahwa Islam pernah menyentuh tanah mereka. Hubungan ini membuka jalur pertukaran budaya yang kaya, di mana nilai-nilai Islam diperkenalkan melalui perdagangan dan diplomasi, bukan melalui kekerasan atau penaklukan.

Lebih dari sekadar pengamat budaya, Ahmad bin Fadlan adalah seorang pembawa pesan perdamaian. Ia menunjukkan bahwa Islam dapat beradaptasi dengan berbagai budaya tanpa kehilangan esensinya. Melalui catatannya, kita belajar bahwa dialog adalah kunci untuk membangun hubungan yang harmonis di tengah perbedaan. Ahmad bin Fadlan tidak hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga agen perubahan yang membawa nilai-nilai universal Islam ke dunia yang sangat berbeda.

Ketika Ahmad bin Fadlan menulis catatan perjalanannya, ia tidak sekadar mendokumentasikan apa yang ia lihat, tetapi juga menggambarkan bagaimana Islam diterima di tengah masyarakat yang memiliki pandangan hidup berbeda. Bangsa Volga Bulgaria, sebagai salah satu tujuan utama perjalanannya, adalah kelompok yang menunjukkan keterbukaan terhadap Islam. Ahmad bin Fadlan mencatat bagaimana mereka dengan sukarela menerima ajaran Islam, bahkan meminta bimbingan tentang tata cara ibadah, hukum Islam, dan pengelolaan pemerintahan sesuai syariat. Permintaan ini mencerminkan rasa hormat mereka terhadap peradaban Islam yang dianggap maju pada masa itu.

Namun, perjalanan Ahmad bin Fadlan tidaklah mudah. Jalur yang ia tempuh melintasi medan yang berat, dari padang pasir hingga hutan belantara, dengan ancaman dari binatang buas dan kelompok perampok. Ketahanan fisik dan mentalnya diuji, tetapi ia terus melangkah karena kesadaran akan pentingnya misi yang ia emban. Dalam risalahnya, ia menggambarkan keindahan dan tantangan alam yang ia temui, memberikan kita gambaran hidup tentang lanskap dunia abad ke-10.

Salah satu aspek paling menarik dari perjalanan Ahmad bin Fadlan adalah caranya memahami perbedaan budaya tanpa kehilangan identitas keislamannya. Ia mencatat dengan detail bagaimana masyarakat yang ia temui memandang konsep Tuhan, moralitas, dan hubungan sosial. Misalnya, bangsa Rus yang ia temui memiliki keyakinan politeistik, tetapi mereka juga menunjukkan rasa hormat terhadap nilai-nilai yang dianggap universal, seperti kejujuran dan keberanian. Ahmad bin Fadlan menjadikan ini sebagai titik awal untuk menjelaskan konsep Islam yang monoteistik, menunjukkan bagaimana ajaran Islam dapat menjadi panduan hidup yang lebih komprehensif.

Pada saat yang sama, Ahmad bin Fadlan juga tidak segan mencatat kekurangan yang ia temui dalam budaya lain. Ia menggambarkan kebiasaan minum alkohol bangsa Rus dengan nada prihatin, mengingat dalam Islam alkohol dilarang karena dampaknya yang merugikan. Namun, ia tetap menunjukkan empati, menyadari bahwa kebiasaan ini berakar pada tradisi yang telah berlangsung lama. Pendekatan ini mengajarkan kita pentingnya memberikan kritik yang membangun tanpa merendahkan pihak lain.

Kisah Ahmad bin Fadlan di tanah Viking juga memberi kita wawasan tentang bagaimana Islam tidak hanya menjadi agama, tetapi juga peradaban yang membawa ilmu pengetahuan, seni, dan etika. Ketika ia memperkenalkan Islam, ia tidak hanya berbicara tentang Tuhan atau ibadah, tetapi juga tentang bagaimana menjalani kehidupan yang harmonis dengan alam dan sesama manusia. Nilai-nilai ini menjadi fondasi bagi hubungan yang ia bangun dengan masyarakat yang ia temui, membuktikan bahwa Islam dapat menjadi kekuatan pemersatu di tengah keberagaman budaya.

Perjalanan Ahmad bin Fadlan juga mengingatkan kita bahwa diplomasi bukan hanya soal politik, tetapi juga soal membangun hubungan manusiawi. Dengan rendah hati, ia belajar bahasa dan budaya masyarakat yang ia temui, menjadikannya sebagai alat untuk menjelaskan ajaran Islam dengan cara yang dapat diterima. Dalam hal ini, Ahmad bin Fadlan menunjukkan bahwa kekuatan Islam terletak pada pesan universalnya, bukan pada paksaan atau kekerasan.

Keberhasilan Ahmad bin Fadlan sebagai diplomat dan pengamat budaya tidak hanya tercermin dari penerimaan Islam oleh Volga Bulgaria, tetapi juga dari pengaruhnya yang lebih luas terhadap bangsa-bangsa lain, termasuk bangsa Viking. Walaupun bangsa Viking dikenal sebagai prajurit tangguh dan penjelajah laut yang gigih, pertemuan mereka dengan Ahmad bin Fadlan membuka babak baru dalam pemahaman mereka terhadap dunia luar. Catatan Ahmad bin Fadlan tentang bangsa Rus, yang merupakan bagian dari kelompok Viking, memberikan wawasan mendalam tentang kehidupan mereka yang jarang terdokumentasi secara detail pada masa itu.

Ahmad bin Fadlan menggambarkan bangsa Rus sebagai masyarakat yang sangat menjaga penampilan mereka. Ia terkesan dengan fisik mereka yang tinggi dan kuat, serta pakaian mereka yang rapi dan dihiasi perhiasan dari emas dan perak. Namun, ia juga mencatat beberapa kebiasaan mereka yang dianggap tidak bersih menurut standar Islam, seperti jarang mandi atau tidak menjaga kebersihan alat makan. Di sinilah Ahmad bin Fadlan menunjukkan pendekatan uniknya: ia tidak hanya mengkritik, tetapi juga mencoba memahami latar belakang budaya dan geografis yang membentuk kebiasaan tersebut.

Salah satu aspek yang paling mengejutkan dari catatan Ahmad bin Fadlan adalah deskripsinya tentang ritual pemakaman bangsa Rus. Ia menjadi saksi upacara kremasi seorang pemimpin Rus yang melibatkan prosesi yang sangat rumit, termasuk pengorbanan hewan dan seorang budak perempuan yang dengan sukarela mengorbankan dirinya untuk menemani tuannya di kehidupan setelah mati. Bagi Ahmad bin Fadlan, ritual ini sangat berbeda dengan ajaran Islam, tetapi ia mencatatnya dengan objektivitas dan rasa hormat terhadap tradisi mereka. Catatan ini menjadi bukti bahwa Ahmad bin Fadlan memiliki kemampuan luar biasa untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain tanpa kehilangan prinsip-prinsip keyakinannya.

Namun, pertemuan ini bukan sekadar pertukaran budaya. Ada pengaruh Islam yang mulai masuk ke dalam kehidupan bangsa Viking melalui perdagangan dan hubungan diplomatik. Misalnya, penggunaan koin dinar dari dunia Islam yang ditemukan di situs-situs arkeologi Viking menunjukkan adanya hubungan ekonomi yang erat. Ahmad bin Fadlan, sebagai duta peradaban Islam, menjadi salah satu tokoh yang memainkan peran penting dalam memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat di utara, meskipun secara tidak langsung.

Perjalanan Ahmad bin Fadlan juga memberikan gambaran tentang bagaimana Islam diterima dengan cara yang berbeda di berbagai wilayah. Di Volga Bulgaria, Islam diterima sebagai agama resmi dan menjadi dasar bagi sistem pemerintahan mereka. Namun, di wilayah Viking, pengaruh Islam lebih bersifat kultural, memengaruhi cara mereka berdagang, berinteraksi, dan memandang dunia luar. Ini menunjukkan fleksibilitas Islam sebagai agama dan peradaban yang mampu beradaptasi dengan konteks lokal tanpa kehilangan esensi universalnya.

Ahmad bin Fadlan juga menjadi teladan dalam bagaimana seorang Muslim seharusnya menghadapi perbedaan. Ia tidak merasa superior atas budaya lain, tetapi juga tidak mengorbankan prinsip-prinsip keyakinannya. Sikap ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mengedepankan dialog, bukan konfrontasi; pemahaman, bukan penindasan. Pelajaran ini sangat relevan bagi kita hari ini, ketika dunia semakin terhubung tetapi juga semakin rentan terhadap konflik akibat perbedaan budaya dan agama.

Dalam risalahnya, Ahmad bin Fadlan menutup catatan perjalanannya dengan refleksi yang mendalam tentang kebesaran Allah yang ia rasakan di sepanjang perjalanan. Baginya, setiap langkah yang ia tempuh, setiap pertemuan yang ia alami, dan setiap tantangan yang ia hadapi adalah bukti kekuasaan Allah yang menciptakan dunia yang begitu beragam namun saling terhubung. Catatan ini bukan hanya menjadi warisan sejarah, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi umat Islam untuk terus menjelajahi dunia, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara intelektual dan spiritual.

Kisah Ahmad bin Fadlan mengingatkan kita bahwa Islam pernah menjangkau wilayah yang jauh di luar jazirah Arab, termasuk tanah Viking. Ini menunjukkan bahwa ajaran Islam, dengan pesan universalnya tentang keadilan, kebaikan, dan persaudaraan, dapat diterima oleh siapa saja, di mana saja, asalkan disampaikan dengan hikmah dan kesabaran. Ahmad bin Fadlan adalah bukti hidup bahwa Islam adalah agama yang mengedepankan dialog, diplomasi, dan penghormatan terhadap keberagaman.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun