Mohon tunggu...
Suci Santy Risalah
Suci Santy Risalah Mohon Tunggu... Freelancer - Risalah Husna

Love kids, writing and coffee. English Bachelor. Love mountain and sea.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Macao, Tak Cukup Hanya 7 Jam

27 Desember 2017   23:46 Diperbarui: 28 Desember 2017   00:58 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya membuka penutup jendela pesawat, ketika awak kabin mengumumkan kalau sebentar lagi pesawat akan mendarat. Hati saya berdebar. Bukan karena khawatir kalalu pendaratan tidak sempurna. Tapi karena saya akan mendarat di negara yang awalnya tidak masuk dalam list traveling saya. Negara yang begitu saja singgah di kepala dan akhirnya jadi ingin sekali saya kunjungi.

Pesawat mendarat dengan sempurna. Pilot menjalankan tugasnya dengan perfect, bahkan pesawat mendarat sekitar 20 menit lebih cepat dari jadwal. 5 Jam melayang di ketinggian, membuat perjalanan ini menjadi perjalanan terlama dalam daftar traveling saya menggunakan pesawat. Bersyukur saya tidak sempat mengalami sakit telinga. Padahal, di perjalanan sebelumnya yang hanya 45 menit, saya selalu mengalami masalah pada telinga. Sakit sekali, bahkan ketika saya sudah menggunakan headset.

Turun dari pesawat, mata saya langsung disuguhi pemandangan bukit-bukit hijau yang cantik. Macao International Airport memang tidak sebesar Soekarno Hatta apalagi Changi, tapi cukup cantik dengan bonus viewnya. Saya berjalan agak lambat agar bisa mengambil gambar dengan kamera yang saya bawa. Sayangnya, rencana saya mengambil gambar tidak terjadi. Petugas bandara gemas melihat saya dan meminta saya untuk mempercepat langkah, kemudian masuk ke area imigrasi. Saya hanya bisa kecewa sambil terus berjalan mengikuti arus kedatangan. Saya bergumam dalam hati kalau saya pasti bisa mengambil gambar, pada saat kepulangan nanti.

Area imigrasi menjadi gerbang dari petualangan di negeri orang. Keberhasilan melewati imigrasi dengan petugas yang kadang tidak bisa diprediksi adalah prestasi. Ada yang menganggap, imigrasi adalah zona yang memacu adrenalin. Jika tidak mampu melewatinya, mungkin kita akan dihadapkan dengan masalah-masalah baru hingga terancam di deportasi. Mengerikan. Setidaknya bagi mereka yang tidak percaya diri. Tapi, bagi mereka yang percaya diri, imigrasi ya tidak ada apa-apanya. Berhadapan dengan petugas imigrasi, tidak semengerikan berhadapan dengan calon mertua atau berhadapan dengan ibu-ibu yang salah menyalakan lampu sen.

Saya berjalan menuju pintu keluar bandara. Tidak terlalu sulit menemukan arah lokasi bus, karena semua tertera jelas. Penunjuk arah tersedia dalam 3 bahasa; bahasa portugis, China (kanton), dan inggris.  Tinggal pilih bahasa mana yang paling dipahami. Di pintu keluar, saya melanjutkan perjalanan menuju terminal ferry. Bus AP1 membawa saya menelusuri jalanan Macao yang lengang. Tiba-tiba Saya membayangkan, wajah Jakarta bisa senyaman Macao. Ya, walau hanya angan-angan yang mustahil terjadi. Setidaknya, membayangkan saja sudah membuat senang.

Jalanan Macao Yang Teratur
Jalanan Macao Yang Teratur
Terminal Ferry berada persis depan arena sirkuit. Deru mobil yang tengah melaju di sirkuit terdengar jelas. Mirip seperti yang sering saya lihat di televisi. Karena bukan penggemar balap mobil, saya hanya lalu saja. Setelah membeli tiket untuk menyebrang ke Hongkong, saya memulai petualangan di Macao. Saya hanya punya waktu kurang dari 7 jam di negara bagian China ini. Saya tahu, waktu 7 jaam bukan waktu yang cukup untuk menelusuri sudut-sudut Macao yang eksotis.

Entah kenapa, sejak kaki ini menapak di Macao, saya yakin akan kembali lagi. Perasaan yakin yang cenderung percaya diri. Bukannya kita harus yakin akan mimpi yang ingin kita capai?

picsart-12-27-11-35-09-5a43ce04f13344234f0fc774.jpg
picsart-12-27-11-35-09-5a43ce04f13344234f0fc774.jpg
Dengan menumpang bus gratis yang saya lupa nomornya, saya sampai di depan sebuah bangunan megah. Bangunan yang menjadi salah satu ikon negara Macao, Grand Lisboa. Excited, berdebar, dan norak bercampur menjadi satu. Biarlah. Saya pikir, inilah keasikan tersendiri dari sebuah traveling. Merasa bahagia ketika melihat langsung apa yang awalnya hanya bisa dilihat dari sebuah mesin pencarian dan postingan blog. Berfoto di depan banguanan berbentuk bunga lotus itu adalah harus. Walau harus memicingkan mata karena terpaan panas yang aduhai, bukan menjadi sebuah halangan.

picsart-12-27-11-34-43-5a43ce0ddd0fa820ed211ba2.jpg
picsart-12-27-11-34-43-5a43ce0ddd0fa820ed211ba2.jpg
Macao, walau luasnya tak seluas Jakarta atau Bekasi tetapi keindahannya menarik. Tidak heran kalau setiap hari, Macao selalu ramai dengan ratusan hingga ribuan turis. Luas negara jajahan Portugis yang memiliki penduduk hanya sekitar 600 ribuan ini, luasnya hanya 30 km.  Sangat kecil, namun belum tentu bisa dijelajahi hanya dalam waktu satu hari.

Menelusuri  sebagian Macao sambil menarik koper adalah hal melelahkan yang pernah saya lakukan dalam traveling. Menelusuri trotoar jalan menuju ikon Macao lainnya. Reruntuhan gereja St. Paul atau yang dikenaal dengan Ruin St. Paul adalah destinasi yang wajib dikunjungi ketika bertandang ke Macao. Karena jalannya rapih dan bersih, jarak tempuh yang lumayan jauh pun bisa saya nikmati. 

picsart-12-27-11-53-05-5a43d08bbde5752d5c2c4e12.jpg
picsart-12-27-11-53-05-5a43d08bbde5752d5c2c4e12.jpg
Senado Square
Senado Square
Ruin St. Paul adalah reruntuhan gereja yang kini diubah menjadi destinasi wisata. Tak lengkap rasanya traveling ke Macao jika tidak mengunjungi dan berfoto di depan bangunan yang hanya bagian depannya saja yang tersisa.  Bangunan dengan detail khas eropa ini tak hentinya dipadati oleh para wisatawan. Semua yang datang, tak akan meninggalkan kesempatan untuk berfoto dengan latar belakang Ruin st. Paul ini. Berkunjung ke destinasi ini, rasanya seperti bukan berada di Macao. Peninggalan portugis yang khas mendominasi lingkungan sekitarnya. 

Oh, saya hampir lupa. Saat menuju Ruin St. Paul, kita akan melewati sebuah bangunan yang tak kalah klasik yaitu Senado Square. Di spot ini ada sebuah kolam dengan air mancur. Banyak turis yang berfoto dengan latar belakang air mancur ini. Ditambah dengan bangaunan tua yang mengingatkan saya pada bangunan di Dataran Merdeka, Kuala Lumpur. Pemerintah Macao sepertinya menjaga sekali peninggalan sejarahnya. Terbukti dengan masih terawatnya semua bangunan-bangunan tua itu. 

Menurut data yang saya dapatkan dari Macao Governement Tourism Office (MGTO), ada sekitar 20 bangunan tua di Macao yang tercatat dan dijadikan warisan dunia. Selain itu, ada juga museum yang jumlahnya tak kalah banyak yaitu sekitar 36. 

Senado Square
Senado Square

Cari-Cari Yang Halal


Sebagai muslim, di kondisi apapun rasanya kebutuhan akan makanan itu adalah prioritas. Jangan sampai perjalanan menjadi tidak berkah karena ada sesuatu yang tidak halal masuk ke dalam tubuh.

Egg Tart, Kudapan Khas Macao
Egg Tart, Kudapan Khas Macao
Tak banyak kuliner khas Macao yang saya coba. Membeli egg tart yang menjadi kudapan paling dicari ketika traveling ke Macao pun saya masih berpikir. Bukan soal harga, tapi karena saya harus berjaga soal kehalalannya. Toko yang menjual egg tart yang saya jumpai di sepanjang jalan menuju Ruin St.Paul kebanyakan menjual 'pork' juga. Saya harus memastikan kepada penjual apakah egg tart yang dijual adalah murni tanpa tersentuh atau tercampur bahan yang diharamkan, bagi muslim. 

Egg tart, kudapan dengan cita rasa manis dan asin ini memang sedap. Rasanya pas sekali dinikmati dengan secangkir kopi panas. Kulit pastry yang renyah dicampur dengan isian di bagian tengahnya, membuat kue ini pas sekali dijadikan teman ngemil selama menelusuri Macao. 

Waktu yang sangat terbatas membuat saya tidak sempat berburu kuliner khas Macao yang lainnya. Walau banyak sekali makanan yang tidak halal, tapi saya yakin ada makanan halal yang layak dicoba. 

Perjalanan ke Macao satu bulan yang lalu memang cukup membekas. Namun, saya tidak menikmati seutuhnya karena diburu oleh waktu. Saya harus segera kembali ke pelabuhan untuk melakukan perjalanan ke negara selanjutnya. Seperti yang saya tulis di awal. Saya yakin, akan bisa menapakkan kaki lagi di kota cantik ini. Ada banyak spot yang tak sempat saya kunjungi. Salah satunya Masjid yang  sebenarnya tak jauh dari pelabuhan ferry. Ahh, sayang sekali memang tak sempat berkunjung ke masjid itu. Padahal, padahal Masjid Macao masuk dalam daftar tempat yang harus dikunjungi. 

Macao, tak cukup hanya 7 jam. Karena Macao perlu dikunjungi lagi dan lagi. Menikmati peninggalan sejarah yang masih terawat dengan baik. Menikmati tiap sudut kota Macao yang klasik sambil berkenalan dengan masyakarat sekitar. Rasanya, kembali ke Macao adalah sebuah mimpi yang harus terlaksana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun