Saya membuka penutup jendela pesawat, ketika awak kabin mengumumkan kalau sebentar lagi pesawat akan mendarat. Hati saya berdebar. Bukan karena khawatir kalalu pendaratan tidak sempurna. Tapi karena saya akan mendarat di negara yang awalnya tidak masuk dalam list traveling saya. Negara yang begitu saja singgah di kepala dan akhirnya jadi ingin sekali saya kunjungi.
Pesawat mendarat dengan sempurna. Pilot menjalankan tugasnya dengan perfect, bahkan pesawat mendarat sekitar 20 menit lebih cepat dari jadwal. 5 Jam melayang di ketinggian, membuat perjalanan ini menjadi perjalanan terlama dalam daftar traveling saya menggunakan pesawat. Bersyukur saya tidak sempat mengalami sakit telinga. Padahal, di perjalanan sebelumnya yang hanya 45 menit, saya selalu mengalami masalah pada telinga. Sakit sekali, bahkan ketika saya sudah menggunakan headset.
Turun dari pesawat, mata saya langsung disuguhi pemandangan bukit-bukit hijau yang cantik. Macao International Airport memang tidak sebesar Soekarno Hatta apalagi Changi, tapi cukup cantik dengan bonus viewnya. Saya berjalan agak lambat agar bisa mengambil gambar dengan kamera yang saya bawa. Sayangnya, rencana saya mengambil gambar tidak terjadi. Petugas bandara gemas melihat saya dan meminta saya untuk mempercepat langkah, kemudian masuk ke area imigrasi. Saya hanya bisa kecewa sambil terus berjalan mengikuti arus kedatangan. Saya bergumam dalam hati kalau saya pasti bisa mengambil gambar, pada saat kepulangan nanti.
Area imigrasi menjadi gerbang dari petualangan di negeri orang. Keberhasilan melewati imigrasi dengan petugas yang kadang tidak bisa diprediksi adalah prestasi. Ada yang menganggap, imigrasi adalah zona yang memacu adrenalin. Jika tidak mampu melewatinya, mungkin kita akan dihadapkan dengan masalah-masalah baru hingga terancam di deportasi. Mengerikan. Setidaknya bagi mereka yang tidak percaya diri. Tapi, bagi mereka yang percaya diri, imigrasi ya tidak ada apa-apanya. Berhadapan dengan petugas imigrasi, tidak semengerikan berhadapan dengan calon mertua atau berhadapan dengan ibu-ibu yang salah menyalakan lampu sen.
Saya berjalan menuju pintu keluar bandara. Tidak terlalu sulit menemukan arah lokasi bus, karena semua tertera jelas. Penunjuk arah tersedia dalam 3 bahasa; bahasa portugis, China (kanton), dan inggris. Â Tinggal pilih bahasa mana yang paling dipahami. Di pintu keluar, saya melanjutkan perjalanan menuju terminal ferry. Bus AP1 membawa saya menelusuri jalanan Macao yang lengang. Tiba-tiba Saya membayangkan, wajah Jakarta bisa senyaman Macao. Ya, walau hanya angan-angan yang mustahil terjadi. Setidaknya, membayangkan saja sudah membuat senang.
Entah kenapa, sejak kaki ini menapak di Macao, saya yakin akan kembali lagi. Perasaan yakin yang cenderung percaya diri. Bukannya kita harus yakin akan mimpi yang ingin kita capai?
Menelusuri  sebagian Macao sambil menarik koper adalah hal melelahkan yang pernah saya lakukan dalam traveling. Menelusuri trotoar jalan menuju ikon Macao lainnya. Reruntuhan gereja St. Paul atau yang dikenaal dengan Ruin St. Paul adalah destinasi yang wajib dikunjungi ketika bertandang ke Macao. Karena jalannya rapih dan bersih, jarak tempuh yang lumayan jauh pun bisa saya nikmati.Â