Ekonomi umumnya menekankan pentingnya rasionalitas dan sekularisme, seringkali menyebabkan harus berbenturan kepentingan dengan agama yang menekankan kepercayaan kepada hal-hal yang supranatural.Dengan demikian, keberadaan (existence) agama relative terpisah dari ekonomi.Â
Perbedaan yang tajam, tampak pada jika agama dihubungkan dengan lembaga-lembaga yang melaksanakan aktivitas ekonomi.
Dalam tindakan ekonomi (produksi dan pertukaran komoditi), nilai-nilai yang kurang tinggi dipraktikkan dan hubungan personal yang kurang dikembangkan.Apalagi nilai-nilai yang dilibatkan bersifat boros (consumatory atau instrumental), mereka hanya berhubungan dengan benda-benda yang dikonsumsi atau dipergunakan. Dengan demikian aktivitas ekonomi lebih bersifat secular atau profane ketimbang sacral.Â
Pada akhirnya, nilai dan tata cara kehidupan ekonomi tampaknya berdasarkan atas asumsi-asumsi yang lebih mudah diuji dalam pengalaman empiris, lebih siap dijalani dan lebih mudah dipastikan sekarang atau nanti. Keterangan-keterangan ilmiah yang dihasilkan sosiologi agama tidak akan menyelesaikan segala kesulitan secara tuntas.Â
Segi kesulitan yang bukan sosiologis harus dimintakan resep dari ilmu yang bersangkutan. Misalnya teknologi, ekonomi, demigrafi dan lain sebaginya.
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana seharusnya implikasi etika dalam ekonomi agar menjadi perilaku subjek pendukungnya, antara lain bisa kita lihat bagaimana pengaruh etika protestan terhadap semangat kapitalisme sebagaimana dijelaskan Max Weber dalam karyanya the protestan Ethic and The Spirit of Capiralism: untuk dapat memahami hubungan antara ide-ide keagamaan yang bersifat fundamental dan Protestanisme asketis dengan maksimnya bagi perilaku ekonomi sehari-hari, maka perlu untuk memeriksa dengan teliti seluruh tulisan-tulisan semacam itu yang secara pasti berasal dari praktik-praktik ministerial (kependekatan).Â
Menurut Qardhawi poros risalah nubuwah Nabi Muhammad SAW. adalah akhlak. Karena itu Islam telah mengimplikasikan antara mu’amalah dengan akhlak, seperti jujur, amanah, adil, ihsan, berbuat kebaikan, silaturahmi, dan sayang-menyayangi.Â
Dikaitkan akhlak pada aspek hidup menyeluruh, sehingga tidak ada pemisahan antara ilmu dengan akhlak, antara politik dengan akhlak, antara ekonomi dengan akhlak, dan perang dengan akhlak, dan lain sebagainya. Dengan demikian, akhlak menjadi daging dan urat nadi kehidupan Islam. Dengan kata lain akhlak  yang harus memandu segala aktivitas seorang Muslim.Â
Jika kita berbicara tentang akhlak dalam ekonomi Islam, maka tampak secara jelas di hadapan kita empat nilai utama, yaitu: rabbaniyyah (ketuhanan),akhlak, kemanusian, dan pertengahan. Nilai-nilai ini memancarkan keunikan dalam ekonomi Islam yang tidak dimiliki oleh sistem ekonomi manapun di dunia.Â
Nilai-nilai tersebut merupakan karakteristik syariat Islam yang kaffah, sempurna dalam segala dimensinya. Atas dasar karakteristik itu ekonomi Islam jelas berbeda dengan sistem ekonomi konvensional karena ia adalah sebuah sistem ekonomi alamiah, ekonomi humanistis, ekonomi moralistis, dan ekonomi moderat.Â
Makna dan nilai-nilai pokok yang empat ini mempunyai dampak terhadap seluruh aspek ekonomi, baik dalam masalah produksi, konsumsi, sirkulasi maupun distribusi. Semua itu terpola oleh nilai-nilai tersebut, karena jika tidak, niscaya ke-islam-an itu hanya sekedar simbol tanpa makna.